tag:blogger.com,1999:blog-360986042024-03-14T13:12:44.110+07:00>--artef@ksi-->"making words from Lampung"soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.comBlogger120125tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-55335526708678048412010-12-03T08:52:00.002+07:002010-12-03T08:57:12.282+07:00Guru dan Kita<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://pekikdaerah.files.wordpress.com/2010/11/guru.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 323px; height: 250px;" src="http://pekikdaerah.files.wordpress.com/2010/11/guru.jpg" alt="" border="0" /></a>Suatu sore setelah pulang kerja, saya sempatkan berjalan ke sebuah toko ****mart. Sekedar membeli minuman dan makanan kecil. Tiba-tiba di tengah perjalalan, seorang wanita tua yang berada di depan toko itu menegur dengan setengah mengkonfirmasi namaku. "Betul bu" aku menjawab dengan masih bertanya-tanya, siapa kira-kira ibu ini sampai mengenal namaku. "ini bu narti.." ujarnya. aku setengah berpikir sambil mencari-cari memori yang terpendam di kepala. Astagfirullah.. ujarku dalam hati, setengah tidak percaya. Sosok ibu paruh baya dengan rambut putih di antara rambut hitamnya itu adalah guruku diwaktu SD. Mungkin sudah hampir 20 tahun yang lalu dan masih ingat dengan diriku. Kenangan seolah flash back.<br /></div><span class="fullpost"><br /></span><div style="text-align: justify;"><span class="fullpost">Ibu ini dahulu adalah seorang guru muda yang paling sabar. Diantara guru lainnya yang suka menghukum dengan mistar kayu di telapak tangan atau bahkan sabetan menyakitkan rotan bulu ayam pengapus debu di lengan, ibu guru kami yang ini menghukum dengan kalimat lembut dan sentuhan kecil di kepala sambil mengusap2 rambut muridnya. Sebelum kampus dan pakar pendidikan mengajarkan metode pendidikan menyenangkan dengan kasih sayang dan cinta, ibu ini sudah mempraktikannya hampir 20 tahun lalu. Ibu guru yang satu ini benar-benar menjadi ibu kami saat di sekolah.</span><br /><br /><span class="fullpost">Sejenak kami berbincang, sekarang ibu guru kami ini sudah pindah, beliau mengajar murid SMA. Disatu sisi aku bersyukur, karena mengajar murid SMA, apalagi sekolah swasta kemungkinan lebih besar penghasilan yang diterimanya. Beliau sudah punya dua anak (dulu masih single..hehe), yang satunya sedang kuliah pada Fakultas Keguruan di sebuah Universitas di jawa dan anak yang satunya masih SMA. Sempat terbersit, mungkin anaknya memilih Fakultas Keguruan karena terinspirasi oleh ibunya.Semoga saja sang anak menjadi guru terbaik seperti ibunya.</span><br /><br /><span class="fullpost">Sudah hampir dua puluh tahun yang lalu dan beliau masih ingat dengan diri ini. " Masih gemuk dan tampil sederhana ya kamu ini", dalam salah satu ujarnya. Kemudian beliau bertanya keadaan diriku saat ini dan aku bercerita . Terlihat bahagia di wajah tuanya. Saat beliau bercerita tentang kisah temanku yang lain, sejenak kami tertawa. Namun kemudian aku terharu sekaligus malu. Malu karena tidak menempelkan beliau di memori paling dalam, setidaknya sebagai penghargaan atas dirinya dahulu. Kini aku paham, betapa sulitnya menjadi seorang guru sebenarnya, betapa harus belajar terus menerus untuk sabar dan iklas dalam menghadapi berbagai karakter, kejadian dan keinginan. Mungkin karena inilah mereka disebut "Pahlawan". Pengorbanan dirinya untuk orang lain yang merupakan anak manusia lah yang menjadikan mereka pahlawan. Suatu perhargaan yang perlahan memudar saat ini ketika murid digambarkan mengerjai gurunya yang kikuk dan konyol di televisi, siswa yang membohongi gurunya di sekolah atau mahasiswa yang menghardik kasar gurunya di kampus.</span><br /><br /><span class="fullpost">Seperti ibu guru kami ini, beliau memberikan penghargaan kepada muridnya dengan menempelkan kami di memori terdalamnya. Mungkin juga ada doa diantara memorinya itu sehingga kami bertemu dengan jalan hidup masing-masing yang terbaik. Hanya sekitar 10 menit kami bercakap-cakap, namun serasa puluhan halaman sudah kami jelajahi kembali. Beliau pun pamit dan aku masih memandang dengan takjub dan terharu. Serasa masih ada tangan halusnya yang mengelus-elus kepala ini sambil berkata: ya sudah, gak apa-apa, baeknya jangan diulang lagi ya". Sejak saat itu aku ingin menempelkan beliau kembali di memori terdalam sebagai salah satu inspirasi. Seorang guru nan sederhana yang penuh dengan kehormatan. Semoga Allah SWT meninggikan derajat guru-guru kami. Amien.</span><br /></div><span class="fullpost"><br /><br />BDL, 2/12/2010<br />Foto dari <a href="http://pekikdaerah.files.wordpress.com/2010/11/guru.jpg">sini</a><br />NB. Tulisan ini dibuat dalam rangka peringatan hari guru, <span style="font-style: italic;">based on true story</span>.</span>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-34059097512405089652010-11-08T19:42:00.001+07:002010-11-08T19:46:13.513+07:00Siaga Bencana<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://foto.detik.com/images/content/2007/12/31/473/senin6.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 450px; height: 348px;" src="http://foto.detik.com/images/content/2007/12/31/473/senin6.jpg" alt="" border="0" /></a>Dulu sewaktu saya tinggal di Jogja sempat naik hingga ke daerah kaki gunung merapi, misalnya saya sempat melihat peternak sapi yang memanfaatkan kotoran sapi sebagai biogas di desa boyong kecamatan Pakem Kab. Sleman. Sempat juga meninjau petani cacing yang mengolah kompos menjadi pupuk kascing yang berharga lumayan di dekat kali kuning. Kedua daerah itu sekarang sering didengar dari berita-berita di tivi. Kecamatan Pakem dan daerah Kali Kuning memang masuk ke wilayah rawan 20 KM yang ditetapkan pemerintah. Rasanya banyak pengungsi yang berasal dari dua daerah itu.Tapi bukan itu yang hendak saya ceritakan.<br /></div><span class="fullpost"><br /></span><div style="text-align: justify;"><span class="fullpost">Sering juga kita saat-saat ini melihat di tivi kegiatan evakuasi yang berlangsung cepat. Mobil-mobil bisa bergegas ketika peringatan bahaya dikeluarkan, langsung angkut penduduk ke mobil dan truk lalu mobil-mobil berbondong-bondong turun ke arah kota Jogja yang memang relatif aman. Nah ini dia. Saya bisa paham begitu cepatnya petugas evakuasi dan warga bisa dievakuasi sehingga korban jadi minimal. Saya jadi teringat kalau di setiap persimpangan jalan di daerah kaki merapi banyak petunjuk (dari plang besi seperti papan nama jalan) yang bisa mengarahkan penduduk menuju tempat lebih aman. Jalan-jalan di daerah sana pun dibuat dengan sangat bagus, aspal hitam nyaris tidak ada lobang besar di tengah jalan. Kedua fasilitas yang nampak itu sudah pasti sangat membantu disaat bencana seperti sekarang ini. Tidak hanya fasilitas itu saja, saya pernah bertanya kepada warga sana tentang pengalaman waktu letusan merapi tahun 2006. Mereka bercerita jika penduduk diajarakan oleh pamong desa dan kecamatan tentang cara-cara untuk menghadapi kondisi kalau terjadi letusan merapi. Dari cerita mereka rasanya ajaran pamong itu lumayan "ngelotok kering".</span><br /></div><span class="fullpost"><br /></span><div style="text-align: justify;"><span class="fullpost">Saat saya kembali ke Lampung tercinta, saya sadar kalau Provinsi ini juga merupakan daerah yang semestinya siaga bencana. Paling tidak kita belajar dari beberapa gempa yang pernah terjadi di sebelah barat tanah ini. Daerah-daerah gempa sekaligus dihadapkan kepada kemungkinan terjadinya tsunami. Belum lagi sebelah selatan tanah ini yang juga dihadapkan kepada ancaman gunung Krakatau. Kita semua sudah pasti berdoa dan berharap tidak terjadi bencana itu semua. Tapi mempersiapkan yang mungkin dipersiapkan sebelum terjadi hal buruk rasanya lebih bijak. Pemerintah daerah rasanya perlu lebih serius untuk mengurusi soal yang satu ini. Manajemen bencana rasanya tidak perlu menjadi sekedar konsep dan rencana, karena bencana tidak bisa menunggu. Mulailah dari membenahi jalan, menyiapkan fasilitas pendukung keselamatan warga dan kegiatan penunjang penting lainnya. Warga perlu diajarkan cara menghadapi bencana gempa, cara menghadapi tsunami atau cara menghadapi letusan gunung berapi serta cara menghadapi kepanikan massa. Perhatian yang serius dari seluruh pihak rasanya perlu, demi Lampungku juga.Termasuk kita sendiri pun semestinya tahu semua persiapan itu. SIHANA itu penting kan bro... !! :)</span><br /></div><span class="fullpost"><br /></span><div style="text-align: justify;"><span class="fullpost">Terakhir kita kembali berdoa supaya Lampung kita ini dijaga dari bencana-bencana yang mengerikan itu. Amin.</span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-13199591371190250562010-10-05T13:44:00.004+07:002010-10-05T16:52:34.877+07:00Komunikasi itu mahal.."Komunikasi itu mahal, maka itu jurusan Komunikasi di Universitas kadang lebih mahal dari jurusan yang lain di Universitas." <br /><br />Demikian seloroh saya pada saat menguraikan pentingnya komunikasi dalam kehidupan kita, sebagai mahluk sosial, ekonomi, politik dan lainnya. Terkadang suatu kejadian besar, katakanlah beberapa peristiwa kerusuhan massa yang sempat terjadi di Kalimantan, Ampera-Jakarta dan terakhir di Bogor menyisipkan persoalan komunikasi sebagai salah satu dari beragam pelatuk masalah. Persepsi yang muncul dari cara dan kultur komunikasi yang berbeda menghasilkan tafsir yang terbiaskan serta mudah untuk menghasilkan kesimpulan yang keliru. Jika sudah sampai pada tahap itu maka potensi masalah sosial tinggal menunggu "siraman bensin" diatasnya.<span class="fullpost"><br /><br />Tidak hanya dalam konteks yang besar, persoalan komunikasi juga terkadang muncul dalam penyelenggaraan kebijakan pemerintah. Sebut saja masalah tabung gas 3 kilo, atau rencana-rencana kenaikan beberapa barang publik justru menimbulkan tentangan yang keras dan antipati terhadap pemerintah. Pada lingkup ini sebenarnya kebijakan itu merupakan satu paket dengan komunikasi. Jika prinsip kebijakan adalah pelembagaan aspirasi maka komunikasi adalah yang menghantarkannya kepada proses kebijakan di pemerintahan. Demikian juga proses kebijakan merupakan proses komunikasi, ada proses desain kebijakan yang mencakup artikulasi dan agregasi kepentingan banyak pihak, ada juga proses tawar menawar sebagai upaya mencapai win-win solution bagi semua. Terakhir ketika kebijakan itu dikeluarkan untuk dijalankan, ada proses komunikasi yang harus disampaikan serta dikelola secara efektif.<br /><br />Hal ini yang sebenarnya cukup menggelitik penulis ketika melihat suatu peristiwa penentangan yang apabila ditelusuri maka akan nampak sekali persoalan komunikasi di dalamnya. Pada kasus yang lain ada suatu rencana kegiatan yang diselenggarakan oleh suatu organisasi namun ternyata cenderung nampak "monolog", sehingga cukup berpotensi untuk mengalami situasi berlawanan seperti yang diharapkannya. Suatu organisasi perlu kenal, bahkan harus kenal dan paham tentang komunikasi ini, karena tidak ada suatu entitas yang bisa hidup sendiri ataupun yang memaksakan kepentingannya sendiri. Demikian juga suatu rencana yang sebaik apapun tujuannya namun jika tidak terkomunikasikan dengan baik maka bisa menghasilkan pengabaian atau bahkan penolakan dari pihak lain. <br /><br />Secara sederhana sangat sering kita lihat betapa perusahaan besar berinvestasi yang cukup mahal untuk para humas atau profesi2 yang bersinggungan dengan komunikasi ini. Para motivator dengan jualan kemampuan komunikasi yang teruji bisa dibayar dengan sangat mahal, padahal isinya sudah sering kita dengar. Akhirnya, penulis ingin mengatakan jika komunikasi itu mahal karena implikasi yang bisa diakibatkannya bila tidak terkelola dengan baik. Maka berkomunikasilah secara baik dan bijak. </span>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-58981802482311687652010-08-19T10:56:00.004+07:002010-08-19T11:09:40.549+07:00Jika Kota Ini Jadi Ibu Kota<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://farm4.static.flickr.com/3255/3139446209_c2382d92ca.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 422px; height: 281px;" src="http://farm4.static.flickr.com/3255/3139446209_c2382d92ca.jpg" alt="" border="0" /></a>Pagi-pagi sekitar pukul 06.00 saya terkejut oleh suara klakson yg bersahutan, terbangunlah diri ini dari tidur yang baru sebentar. Saya lihat cahaya matahari menyusup dari jendela kamarku. Dengan langkah gontai, saya bangun dari peraduan, lalu membuka jendela, mencoba melihat suasana sekitar. Pantas saja sepagi ini sudah ramai klakson kendaraan. AKu melihat dibawah sana, sekitar 7 lantai di bawah apartemen ini kendaraan sudah menyemut, berlomba menuju tempat kerja orang-orang yang ada di dalamnya. Banyak kendaraan yang menyemut di depan jalan Z.A. Pagar ALam sana, sepertinya para pekerja kampus dan mahasiswa yang sedang mengejar jadwal kuliah mereka. Entahlah, kenapa masih saja kemacetan, padahal sudah dua tahun yang lalu dibuat jalur khusus Trans Saburai yang membentang hingga Tegineneng, Tanjung Bintang, Panjang dan Jati Agung.<br /><br /><span class="fullpost">Dengan bergegas saya pun membersihkan diri dan mengisi perut seadanya, lalu berangkat menuju tempat kerja. Tercatat di agenda kerja saya jika hari ini ada pertemuan dengan Komisi I DPR RI. Menyadari jalan raya yang sangat padat, saya coba mengambil jalan yang memutar. Dari apartemen di JL. ZA Pagar Alam saya melewati jalur dua Way Halim yang penuh dengan Mall dan Gedung bertingkat. Setelah lewat dari jalur dua, kendaraan saya pun masuk ke Pintu Tol Sukarno Hatta. Lewat tol ini rasanya akan lebih menghemat waktu hingga satu jam. Masuk ke jalan tol, saya bisa melihat rumah sakit Imannuel yang megah berdiri di samping beberapa gedung menara. Diantaranya adalah gedung Departemen Pertanian yang bertingkat 10 dan Departemen Transportasi yang bertingkat 12.</span><br /><br /><span class="fullpost">Melintasi jalan tol itu membuat saya sedikit teringat jika sepuluh tahun yang lalu kendaraan saya yang sedan sudah pasti menderita kalau lewat jalan ini. Setelah melewati jalan tol yang lebar dan halus, saya keluar tol di simpang panjang. Kendaraan pun melintasi jalan yang lebar, setelahnya masuk ke wilayah Kantor Pemerintahan. Sempat melewati Istana Presiden yang bergaya modern di daerah Pengajaran, saya hanya melihat pengamanan yang cukup ketat. Paspampres berjaga di pintu dan terdapat anggota kepolisian di luar Istana. Setelah melewati Istana, kendaraan pun melewati Gedung Kementrian Keuangan dan Gedung Bappenas yang megah. Sementara di sebelah kiri saya terlintasi juga Gedung Mahkamah Konstitusi dan Gedung KPK yang nampak tegar. Padahal dahulu sempat terbersit, kalau lembaga hukum ini tidak bertahan lama, akibat senantiasa di ganggu oleh mereka yang terganggu dengan kinerjanya.</span><br /><br /><span class="fullpost">Akhirnya, sampai juga saya di Gedung Dewan yang terhormat. Dahulu gedung ini milik anggota dewan Se-Provinsi Lampung, tapi sekarang menjadi gedung anggota dewa Se- Indonesia. Kagum juga saya. Sesampai di tempat ternyata ruang pertemua masih kosong. Wah, ternyata untuk urusan satu ini masih sama saja. Saya pun menunggu sembari menghubungi salah satu anggota dewan lewat telefon. Tenyata beliau masih terjebak macet di daerah bunderan rajabasa. Padahal sudah ada jalan layang yang melingkar seperti di Semanggi. Kendaraan yang menumpuk pada jam sibuk seperti ini yang mestinya harus diantisipasi dengan bangun lebih pagi misalnya. Saya coba hubungi anggota dewan yang lainnya, ternyata beliau juga masih merayap di pintu tol Tanjung Bintang. Saya paham bahwa daerah itu sekarang semakin ramai dengan pembangunan gedung Kantor Pusat Perusahaan-Perusahaan besar nasional ataupun asing.</span><br /><br /><span class="fullpost">Setelah menunggu satu jam dan diselingi dengan melihat tiga kali demonstran di depan pintu gerbang, akhirnya mereka datang juga. Maka naiklah kami ke tingkat 4 dengan lift dan masuk ke ruang rapat yang nyaman. Baiklah, kami rapat dulu ya teman-teman. Semoga mereka tidak tidur.</span><br /><br /><br /><br /><span class="fullpost">nb: kisah ini hanya fiktif dan rekaya belaka. Terinsiprasi dari wacana pemindahan ibu kota, pendapat para pengamat dan diskusi-diskusi "nyeleneh".<br />gambar diambil dari: <a href="http://farm4.static.flickr.com/3255/3139446209_c2382d92ca.jpg">sini</a><br /></span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-28262560748820785002010-07-04T21:44:00.003+07:002010-07-04T21:50:49.803+07:00HasratKalau ada orang yang mendewakan hasrat, menuliskan puisi dengan hasrat seperti Chairil Anwar atau menulis lirik seperti grup band terkini tidaklah salah. Hasrat memang suatu yang manusiawi, artinya selama masih jadi manusia pasti punya hasrat. Hasrat itu seperti ombak laut. Terkadang surut, terkadang pasang. Begitu juga hasrat manusia. Sudah lama tidak kusentuh blog ini karena saat itu memang daku kehilangan hasrat. Entah apa alasannya. Namun semakin hilang hasrat itu, semakin pula tertampung di dalam benak inginku untuk kembali pada blog ini suatu saat nanti. Ternyata yang diperlukan oleh hasrat cuma waktu. Sama seperti lapar yang juga perlu waktu untuk bisa benar-benar terasa nikmatnya. Buncahkan lagi hasrat ku, agar dapat aku berkejaran dengan tombol keyboard dan menyusun huruf diatas halaman medis sosial ini. Ah.. aku mencintai hasrat yang turun naik itu.. aku pun akan kembali bersamanya. <span class="fullpost"></span>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-26540387396733323642009-11-13T08:11:00.000+07:002009-11-13T08:22:41.906+07:00back to blogAda seorang teman yang bilang: facebook dan twiter boleh aja muncul dan makin populer di masyarakat, tapi blog tetap lebih berbobot". saya setuju, facebook dan twiter memang luar biasa fenomenanya, bahkan bisa menjadi kekuatan "people power" yang luar biasa, seperti di kasus prita, chandra-bibit dan beberapa gerakan yang berjudul "gerakan satu juta.... dst". <span class="fullpost"> Bagi seorang blogger, media social itu memang ringkas. Ada kepuasan yang hanya bisa diberikan oleh blog, kenikmatan.<br /></span>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com19tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-61698389149473470682009-05-28T14:57:00.002+07:002009-09-16T14:13:49.815+07:00Ekonomi Kerakyatan dan Kewirausahaan SosialArtikelku di <a href="http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009052804045848">Lampung Post, 28 Mei 2009</a><br /><br /><br /><div style="text-align: justify;">Menjelang pemilihan presiden, debat tentang sistem ekonomi kembali muncul. Bahkan dikatakan jika pilpres tahun ini merupakan perang aliran ekonomi, yaitu ekonomi neoliberal dan ekonomi kerakyatan. Debat ini sebenarnya sudah berlangsung lama, pergulatan tentang peran pengusaha asing kontra kelompok potensial dalam negeri untuk memaksimalkan sumber daya pada wilayah sebuah negara.<br /><br />Selalu yang menjadi wacana favorit adalah gagasan ekonomi kerakyatan. Namun, wacana dalam masa kampanye politik itu sering hilang ketika kontestan terpilih menjadi pengambil kebijakan. Permasalahannya adalah operasionalisasi kebijakan yang tidak menyentuh secara penuh penggerakan kerakyatan itu sendiri.<br /><br />Jika berbicara tentang penggerakan rakyat, ada beberapa rujukan, salah satunya adalah kewirausahaan sosial (social entrepreneurship). Gagasan ini menarik ketika Muhammad Yunus berhasil menggerakkan masyarakat miskin lebih produktif dan bergerak keluar dari kemiskinan. Kewirausahaan sosial merupakan gerakan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sosial, misalnya mengurangi kemiskinan, menyediakan makanan bergizi bagi kaum miskin, asuransi kesehatan dan pendidikan. Gerakan ekonomi dalam konteks ini digerakkan oleh cause-driven, bukan profit-driven. Artinya, tujuan yang hendak dicapai dari aktivitas ekonomi tadi adalah implikasinya terhadap kelompok sasaran, jika masyarakat miskin menjadi kelompok sasarannya, diharapkan kondisi kemiskinan tersebut dapat teratasi.<br /><br />Metode perubahan dalam kewirausahaan sosial ini berbeda dengan pendekatan filantropi yang sering digunakan dalam pengentasan kemiskinan. Hal ini dapat dipahami jika melihat ciri kewirausahaan sosial tersebut; pertama, melihat intervensi sumber daya sebagai investasi yang digerakkan oleh suatu kelompok sosial tertentu. Kedua, konsekuensi dari investasi tersebut menghasilkan bentuk upaya produktif lebih berkelanjutan dan tumbuh berkembang dengan sendirinya tanpa tergantung pada kucuran dana terus menerus.<br /><br /><span class="fullpost">Ketiga, investasi yang dilakukan pada awal tersebut tidak akan hilang, dapat digunakan untuk diinvestasikan kembali dalam bentuk upaya ekonomi yang sama atau yang berbeda. Keempat, kewirausahaan sosial mendorong kelompok target untuk meningkatkan kapasitas diri guna menjawab masalah-masalah sosial melalui upaya ekonomi yang sedang dijalankannya. Dalam format ini kelompok masyarakat spesifik diposisikan sebagai pemeran utama dalam aktivitas ekonomi, sementara itu negara dapat memosisikan diri sebagai pihak yang berinvestasi secara sosial.<br /><br />Dalam konteks Indonesia, salah satu alternatif solusi bagi pengentasan kemiskinan adalah melalui kewirausahaan sosial. Namun, dibutuhkan strategi yang bisa memperkuat konsep tersebut dalam konteks sosial budaya Indonesia. Ada beberapa strategi yang teridentifikasi, di antaranya: Pertama, pendekatan kewirausahaan sosial sebagai bentuk investasi kepada kelompok sosial tertentu, dalam hal pengentasan kemiskinan ini maka kelompok masyarakat miskin yang menjadi sasaran. Investasi disalurkan melalui modal produktif dalam berbagai wujud sumber daya finansial kepada masyarakat miskin.<br /><br />Kedua, penguatan jaringan (networking) dengan kelompok lain yang dapat memberikan ruang bagi kelompok masyarakat miskin guna mendistribusikan atau menjual produk yang dihasilkan dari aktivitas kelompoknya. Ketiga, penguatan kapasitas kelompok masyarakat miskin dalam aspek manajemen ekonomi produktif, sehingga dalam jangka panjang masyarakat miskin dapat melipatgandakan usaha produktifnya dan sekaligus meningkatkan pendapatan serta keuntungan yang mereka peroleh.<br /><br />Keempat, pembangunan kepercayaan (trust building) sebagai awal dari keseluruhan proses tersebut, hal ini bermanfaat bagi peningkatan moral masyarakat miskin sehingga merasa lebih dihargai dan diberi kesempatan secara aktif untuk keluar dari kemiskinannya.<br /><br />Keempat strategi tersebut merupakan perspektif kewirausahaan yang masuk ke dalam kelompok sosial spesifik, menggunakan pendekatan sosial (dalam wujud penguatan trust) dan bertujuan untuk mengatasi permasalahan sosial. Melalui strategi itu diharapkan ruang sosial terbangun secara praktis. Hal tersebut sebenarnya sudah menjadi bagian dalam beberapa program pemberdayaan masyarakat, tapi belum signifikansi pengaruh aplikasi prinsip tersebut terhadap pengentasan kemiskinan. Pertanyaan yang muncul adalah, kenapa itu terjadi?.<br /><br />Ada beberapa identifikasi dari program yang berusaha mengadopsi prinsip tersebut. Pertama, faktor internal, yaitu komitmen dan determinasi, kepemimpinan, toleransi pada risiko, ambiguitas, dan ketidakpastian, serta kreativitas, keandalan, dan daya adaptasi. Faktor ini merupakan bagian internal dari kapasitas kelompok sosial spesifik sasaran program. Perubahan dalam bentuk peran dan kesempatan ekonomi produktif bagi kelompok tersebut, semestinya diiringi dengan perubahan yang menyeluruh dalam cara pandang terhadap diri dan orang lain, sehingga mereka mampu untuk berakselerasi dengan aktivitas ekonomi yang lebih dahulu berjalan.<br /><br />Faktor eksternal, yaitu kendala atau hambatan dari struktur yang mengitari aktivitas usaha-usaha sosial tersebut. Seperti misalnya struktur birokrasi, struktur pasar dan lingkungan politik. Faktor ini merupakan ruang yang tidak mudah untuk dihadapi atau diantisipasi pengaruhnya terhadap pergerakan kelompok masyarakat tersebut dalam aktivitas ekonomi produktifnya. Jika faktor ini kontraproduktif terhadap gerakan yang hendak melakukan perubahan secara berkelanjutan tersebut, perubahan peran dan posisi kelompok masyarakat itu tidak menyeluruh. Karena itu, tetap diperlukan pengawalan dari negara agar gerakan ekonomi berbasis kelompok sosial ini dapat secara konsisten berjalan.</span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-70132109564446206912009-05-09T20:04:00.004+07:002009-05-09T20:14:44.355+07:00Distrust dalam Kebijakan UNArtikelku di <a href="http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009050507033444">SKH Lampung Post</a><br /><br /><br /><div style="text-align: justify;">Ujian nasional (UN) tahun ini menjadi pekerjaan besar karena melibatkan 1.200 pengawas independen yang diterjunkan ke seluruh daerah di Provinsi Lampung. Pengawas independen tersebut dimaksudkan mengantisipasi kemungkinan kecurangan yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak. Pembelajaran yang dilakukan berdasarkan pengalaman beberapa kali pelaksanaan UN semenjak kebijakan ini diimplementasikan. Meskipun upaya kecurangan tersebut tetap saja coba dilakukan melalui berbagai modus dengan melibatkan pihak yang bahkan tidak diduga sebelumnya, seperti guru, kepala sekolah atau bahkan pejabat dinas.<br /><br />Bila dipahami, tindakan yang dilakukan tersebut sebenarnya merupakan reaksi atas tekanan yang dihasilkan oleh kebijakan evaluatif tersebut. Kebijakan tentang ujian nasional tidak hanya mengevaluasi hasil belajar siswa, tetapi juga akan mencerminkan kapasitas pembelajaran sekolah dan kapasitas manajemen sektor pendidikan oleh dinas pendidikan. Karena itu bisa diduga jika reaksi dalam bentuk beberapa kasus kecurangan tersebut, sebagai efek frustrasi terhadap kebijakan UN itu sendiri.<span class="fullpost"><br /><br />Pada titik ini, jika menggunakan dimensi pendidikan yang humanis, kebijakan UN sebenarnya lebih memunculkan nuansa distrust (ketidakpercayaan) terhadap pelaksana pendidikan. Jika sekolah merupakan ruang interaksi antara guru dan murid yang secara intens mengembangkan kondisi kognitif, afektif, dan psikomotorik para siswa secara bertahap, dapat dimengerti jika yang paling memiliki ruang besar untuk melaksanakan evaluasi pembelajaran tersebut adalah guru.<br /><br />Guru merupakan aktor kunci yang secara riil dapat mengetahui perkembangan ketiga aspek kecerdasan manusiawi tersebut. Karena itu kepercayaan untuk melaksanakan evaluasi pembelajaran tersebut adalah pada mereka. Demikian juga sekolah sebagai institusi operasional guru yang memiliki ruang tanggung jawab implementatif dalam evaluasi hasil belajar siswa.<br /><br />Argumentasi ini lebih kuat bila merujuk Pasal 58 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang sudah sangat tepat mengidentifikasi tentang hal tersebut, dengan merumuskan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.<br /><br />Undang-undang tersebut yang merupakan payung bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sudah memiliki substansi yang sangat humanis, yang mengarahkan pembentukan manusia ke arah yang lebih integratif. Pendidikan yang dikehendaki oleh undang-undang tersebut menghendaki siswa yang memiliki perkembangan kecerdasan kognitif, afektif, dan psikomotorik secara utuh. Karena itu evaluasi hasil belajar yang dilakukan juga semestinya mampu menjangkau ketiga aspek kecerdasan tersebut. Inilah yang menjadi titik lemah dari kebijakan UN sebagai instrumen evaluasi hasil belajar.<br /><br />Dalam hal inilah distrust sebagaimana yang dikemukakan tersebut terjadi. Kebijakan pendidikan nasional sebenarnya menghendaki evaluasi hasil belajar tersebut dilakukan dalam pendekatan proses yang intens, bukan melalui pendekatan output yang momental. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan UN ini mengalami ketidakpercayaan (distrust) terhadap institusi pelaksana pendidikan dengan kapasitas dan karakteristik yang heterogen pada wilayah negara Indonesia.<br /><br />Pemerintah tampaknya belum memiliki kepercayaan yang kuat bahwa institusi pendidikan, termasuk guru di dalamnya akan dapat menghasilkan evaluasi pembelajaran yang bertanggung jawab. Latar belakang kondisi guru dan sekolah yang masih belum memiliki distribusi kuantitas dan kualitas yang merata memang menjadi kendala utama dalam pelaksanaan evaluasi hasil belajar yang diinginkan oleh UU Sisdiknas tersebut, tetapi bukan berarti melakukan homogenisasi terhadap heterogenitas tersebut.<br /><br />Evaluasi hasil belajar yang dilakukan dengan standar homogen terhadap kondisi heterogen yang sudah disadari oleh pembuat kebijakan itu, merupakan pilihan yang kontraproduktif. Pada satu sisi mengalami distrust terhadap kapasitas sumber daya pembelajaran sehingga memilih untuk menangani secara interventif, tetapi kemudian memilih untuk melakukan homogenisasi terhadap kapasitas yang belum secara kuat dipercaya tersebut.<br /><br />Kebijakan UN dengan format ini memang memiliki kelebihan berupa efisiensi untuk melakukan monitoring dan evaluasi nasional terhadap pencapaian hasil belajar para siswa. Indikator skor dan kuantitas lulusan menjadi pilihan utama untuk mengukur keberhasilan pembelajaran. Namun, pendekatan yang diturunkan hingga kepada tingkat siswa didik seperti ini memberikan efek reaktif yang juga menunjukkan indikasi "government failure" dalam penyelenggaraan pendidikan.<br /><br />Bisnis bimbingan belajar menjadi marak berkembang dan dijadikan sebagai saluran untuk mencapai kepuasan yang tidak diperoleh dari sekolah siswa yang bersangkutan. Apalagi ketika lembaga seperti itu lebih mengarahkan pada penguasaan aspek nonakademik kepada para siswa tersebut. Kecurangan yang dilakukan secara insidental ataupun yang terencana juga menunjukkan adanya ketidaksiapan sosiopsikologis untuk menghadapi konsekuensi dari pelaksanaan UN yang juga memang belum terlalu dipersiapkan secara tepat.<br /><br />Jika ingin lebih konsisten terhadap kebijakan utama pendidikan di negara ini, semestinya evaluasi hasil belajar yang dilakukan tidak lagi menggunakan pendekatan seperti itu. Sekolah dan guru perlu lebih diberikan kepercayaan untuk melakukan proses pembelajaran kepada para siswa. Bentuk interaksi pendidikan yang dikondisikan secara efektif dan bertanggung jawab oleh mereka akan memberikan ruang yang utuh untuk menilai aspek kecerdasan para siswa secara berkelanjutan.<br /><br />Sementara itu, pemerintah dapat lebih bergerak dalam upaya makro untuk meningkatkan kapasitas sekolah dan guru sehingga dapat bekerja secara profesional dan mampu berkontribusi secara utuh. Selain itu, upaya yang menjadi prasyarat pokok pembangunan pendidikan adalah distribusi kuantitas dan kualitas tenaga pendidik pada seluruh wilayah Indonesia, sehingga secara jangka panjang dapat menghasilkan proses pendidikan yang merata.<br /><br />Lingkup ini sebenarnya berkaitan dengan politik pendidikan pemerintah saat ini. Kemajuan dalam hal alokasi pendanaan ataupun program, belum secara penuh menjadi satu paket kemajuan bidang pendidikan. Melakukan perubahan yang penuh memang harus berhadapan dengan tarik menarik kepentingan politik yang berdampak pada tingkat kebijakan. Kebijakan yang konsisten ataupun tidak konsisten juga dipengaruhi oleh atmosfer politik yang melingkupi lembaga pemerintahan. Namun, politik juga dapat bergerak ke arah yang berbeda dan menghasilkan perubahan yang berbeda juga nantinya. (Simon S. Hutagalung: Dosen FISIP Unila)</span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-77286246338280006402009-03-17T13:28:00.003+07:002009-03-17T13:39:26.128+07:00In Pursuit Of Happiness<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/8/81/Poster-pursuithappyness.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 261px; height: 330px;" src="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/8/81/Poster-pursuithappyness.jpg" alt="" border="0" /></a>Film ini beberapa kali saya tonton, di tipi kabel lagi, hehee.. wah.. selalu mengesankan, sampe gak bisa bercerita lagi. oke jadi inti ceritanya saya ambil dari<a href="http://duniafitri.blogspot.com/2008/10/in-pursuit-of-happiness.html"> sini. </a><br /></div><br />ceritanya seperti ini:<br /><br /><div style="text-align: justify;">Film yang dibintangi oleh Will Smith ini terinspirasi dari kisah nyata Chris Gardner, seorang salesman yang berjuang untuk mendapat kehidupan yang lebih baik untuk dirinya dan anak laki-lakinya yang saat itu berumur 5 tahun, Christopher (diperankan oleh Jaden Smith, anak laki-laki Will Smith sendiri). Chris harus membesarkan anaknya sendirian, dalam keadaan tidak berpenghasilan walaupun dia berhasil diterima dalam program 6-bulan-training-tanpa-gaji di suatu firma investasi beken.<br /><br />Chris dan anaknya terusir dari apartemen mereka. Terpaksa tidur di rumah penampungan, dengan perjuangan karena antrian yang sangat panjang, bahkan tidur di dalam kamar mandi terkunci di stasiun. Chris juga merasakan kepahitan, saat harus bertahan hidup dengan $21 karena pemerintah mengambil paksa $600 dari rekeningnya untuk pembayaran pajak.<br /><br /><span class="fullpost">Terpaksa mencuri dari seorang gelandangan untuk bertahan hidup, Chris tetap bertahan, dengan kepercayaan diri, cinta dan keyakinan anaknya. Ada suatu momen yang mengharukan, di suatu malam hari di rumah penampungan anaknya berkata, "Kau ayah yang baik". Chris akhirnya berhasil menghadapi semuanya dan menjadi salah satu legenda Wall Street.<br /><br />Yang agak 'mengganggu' saya adalah adegan di saat terakhir. Ketika Chris dinyatakan berhasil dalam trainingnya, dan berhak untuk bekerja di firma tersebut, dengan mendapat gaji tentunya. Chris kemudian keluar dan berjalan di kerumunan orang dengan sangat gembira. Suara di latar menyatakan (kalo ga salah, punten, soalnya bahasa Inggris saya ga ok ;-)), "Inikah kebahagiaan.. Secercah rasa yang ada saat ini.. inikah kebahagiaan?<br /><br />Inikah kebahagiaan? Kebahagiaankah saat Chris berhasil melalui segala rintangan, dan akhirnya mendapat apa yang diinginkannya (keamanan finansial dan status)? Ataukah karena perjuangannya akan berhasil? Lalu bagaimana jika ternyata dia tidak diterima bekerja dan terlempar ke jalanan, akankah dia terus mencari kebahagiaan seperti judul film ini, <span style="font-style: italic;">in pursuit of happiness</span>?<br /><br />Jika kebahagiaan adalah 'rasa' saat suatu perjuangan berhasil, apakah momen-momen tersebut hanya berhak dirasakan seorang pemenang? Jika kebahagiaan ada dengan adanya keamanan finansial dan status, adilkah itu untuk seorang fakir? Bukankah seperti rasa yang lain, adalah hak semesta untuk merasa bahagia?<br /><br />Beberapa hari yang lalu seseorang mengirimkan email yang berjudul Happinesh is a voyage. Kebahagiaan adalah perjalanan, bukan tujuan yang semu. Pernahkah kita hidup di hari ini, tapi menginginkan kebahagiaan di masa datang? Berharap kebahagiaan akan datang saat kita lulus, saat menikah, saat memiliki anak, saat anak beranjak dewasa, atau saat kita mendapat pekerjaan dengan gaji lebih tinggi, rumah lebih besar, mobil lebih mewah? Berharap kebahagiaan saat hidup sesuai apa yang kita inginkan...<br /><br />Akankah kita benar-benar merasakan kebahagiaan itu ketika apa yang kita inginkan akhirnya ada di genggaman? Apakah hidup akan lebih baik saat mobil kita lebih mewah? Atau kita malah mengomel karena biaya bensin yang harus kita bayarkan jadi bertambah? Apakah hidup akan lebih baik saat anak-anak lebih besar dan tidak terlalu merepotkan lagi? Atau kita malah mengenang masa di saat bayi dan balita kita begitu manis untuk dicium dan dipeluk? Apakah kita akan benar-benar bahagia saat kita letih mengejar kebahagiaan?.<br /><br />so, bagaimana kebahagianmu?</span><br /></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com141tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-1290064322273597682009-03-17T13:05:00.002+07:002009-03-17T13:16:48.270+07:00Freedom Writers<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://media.monstersandcritics.com/articles/1282124/article_images/freedomwriters.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 276px; height: 355px;" src="http://media.monstersandcritics.com/articles/1282124/article_images/freedomwriters.jpg" alt="" border="0" /></a>Film ini pertama saya tonton di televisi di kosan saya (kebetulan ada tipi kabel.. hee). Awalnya biasa saja, seperti drama pada umumnya. Namun pelan-pelan banyak kejutan-kejutan yang menarik dari film ini. Dikisahkan perjuangan seorang guru bernama Errin Gruwell yang harus menghadapi siswa dengan latar belakang perang antar geng, kekecewaan, keputusasaan dan kehilangan harapan. Errin bahkan dicemooh oleh guru lainnya yang menganggap dia "orang naif yang terlalu berharap". Kesabaran dan kegigihan errin bahkan harus dibayadengan persoalan hubungannya dengan sang suami yang tidak bisa memahami keinginnanya. Perjuangan errin dilakukan melalui pengajaran yang sangat dekat dengan aspek emosional para murid. Bagaimana ia mendengarkan keluhan hati para murid dengan masa lalu yang kelam, bagamana errin harus menampung murid yang diusir dari rumah dan dikejar-kejar gangster. Pendidikan transformatif seperti dilakukan oleh errin mengubah siswa secara penuh, tidak hanya wawasan namun juga emosi yang menjadi lebih baik (terbuka, menghargai, dan penuh semangat perubahan). Kisah nyata dari seorang guru di amerika ini menjadi inspirasi buat kita, Amin. Baca juga<a href="http://agustianwar.multiply.com/reviews/item/13"> ini</a>.<br /></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-5395805343311159622009-03-04T17:03:00.004+07:002009-03-04T17:09:35.443+07:00kupu-kupu matahari<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjG_klTf5X3gDZ2r-lWYYLC4HkmetegfAQrcpxLbmjjTHmRkyRrncwbHOUD3Oh5o2LCLasKTnUZ0Y-D1z4hUGJCC4KXOHFmJW531ZkixSQR3Q-xgd1em8R6Xcmu_WhRJ5kUwop5/s1600-h/butterfly-wallpaper-1600.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjG_klTf5X3gDZ2r-lWYYLC4HkmetegfAQrcpxLbmjjTHmRkyRrncwbHOUD3Oh5o2LCLasKTnUZ0Y-D1z4hUGJCC4KXOHFmJW531ZkixSQR3Q-xgd1em8R6Xcmu_WhRJ5kUwop5/s320/butterfly-wallpaper-1600.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5309271584863672754" border="0" /></a><br /><div style="text-align: center;">bukan phoenix, tapi kupu-kupu matahari.. <span style="font-style: italic;">just the sun</span>..<br /><br /><br /></div><div style="text-align: center;">photo from: <a href="http://i28.photobucket.com/albums/c218/RosediCaprio/butterfly-wallpaper-1600.jpg">here</a><span class="fullpost"><br /></span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-68641750807233258022009-02-22T14:47:00.005+07:002009-02-22T15:20:12.511+07:00Facebook dan Kita<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.phil.ufl.edu/philsoc/images/facebook-icon.gif"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 207px; height: 219px;" src="http://www.phil.ufl.edu/philsoc/images/facebook-icon.gif" alt="" border="0" /></a>Pagi tadi, 22 Februari 2009, salah satu televisi nasional menayangkan salah satu berita tentang "positif negatif facebook". Pagi-pagi saat minum kopi, berita itu buat saya tersenyum. Karena baru kemarin saya dan teman-teman di facebook saling berkomentar tentang teknologi yang bisa mendekatkan silaturahmi. Banyak komentar yang diwawancari oleh televisi itu, begitu juga sebenarnya dengan pendapat kami diwaktu yang lain. Facebook yang sedang trend atau friendster yang muncul sebagai "kakak tingkatnya" memang mengusung format menarik: social networking. Gagasan yang merupakan wujud dari pemaknaan dan penerapan filosofi dasar manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tidak akan mampu hidup secara soliter. Semakin manusia berinteraksi dalam situasi sosial, menjadi kuat manusia tersebut.<br /><div style="text-align: justify;"><br /><span class="fullpost">Beberapa bulan ini saya memang takjub dengan facebook ini, teman-teman semenjak SMP yang sekarang menjadi penyair top, teman SMA yang menjadi gitaris grup band yang sedang melejit, ataupun teman kuliah dahulu yang sudah terpencar dan asyik dengan kegiatan hidupnya masing-masing, begitu juga teman-teman yang sudah dikenal di masa lalu namun lama tidak bertegur sapa. Memori masa lalu menjadi topik yang menjadi bahan canda. Sampai saat ini saya belum merasakan ruginya teknologi ini, karena yang menjadi prinsipnya bahwa teknologi adalah media yang membantu kita, dan teknologi tidak boleh menguasai kita. Jadi, baik buruknya facebook dan teman-teman terletak pada bagaimana kita memposisikan diri. Salam.</span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-35330245788005211372009-02-14T09:34:00.000+07:002009-02-14T09:38:40.920+07:00Sensasionalitas Iklan PolitikBeberapa hari yang lalu ada email yang masuk dari seorang penyeruit, intinya sahabat itu menyampaikan ada seorang Caleg yang hendak memasang iklan di web ini (seruit.com), dan komentar pun bersambutan. Ada yang setuju, yang tidak setuju, dan yang setuju dengan memberikan syarat. Wajar jika ada kekhawatiran tentang posisi dan keberpihakan organisasi (walau seruit belum bisa dibilang sebagai organisasi yg punya struktur). Hingga sampai kini belum juga didapat keputusan akhir. Pada saat yang sama media juga mengekspose tentang iklan politik di media, ada iklan politik yang “menjual agama” pada sebuah kabupaten, ada iklan politik yang menjual anaknya yang ternyata artis, dan yang terakhir adalah iklan politik dari sebuah partai yang disebutkan isinya bersifat provokatif dan seolah menempatkan diri sebagai “pahlawan di tengah kemelut”. <span class="fullpost"> Trend politik yang memotong rantai hubungan dengan masyarakat konstituen sebagai konsekuensi dari pemilihan langsung ini. Partai politik menjadi lebih merasa perlu untuk “memasarkan” dirinya kepada publik secara luas. Sah-sah saja jika political marketing yang dilakukan itu demikian ekspansif dan asyik dengan isu yang dibuat oleh masing-masing. Dalam beberapa teori komunikasi, iklan pada prinsipnya berusaha untuk mempengaruhi persepsi dan emosi yang akan menentukan tindakan pihak yang menjadi target iklan tadi. Jadi isi dari iklan tersebut secara langsung akan memberikan efek stimulatif bagi masyarakat. Iklan yang isinya buruk akan mempengaruhi persepsi yang tidak baik dalam masyarakat kepada dirinya, lingkungan dan pihak yang melemparkan iklan tersebut. Demikian juga sebaliknya, iklan yang baik secara stimulatif akan memberikan efek yang baik bagi ketiga kelompok tersebut. Permasalahan yang terjadi kemudian adalah, tren yang lebih terjadi justru munculnya iklan-iklan yang lebih mendahulukan framing effect yang sensasional. Iklan-iklan tersebut nampak seperti lebih berkeinginan untuk melekat dalam memory perseptif pihak yang menjadi target. Efek kejutan yang hendak dimunculkan memang akan melekat di dalam benak secara kuat, namun pola yang seperti ini juga berpotensi merugikan bagi suatu kelompok bahkan pembuat iklan tersebut. Apabila proses logis yang dilakukan oleh target dari iklan tersebut menjadi justru berada dalam posisi yang sebaliknya maka stimulasi yang negatif justru akan lebih berkembang. <br /><br />Sangat sayang jika iklan yang berbiaya mahal itu hanya menjadi kemubaziran karena tidak memberikan efek yang positif. Acara televisi sudah banyak yang tidak baik, justru ditambah dengan iklan-iklan politik yang tidak mendidik. Hal-hal yang menjadi rumit ini berpotensi untuk lebih menguatkan pengabaian (disobedience) masyarakat untuk melibatkan diri dalam proses-proses benegara. Negara kemudian benar-benar hanya dikendalikan oleh elit yang asyik berkonflik dan memprovokasi satu sama lainnya. Abaikan sajalah iklan-iklan yang buruk. Toh, iklan pada dasarnya lahir dari kompetisi atas pilihan, jadi pilihlah yang produknya benar-benar baik. Salam.</span>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-20780056357043985402009-01-27T12:42:00.004+07:002009-01-27T12:54:49.655+07:00Imlek dan Nasionalisme<div style="text-align: justify;">Hari imlek.. awalnya biasa saja. Perayaan para saudara kita yang berdarah tionghoa. Tapi setelah membaca <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=119860875523&ref=mf">tulisan ini</a> tiba-tiba saya jadi teringat cerita sewaktu masih kecil dulu. Saya juga pernah sangat akrab dengan teman-teman bangsa tionghoa, sempat kagum pada beberapa hal yang positif dari mereka. Sewaktu sekolah dasar, saya bersekolah di sekolah yang mayoritasnya adalah bangsa Tionghoa, sekolah itu dianggap berkualitas, meski bukan sekolah negeri. Selama enam tahun banyak berinteraksi secara sosial dengan mereka yang memiliki kultur dan nilai-nilai yang unik. Saya masih ingat teman-teman Tionghoa saya waktu SD itu, seperti Acong, Eng Beng atau yang bernama Indonesia seperti Yosep, Tanto dan lainnya.<span class="fullpost"> Pada dasarnya mereka sama seperti rumpun bangsa yang lain di bumi ini. Memiliki semangat positif dan juga pada beberapa bagian memunculkan sisi yang lain. Sifat kerja keras dan pantang mundur dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka bisa saya lihat dalam keseharian mereka. Ada salah seorang teman saya yang merupakan anak pemilik perusahaan Marmer yang sedang <span style="font-style: italic;">booming</span> pada waktu itu, tapi sangat sederhana dan mau berbagi dengan kami teman-temannya. Sekedar bermain dengan mainan-mainan yang canggih pada waktu itu atau di ajak makan di rumahnya, sangat ramah pokoknya. Tapi juga ada beberapa yang sempat memberi kesan sebaliknya, ya.. mungkin karena anak-anak yang masih suka main dan kalau berselisih sering berantem, hehee.. Beberapa tahun setelah itu, masih sempat bertemu dengan mereka, sekedar sapa atau bertanya. Yang paling teringat adalah semangat dahulu waktu kami menjadi petugas upacara.. wah..</span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-28219582686776149362009-01-22T11:53:00.003+07:002009-01-22T12:16:42.136+07:00Demokratisasi dan Reformasi BirokrasiArtikelku dimuat di <a href="http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009012123025532">SKH Lampung Post 22 Januari 2009</a><br /><br /><br /><div style="text-align: justify;">Reformasi birokrasi di Indonesia adalah agenda besar yang belum selesai. Dikatakan demikian karena tujuan reformasi berupa penciptaan tatanan baru dengan tingkat daya kerja yang lebih efektif untuk melaksanakan fungsi pemerintahan belum mencapai kesimpulan yang baik.<br /><br />Indikasinya ada dua. Pertama, belum sepakatnya pemerintahan tentang struktur organisasi yang tepat dalam konteks model pemerintahan desentralisasi di Indonesia. Pada level pemerintah pusat, belum selesainya peraturan tentang kementerian negara menunjukkan keengganan memiliki struktur organisasi pemerintah yang terkelola secara lebih terkendali.<br /><br />Kementerian yang berubah dengan latar kepentingan penguasa menunjukkan politik masih menjadi pengaruh signifikan bagi birokrasi. Kebingungan juga terjadi pada level pemerintah daerah, berubahnya pedoman struktur organisasi pemerintah daerah tiga kali, yaitu peraturan tahun 2000, PP 8 Tahun 2003, dan PP 41 Tahun 2007.<span class="fullpost">Hal itu menunjukkan desain struktur organisasi pemerintah daerah masih mengalami transformasi dan penyesuaian bentuk yang berdasar pada pemaknaan desentralisasi di tataran pejabat publik yang juga sering berubah.<br /><br />Kedua, belum tereksekusinya perubahan nilai dan kultural dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia secara meluas. Indikatornya, masih tingginya tingkat korupsi dan penyalahgunaan wewenang pejabat publik.<br /><br />Penangkapan para pejabat publik pada level pemerintah pusat dan daerah oleh KPK menunjukkan secara nilai dan kultural, birokrasi masih diterjemahkan sebagai instrumen kekuasaan yang memiliki kemanfaatan politik. Jabatan dianggap memiliki posisi tawar yang kuat dan memberikan keuntungan pribadi apabila dikelola menurut kepentingan pejabat itu sendiri. Pada aspek yang pragmatis, birokrasi masih menunjukkan watak yang lama.<br /><br />Apa yang sebenarnya menjadikan agenda reformasi birokrasi berjalan lambat dan ragu-ragu?. Menjawab pertanyaan tersebut, perlu merujuk latar belakang reformasi di negara ini. Kita bisa menyimpulkan reformasi di negara ini dihasilkan dari sebuah konflik. Sebagai hasil dari konflik yang ditandai bergantinya rezim, perubahan dalam perangkat kebijakan dasar dan arus kepentingan baru yang sangat besar.<br /><br />Perubahan dalam masa tersebut kemudian menghasilkan bentukan cara pemerintahan model transformatif yang diwarnai dengan dinamika dan fluktuasi sosial politik yang sangat tinggi. Banyaknya kepentingan baru yang muncul dalam masa transformasi memberikan implikasi terhadap daya dukung energi yang tidak memadai untuk mendukung semua aspek perubahan. Sebagai hasil dari perubahan yang tidak menyeluruh pada beberapa aspek bernegara adalah tidak selesainya seluruh perubahan pada tiap aspek.<br /><br />Bisa disadari jika demokratisasi sebagai hasil reformasi adalah wujud ekspektasi yang besar terhadap kondisi baru. Namun, saya justru melihat adanya hubungan erat antara demokratisasi dengan implementasi reformasi birokrasi yang terjadi dalam reformasi 1998 hingga sekarang.<br /><br />Seperti yang telah dijelaskan, reformasi birokrasi merupakan salah satu pekerjaan yang dilaksanakan penguasa dengan tidak menyeluruh. Reformasi birokrasi dilakukan sebagai sebuah pilihan di antara beberapa lingkup reformasi lain. Sebab itu, bisa dipahami jika perubahan yang terjadi cenderung lambat dan ragu-ragu. Demokratisasi yang terjadi tidak serta-merta memberikan pengaruh positif yang kuat bagi terlaksananya reformasi birokrasi.<br /><br />Secara konseptual, hubungan antara demokratisasi dan reformasi birokrasi mengalami perdebatan yang hebat. Demokratisasi dan reformasi birokrasi di Indonesia memiliki hubungan yang bipolar. Pada satu kutub, hubungan keduanya bisa positif, sedangkan pada kutub yang lain hubungan keduanya bisa negatif. Hubungan di antara keduanya bisa positif apabila demokratisasi bisa mendukung terjadinya reformasi birokrasi, sementara itu hubungan keduanya bisa negatif apabila demokratisasi justru mengganggu reformasi birokrasi.<br /><br />Demokratisasi bisa mendukung terjadinya reformasi birokrasi itu terjadi dalam tiga konteks, yaitu pertama, sebagai latar momentum. Reformasi birokrasi membutuhkan prasyarat adanya momentum perubahan. Tidak semua perubahan akan memberikan jalan bagi reformasi birokrasi, perubahan yang didasari atas demokratisasi sajalah yang memberikan peluang adanya reformasi ini.<br /><br />Kedua, sebagai medium stumulasi. Dalam hal ini, demokratisasi memberikan jalan bagi prioritas reformasi bikrokrasi. Demokratisasi melihat reformasi birokrasi sebagai bangunan sistem yang memberikan banyak pengaruh bagi penerjemahan semangat demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang hadir tidak berkembang secara egois dengan menonjolkan persoalan representativitas kepentingan semata.<br /><br />Ketiga, sebagai sebuah nilai yang hendak diwujudkan. Perubahan yang dihasilkan dari demokratisasi dan terlaksana dalam ruang demokratisasi memiliki potensi memunculkan semangat baru yang dihasilkan dari reformasi birokrasi tersebut. Sebagai sebuah perubahan, reformasi biorkrasi memiliki keniscyaan untuk memilih model baru yang hendak digunakan dan dengan akomodasi serta dorongan demokratisasi yang tepat dan secara baik, model birokrasi yang berubah tadi juga akan memilih demokrasi sebagai rujukannya.<br /><br />Kutub yang kedua, yaitu hubungan negatif dimana demokratisasi justru mengganggu reformasi birokrasi terjadi dalam wujud yang berlawanan dengan kutub yang pertama. Dalam kutub kedua ini, demokratisasi dan reformasi birokrasi berjalan tidak seiring, sehingga masing-masing akan mencari bentukan perubahan yang tidak teratur dan terkelola secara substanstif. Demokrasi menjelma dalam bentuk prosedural dan ingar-bingar yang menyerap terlalu banyak energi, sedangkan reformasi birokrasi tidak memperoleh dukungan kuat untuk menjadi sebuah agenda besar yang terlaksana secara konsisten, menyeluruh, dan tegas.<br /><br />Meskipun demokratisasi telah memiliki tempat, tidak menjelma menjadi medium stimulasi yang memberikan ruang bagi hadirnya nilai-nilai baru bagi reformasi birokrasi itu sendiri. Dengan melihat pemetaan ini, bisa dikatakan kondisi di Indonesia adalah pada kutub yang kedua.<br /><br />Lantas apa yang harus dilakukan? Benang merah dari hal ini pada ketidaktepatan memperlakukan demokratisasi dan reformasi birokrasi. Sebab itu, yang perlu dilihat adalah demokratisasi dan reformasi birokrasi memiliki potensi untuk saling memperkuat apabila dilaksanakan dengan manajemen yang baik pada masing-masingnya.<br /><br />Demokratisasi memerlukan manajemen demokrasi agar tidak terlalu ingar-bingar dan menghabiskan energi untuk hal yang kurang substantif, sementara itu reformasi birokrasi juga memerlukan manajemen perubahan yang baik sehingga cakupan, arah dan skema yang menuju kepada pencapaian nilai baru dapat terjaga secara konsisten. Selain itu, yang perlu diwujudkan adalah manajemen rangkaian (continuum management) yang menghubungkan secara tepat hubungan dia ntara keduanya. Manajemen ini berfungsi menyeimbangkan dan mengarahkan kedua aspek tersebut secara tepat. (Ditulis oleh: Simon S. Hutagalung- Dosen FISIP Universitas Lampung).</span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-64273980435781004902009-01-19T08:32:00.004+07:002009-01-19T08:38:54.090+07:00MENILAI E-GOVERNMENT DI LAMPUNG<span style="font-style: italic;">Sebuah Hasil Penelitianku</span><br /><br /><div style="text-align: justify;">Dalam suatu kesempatan, Dr. Lyle D. Wray, seorang pakar manajemen pemerintahan dari Amerika Serikat datang ke Lampung dan melalui sebuah seminar menyampaikan tentang pentingnya e-government dalam konteks pemerintahan modern. E-government sebagai sebuah tren yang berkembang di banyak negara dikembangkan karena beberapa kelebihan prinsip yang dimilikinya. Dikatakan olehnya bahwa penggunaan teknologi informasi diyakini dapat mengurangi mengurangi korupsi, mempercepat pelayanan, dan dapat meningkatkan perkembangan ekonomi. Selain itu, disimpulkan juga bahwa e-government adalah potensi bagi partisipasi publik dalam pemerintahan.<br /><br />Untuk implementasi e-government pada Negara Republik Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government yang dituangkan melalui INPRES No. 3 tahun 2003. Menurut Soendjojo (2007), berdasarkan sifat transaksi informasi dan layanan publik yang disediakan oleh pemerintah melalui jaringan informasi, pengembangan e-government di Indonesia mengacu strategi keenam yang terdapat pada INPRES No. 3 tahun 2003 yaitu melaksanakan pengembangan secara sistematik melalui tahapan-tahapan yang realistik dan terukur, maka dapat dilaksanakan melalui 4 (empat) tingkatan: pertama; persiapan, yaitu pembuatan situs web sebagai media informasi dan komunikasi pada setiap lembaga. Kedua; pematangan, yaitu pembuatan web portal informasi publik yang bersifat interaktif. Ketiga; pemantapan, yaitu pembuatan web portal yang bersifat transaksi elektronis layanan publik. Keempat; pemanfaatan, yaitu pembuatan aplikasi untuk layanan yang bersifat Government to Government (G2G), Government to Business (G2B), Government to Consumers (G2C). <span class="fullpost">Dalam implementasinya, Instruksi Presiden No. 3 tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government tersebut, tidak hanya diwujudkan sebagai sebuah kepatuhan namun juga mampu menstimulasi inspirasi lokal dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai media alternatif untuk mewujudkan kepentingan pemerintahan yang baik (good governance). Bahkan selama ini terbukti beberapa terobosan lahir dari Pemerintah Daerah, seperti e-procurement Kota Surabaya, pelayanan satu pintu Kabupaten Sragen, jaringan enterprise Kota Yogjakarta dengan UPIKnya, administrasi kependudukan Kota Balikpapan dan beberapa best practice lainnya di Indonesia. Implementasi integrasi database pun berjalan baik di beberapa daerah, seperti Kabupaten Kebumen yang mampu mengintegrasikan database kepegawaian, Kota Semarang dan Kota Magelang yang mengintegrasikan database kependudukan dan pendidikan. <br /><br />Manfaat yang muncul dari penerapan e-government pada pemerintah daerah tersebut menunjukkan bahwa otonomi daerah dapat menjadi ruang kreatif dan inovatif yang berarti bagi keberlangsungan pemerintah dan masyarakat lokal. Sebagai sebuah bentuk ruang otonom, maka penerapan e-government berujung dari insiatif dan komitmen lokal untuk menerjemahkannya dalam wujud nyata.<br /><br />Bagaimana dengan Lampung?. Dari sebuah kajian yang penulis lakukan terhadap kabupaten dan Kota di Propinsi Lampung, menemukan bahwa sebanyak 75% Pemerintah Kabupaten yang mencoba mengembangkan aplikasi teknologi informasi dalam kategori e-citizen dan e-service. Sisanya mencoba melihat dan mengaplikasikan kategori e-society. Jika merujuk pada kategori e-citizen dan e-service yang antara lain memiliki karakteristik: Pertama, berbicara Kepada Warga, yang cirinya; ICT digunakan untuk menyediakan informasi tentang aktivitas-aktivitas sector publik kepada warga, adanya penyediaan aliran informasi dari pemerintah kepada warga yang akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, mendengarkan warga, yang cirinya; ICT digunakan untuk meningkatkan masukan (input) dari warga dalam keputusan-keputusan dan tindakan dalam sektor publik, ditandai dengan tersedianya aliran informasi dari warga masyarakat kepada pemerintah. Ketiga; meningkatkan pelayanan publik, yang cirinya; ICT digunakan untuk meningkatkan peningkatan pengantaran pelayan kepada publik dalam dimensi kualitas, ketersediaan, dan biaya, adanya penyediaan informasi tentang komponen pelayanan publik dalam bentuk digital. Meskipun ada inisiatif awal yang coba dikemas oleh Pemerintah Daerah tersebut, namun dapat juga disimpulkan bahwa penerapan e-government dalam masing-masing Pemerintah Kabupaten belum memilki orientasi yang baik dan diterjemahkan secara optimal.<br /><br />Diketahui juga kendala-kendala yang umumnya terjadi dalam penerapan e-government, antara lain dalam komponen infrastuktur sistem data, yaitu dalam persoalan ketersediaan data dan pengolahan data. Kedua infrastruktur institusional, yaitu dalam hal perhatian dan komitmen institusi Pemerintah Daerah untuk menangani e-government. Ketiga, infrastruktur Manusia, yaitu ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia yang secara khusus menangani sistem informasi manajemen pada masing-masing Pemerintah Kabupaten. Keempat, kepemimpinan dan pemikiran strategis, yaitu dalam hal adanya dan konsistensi pimpinan pemerintah daerah dalam menciptakan dan memanfaatkan Teknologi Informasi untuk aktivitas Pemerintahan Daerah. Keempat kendala umum ini yang secara keseluruhan menjadi masalah pokok pada seluruh Pemerintah Daerah.</span><br /><span class="fullpost">Melihat belum optimalnya penerapan domain e-government pada masing-masing Pemerintah Daerah tersebut, maka dapat disarankan untuk menyusun kembali orientasi pengembangan teknologi informasi yang dapat menunjang aktivitas pemerintahan pada masing-masing daerah. Pada prinsipnya, setiap daerah memiliki karakteristik dan kebutuhan tersendiri dalam mengembangkan variasi model penerapan e-governance. Sehingga sikap imitasi atau mencontoh penerapan daerah lain secara buta mestinya tidak perlu dilakukan, karena tindakan tersebut justru akan mengakibatkan tidak maksimalnya pemanfaatan teknologi informasi pada Pemerintah Daerah tersebut. Setelah diketahui dan dipahami orientasi yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan dari daerah tersebut, maka yang perlu dilakukan adalah mengoptimalkan penerapan domain yang dikelola tersebut dengan memperkuat dari masing-masing komponen yang dimilikinya. Pada dasarnya pelaksanaan e government dapat mengadopsi keseluruhan domain (e-administration, e-citizen dan e-service serta e-society), terselenggaranya ketiga domain ini sekalgus dapat dilakukan melalui integrasi pengelolaan sistem informasi manajemen. Karenanya, jika telah terselenggaranya salah satu domain maka terbuka kesempatan untuk mengadopsi keseluruhan domain tersebut pada masing-masing Pemerintah Daerah. Hanya saja, untuk mencapai pada tingkatan yang mengakomodasi penerapan keseluruhan domain tersebut memang membutuhkan kapasitas elemen yang semula sebagai kendala menjadi modal dasar untuk pencapaian potensi besar dari penerapan e-government.<span style="font-style: italic;">(Oleh: Simon S. Hutagalung-Dosen FISIP Unila-Pengajar SIM Sektor Publik)</span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-68472008930260024892008-12-29T08:10:00.003+07:002008-12-29T08:22:13.371+07:00Buku Perjuangan Di Lampung<div align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7_E_o9Xlwq73sbP84LU2l0v1FhYz6hdvAEfGfq-pJgotUfshhWzNF7OVpABchiPlGJhvmQ8CBeEscMC3S4g4EzSp5nxTiLFtR_k9M3ruCr-GMwA2tqLdoN5v4XubV22amLPAV/s1600-h/Picture0073.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5285015139458671298" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 240px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7_E_o9Xlwq73sbP84LU2l0v1FhYz6hdvAEfGfq-pJgotUfshhWzNF7OVpABchiPlGJhvmQ8CBeEscMC3S4g4EzSp5nxTiLFtR_k9M3ruCr-GMwA2tqLdoN5v4XubV22amLPAV/s320/Picture0073.jpg" border="0" /></a><span class="fullpost">Tidak sengaja saat sedang liburan di rumah, saya menemukan buku ini di tumpukan buku lama, agaknya saya tertarik untuk coba membacanya lagi, apakah ada nama-nama yang terlupakan, atau ada nama-nama yang sudah dikenal oleh masyarakat Lampung? terus terang, sejarah tentang perjuangan lokal di Lampung memang masih harus terus ditelaah, diekplorasi dan diungkap, karena banyak hal hal menarik yang sebenarnya masih bisa menunjukan banyak makna tentang peranan tokoh-tokoh Lampung dalam Perjuangan (dalam hal ini perjuangan fisik). Menarik.... hmm.. Iqro..</span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-18959289238939179882008-12-07T14:29:00.000+07:002008-12-07T14:33:36.690+07:00Judulnya dulu atau belakangan ?Berawal dari pertanyaan sederhana. “Kalo menulis, judulnya itu duluan atau belakangan?”. Pertanyaan dari dia ini kelihatannya memang sederhana, pertanyaan yang jawabannya tinggal memilih saja. Tapi nanti dulu, yang bertanya ini bukan orang sembarangan. Orang cerdas biasanya punya sudut pandang yang beda dalam menilai jawaban dari orang lain. Lantas saya jawab: “judul itu simbol dari seluruh tulisan, sama seperti puisi”. Eh, lantas dia senyum-senyum saja. Pasti ada maksudnya ini. Wah, apa salah jawab ya?. Ternyata beberapa lama kemudian dia menjelaskan kalau ada tipe orang yang memulai menulis dari judulnya dulu dan ada juga yang menulis judulnya belakangan. Wah.. mulai belajar tentang menulis juga dia ini, pikir saya. Hmmmm… <span class="fullpost"><br /><br />Ya, memang betul. Karena itu menulis itu adalah seni. Setiap orang bisa menulis dengan caranya masing-masing, selama orang itu menikmati dan memberi hasil yang bagus. Karenanya, penghargaan terhadap menulis itu sifatnya subjektif. Yang buruk menurut satu orang, belum tentu buruk dimata orang lain. Tulisan itu adalah bahasa pikiran yang subjektif, karena dalam menulis melibatkan pikiran masing-masing orang. Jadi dari tulisan yang dibuat, kita juga dapat melihat kepribadian dan cara berpikir dari si penulis. Menulis juga adalah sebuah diskusi, yang melibatkan diri sendiri dengan “cermin” dari diri sendiri itu, hasil dari diskusi itulah yang menghasilkan ide-ide yang menarik. <br /><br />Kalau ditanya apa enaknya menulis, menulis itu sama seperti enaknya pelukis yang melukis, atau seperti makan makanan kesukaan kita. Puas rasanya kalo selesai mencipta sebuah tulisan. Menulis kreatif itu pada prinsipnya terbagi dua, yang pertama adalah menuliskan sesuatu yang sama sekali baru, baik isi atau pengemasannya dalam bahasa tulisan. Kedua, menulis sesuatu yang sudah lazim dengan bahasa tulisan alternatif, bisa dengan sudut pandang, gaya menulis atau pilihan kata yang beda. Aku jadi ingat seorang teman dahulu, dia bilang kalau ingin mulai menjadi penulis, maka tulislah apa yang melintas di pikiranmu. Benar juga memang, tantangan utama bagi penulis awal memang adalah bagaimana harus memulai sebuah tulisan, setelah itu adalah bagaimana supaya ide tulisan itu terjaga tetap fokus dan konsisten (tidak melebar kemana-mana), baru sesudahnya adalah bagaimana supaya kalimat-kalimat dalam tulisan itu bisa punya “kekuatan”, dalam arti tidak mubazir atau meaningless. Tapi untuk menuju ke sana tipsnya cuma satu, mulailah menulis saat ingin menulis. Wah, jadi pingin nulis buku tentang menulis kreatif. Hmm.. akan daku dipikirkan.. thanks.. Okelah, untuk yang bertanya itu: selamat menulis ya...:)</span>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-55762491213151973902008-11-26T17:59:00.000+07:002008-11-26T18:18:03.987+07:00Wisata Ke Kali Kuning<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiehUWdsYgomZi5q2zYd60ZlfClOnsiclKyPAAxkjCvqobtXntvbTy8QAbLuaSbKNtERd5tPYazpGJAhe1a-QYeB50mCupu3YM8D0z_chEMiqTQmbUKfQX2tOifWP4-7O244c2t/s1600-h/IMGP1104.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiehUWdsYgomZi5q2zYd60ZlfClOnsiclKyPAAxkjCvqobtXntvbTy8QAbLuaSbKNtERd5tPYazpGJAhe1a-QYeB50mCupu3YM8D0z_chEMiqTQmbUKfQX2tOifWP4-7O244c2t/s320/IMGP1104.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5272921321909982994" border="0" /></a>Ide wisata ini sebagai bentuk kejenuhan dari akivitas kuliah, bukan menyalahkan kuliahnya, tapi tumpukkan tugas-tugas yang diberikan para dosen nan sibuk itu cukup menyita energi pikiran dan tenaga. Kami khawatir kalo lulus nanti justru jadi orang gila ketimbang orang cerdas, hehehe.. peace ya... Tercetuslah ide untuk wisata bersama dengan seluruh anggota kelas, alhasil di hari Sabtu lalau kami wisata bersama. Perjalanan diarahkan ke arah Gunung Merapi, tapi bukan ke Merapi untuk bertemu Mbah Marijan yang selalu ngefans sama Rosa (lah.. selalu teriak Rosa,, Rosa.. toh..). Memang tempat yang kami kunjungi cukup nyaman, lembah yang dialiri sungai, pepohonan pinus juga menjadi latar yang indah (minimal latar foto-foto yah..).<span class="fullpost"> Sebelum menuju sungai, kami harus menuruni lereng perlahan-lahan.. wah saya jadi ingat waktu masih mahasiswa S-1 dulu, membelah hutan & dikerubungi pacet untuk menuju air terjun Kalirejo. Tapi ini tidak ada pacetnya, sudah cukup terawat. Meski sempat membandingkan dengan tempat saunya lagi yang berdekatan (Kaliurang) yang konon lebih indah, tapi ya sudah kami cukup puas dengan perjalanan yang bernuansakan kekeluargaan dan persahabatan ini. Sweet memory (halah..baru aja ketemu). Sepulang dari sana, kami sempatkan untuk makan siang bersama di tempat yang juga nyaman. Uenaknya.. setelah lapar terus makan bersama..</span>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-65032841696605702422008-11-26T17:40:00.000+07:002008-11-26T17:59:37.486+07:00Hidup dan Kuliah di Jogja<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMeMdfkbvbokkxApwew_EqGOweEjyxjZZZH9Wu8PJqsUZFpeMVIxOg2_sbVrc9Gg2wKMnp_L_QVo_jF_QxGzPf2MZ5PaC6AtAoa5pnn98vjwkMKnedEIYSyCkMH0ggsROqsjS_/s1600-h/DSC07745.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMeMdfkbvbokkxApwew_EqGOweEjyxjZZZH9Wu8PJqsUZFpeMVIxOg2_sbVrc9Gg2wKMnp_L_QVo_jF_QxGzPf2MZ5PaC6AtAoa5pnn98vjwkMKnedEIYSyCkMH0ggsROqsjS_/s320/DSC07745.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5272916080783105074" border="0" /></a>Tak terasa sudah tiga bulan di Jogja, rutinitas seperti biasa: Kampus-Kosan-Perpustakaan, kadang-kadang jalan-jalan ke tempat yang menarik di Jogja sini. Sudah tiga bulan, kuliah dengan 18 orang lainnya teraa menyenangkan. Kepribadian yang sudah dewasa dan stabil membuat suasana menjadi saling menghargai dan melengkapi satu dengan lainnya. Kelas ini juga cukup unik karena seolah mencerminkan Indonesia mini, Ada yang dari Aceh hingga Papua, bahkan ada yang berasal dari Kepulauan Natuna. Satu-satunya mahasiswa Internasional di Kelas ini berasal dari Laos, negara yang menggunakan bahasa Thailand, sehingga kami maklum jika harus mensupport dia dalam interaksi sehari-hari. <span class="fullpost"> Bukannya sombong, tapi kebetulan saya dan teman satunya lagi yang berasal dari Lampung termasuk yang menonjol di Kelas. Kalo geng Lampung sudah unjuk tangan.. wow.. dosennya pun bisa terngaga-nganga.. hehe XL banget (xtra lebay..). Satu panggilan yang diberi teman-teman pada saya adalah panggilan "Prof." Wah.. apa maksudnya sampe sekarang saya tidak begitu paham apa alasannya (pura-pura gak paham sih.. hehe..). Meski cukup enjoy dalam kuliah, tapi lumayan melelahkan juga. Namun, janji pada diri sendiri sudah dituliskan dalam hati nurani, langkah harus tetap berderap. Akan kutunggu dua tahun waktu kuliah itu (emangnya yakin bisa dua tahun??.. ). Hiduplah kuliah euy..</span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-90264847376456562332008-11-13T17:30:00.000+07:002008-11-13T17:33:43.542+07:00Meneropong Calon Kabupaten Pringsewu<div align="justify">Artikelku dimuat di <a href="http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008110223423717"><em>SKH Lampung Post, 3 November 2008</em></a></div><div align="justify"> </div><div align="justify">Pembentukan kabupaten Pringsewu akhirnya disetujui dalam rapat paripurna DPR pada 29 Oktober lalu. Selain Pringsewu disetujui juga pembentukan 12 daerah, dua di antaranya kabupaten Mesuji dan Tulangbawang Barat (Lampost, 30-10). Disetujuinya kabupaten tersebut sudah diperkirakan sebelumnya karena telah lolos tanpa catatan dalam proses penyeleksian, penelitian, dan pendalaman data layak dan tidaknya menjadi sebuah daerah otonom baru yang dilakukan Panitia Kerja (Panja) antara DPOD dan Komisi II DPR (Lampost, 25-10). Sebagai salah satu daerah baru, Pringsewu memiliki beberapa aspek yang menjadikannya mampu menunjang kehidupan masyarakat di wilayahnya. Di samping itu, kabupaten ini juga memiliki beberapa aspek yang mesti dicermati dan dikelola secara, jelas, dan terarah sehingga dapat benar-benar otonom dan berdaya.<span class="fullpost"><br /><br />Penulis sempat mengkaji hal tersebut. Berdasar pada kajian kondisi existing pada wilayah calon kabupaten, memang sudah terdapat latar belakang dukungan politis yang meluas pada tataran komunitas masyarakat terhadap pembentukan kabupaten Pringsewu. Dukungan tersebut berdasar pada pertimbangan terhadap kondisi potensi yang dimiliki wilayah Kabupaten ini. Meskipun masih terdapat kondisi yang juga harus diperhatikan dengan cermat.<br /><br />Pertama, berkaitan dengan kondisi infrastruktur. Pada beberapa kecamatan di wilayah kabupaten itu, didapati jalan yang belum beraspal atau yang kondisinya rusak, jalan yang sudah baik umumnya jalan utama, sedangkan yang menjangkau ke desa belum maksimal kondisinya. Sementara untuk listrik di wilayah ini, hampir sebagian besar kecamatan terjangkau listrik. Untuk jaringan telepon di wilayah calon kabupaten Pringsewu hanya terdapat di wilayah yang terbatas (kecamatan yang maju).<br /><br />Kedua, berkaitan dengan kondisi ketenagakerjaan. Sebagai sektor unggulan di wilayah calon kabupaten Pringsewu, pertanian menyerap tenaga kerja tertinggi. Namun, masalah ketenagakerjaan pada daerah ini dalam penyerapan tenaga kerja usia produktif, khususnya yang terdidik pada sektor pertanian, tenaga kerja yang ada lebih memilih bekerja di luar wilayah mereka sendiri atau memilih untuk bekerja pada sektor selain pertanian, antara lain pada sektor perdagangan dan jasa.<br /><br />Latar belakang kondisi alam pendukung pertanian yang kini kurang baik serta image kerja pertanian yang kurang baik mengakibatkan tenaga kerja usia produktif awal, bekerja pada sektor lain. Sehingga yang tersisa dari yang tidak pergi itu menjadi pengangguran.<br /><br />Ketiga, berkaitan dengan kondisi geografis. Kondisi geografis di wilayah calon kabupaten Pringsewu yang berbukit dan mayoritas terdiri dari tanah pertanian dan perkebunan pada beberapa kecamatan yang belum maju dapat menjadi tantangan bagi aktivitas masyarakat setempat. Kondisi infrastruktur jalan yang belum memadai pada daerah tersebut merupakan faktor penyebab masih adanya kendala geografis, pada daerah kecamatan lebih maju kondisi sebaliknya yang terjadi.<br /><br />Keempat, berkaitan dengan kondisi objek wisata. Di wilayah calon kabupaten Pringsewu, umumnya kecamatan sudah memiliki potensi wisata tapi hampir keseluruhannya menyadari belum adanya pengelolaan potensi yang lebih baik sehingga dapat menjadi daya tarik produktif.<br /><br />Sementara itu, untuk kondisi fasilitas pendukung wisata di wilayah calon kabupaten Pringsewu, seperti fasilitas hotel, motel, dan akomodasi sejenisnya sudah cukup banyak pada kecamatan yang lebih maju, pada kecamatan yang belum maju, fasilitas ini masih langka. Namun, fasilitas yang lebih bersifat spesifik penunjang wisata, hampir keseluruhan kecamatan belum memilikinya.<br /><br />Kondisi geografis dan kondisi infrastruktur (jalan, listrik, dan telepon) merupakan faktor yang memiliki keterkaitan. Kondisi geografis yang unik apabila di fasilitasi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai, tidak akan menjadi masalah bagi masyarakat, demikian juga sebaliknya bila kondisi geografis tersebut kurang diatasi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai, akan memengaruhi dinamika masyarakat dalam sektor kehidupannya.<br /><br />Demikian juga dengan kondisi ketenagakerjaan yang pada prinsipnya terbentuk oleh kondisi perekonomian pada suatu daerah. Meskipun kondisi perekonomian yang dimiliki calon daerah ini memiliki potensi unggulan, ternyata nampak belum cukup memadai untuk mewadahi potensi kuantitas dan kualitas tenaga kerja yang dimiliki masyarakat calon daerah tersebut.<br /><br />Kurang bervariasinya sektor perekonomian menjadikan masyarakat yang memiliki minat dan kapasitas lebih baik memilih bekerja atau membuka usaha di luar daerahnya.<br /><br />Pada kondisi objek wisata dan fasilitas pendukungnya belum mendapat penanganan yang baik, kondisi itu menunjukkan belum termanfaatkannya peluang ekonomi yang bisa menghasilkan implikasi positif bagi masyarakat. Jika ada pengelolaan yang lebih baik, potensi ini akan memberi pengaruh berupa sektor alternatif ketenagakerjaan dan menunjang kondisi perekonomian pada calon daerah tersebut.<br /><br />Kondisi yang terjadi merupakan komponen sub indikator substantif yang menjadi prasyarat terbentuknya sebuah daerah otonom baru. Sebab itu, secara logis kondisi yang terjadi sebenarnya pada suatu calon daerah baru akan memengaruhi daya dukung untuk mengelola potensi dan memanfaatkan potensi yang dimilikinya secara mandiri guna kebutuhan pembangunan di daerah tersebut.<br /><br />Keempat hal spesifik yang menjadi catatan bagi penulis merupakan kondisi yang memiliki hubungan elementer dengan dimensi-dimensi kepemerintahan (governance) dan masyarakat (society). Keempat kondisi tersebut nantinya dapat memengaruhi dinamika ekonomi, sosial dan politik yang terjadi pada wilayah calon kabupaten Pringsewu.<br /><br />Jika kondisi tersebut dikelola secara tepat, kabupaten Pringsewu dapat menjadi sebuah daerah yang berkembang secara pesat, bahkan mungkin saja melebihi kabupaten induknya. Begitu juga sebaliknya.<br /><br />Pemikiran dalam konteks terbentuknya daerah baru sebaiknya tidak diartikan sebagai kesuksesan akhir, terbentuknya daerah itu adalah awal dari proses manajemen potensi lokal yang berujung kepada nilai kompetitif dan komparatif daerah tersebut dengan daerah lain. Pekerjaan yang lebih sulit ketimbang pembentukan daerah itu sendiri. Apa yang kemudian harus digarisbawahi? Bahwa persoalan daerah baru bukan saja merupakan persoalan teritorial existing, bukan sekadar persoalan kondisi wilayah yang baik atau tidak baik, melainkan juga persoalan manajemen wilayah. Seperti apa interpretasi, sikap, dan tindakan yang dilakukan pelaku kebijakan terhadap kondisi wilayahnya, itulah yang nantinya menentukan tingkat perkembangan sebuah daerah.<br /><br />Kemampuan kembangkan kerja sama dengan jejaring potensial yang concern terhadap daerah ini juga merupakan titik mula yang penting. Semua itu yang nantinya memberi jawaban besar dari urgensi terbentuknya daerah tersebut.</span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-75493495561421693782008-10-21T16:06:00.001+07:002008-10-21T16:31:07.017+07:00MASALAH KEBIJAKAN DAN KEBIJAKAN BERMASALAH<div style="text-align: justify;">Artikelku dimuat <a href="http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008102023471347">SKH Lampung Post, tanggal 21 Oktober 2008</a><br /><br />Pada suatu saat, muncul dua persoalan ditengah kehidupan sebuah negara. Persoalan yang pertama adalah keinginan untuk memperpanjang masa jabatan seorang pejabat yudikatif. Berbagai argumen kemudian berkembang melalui media massa, antara yang pro dan kontra terhadap keinginan tersebut. Hingga akhirnya dalam beberapa rentang waktu yang tidak lama, opini tersebut sampai pada para pembuat keputusan, ditafsirkan sebagai sebuah masalah dan menjadi agenda pembahasan yang urgen. Sebagai sebuah masalah, opini yang awalnya hanya menjadi issu berubah menjadi masalah bersama dan menjadi input dari proses pembahasan hingga kemudian menghasilkan output keputusan bersama.<br /><br />Pada saat yang lain, muncul keluhan dari para guru mengenai sulitnya menikmati janji kesejahteraan, meskipun telah menunggu sekian lama dan baru beberapa tahun ini diberi peluang melalui sertifikasi profesi. Guru yang sudah lulus sertifikasi kemudian harus menunggu lama untuk bisa mendapatkan hak yang menjadi implikasi dari uji sertifikasi tersebut. Sudah harus menunggu bertahun-tahun dan ketika kesempatan terbuka, masih saja diperlambat. Masalah birokratisasi yang tidak efisien dan berlarut-larut dalam program kesejahteraan guru tersebut tidak serta merta sampai pada para pembuat keputusan, tidak dianggap sebagai masalah urgen apalagi menjadi agenda pembahasan yang diharapkan akan menghasilkan keputusan bersama <span class="fullpost">yang dapat menjadi solusi berjangka panjang bagi persoalan tersebut.<br /><br />Apa yang bisa kita identifikasi dari fakta proses penyelenggaraan negara dalam kedua kasus tersebut?. Ada beberapa hal yang bisa muncul menjadi ulasan menarik, namun penulis hendak melihatnya sebagai sebuah permasalahan proses kebijakan. Dikatakan demikian karena ada persoalan yang timpang di dalam kedua kasus tersebut. Jika kita cermati, kasus pertama merupakan sebuah persoalan bersifat elitis, karena menyangkut kepentingan terhadap posisi jabatan tertentu. Persoalan power sharing dan akomodasi kepentingan ternyata menjadi dasar penguat dari urgensitas isu tersebut untuk berubah menjadi masalah dan ditindaklanjuti sebagai sebuah agenda kebijakan. Sementara itu, kasus kedua merupakan sebuah persoalan yang sangat mendasar. Siapa pun tahu jika pendidikan yang berkualitas membutuhkan daya dukung kapasitas yang memadai, termasuk adalah kesejahteraan pendidik secara nyata. Lalu mengapa kasus pertama lebih cepat menjadi agenda pembahasan dari pengambil keputusan dan menghasilkan sebuah keputusan bersama, ketimbang kasus kedua yang tetap berlarut larut tanpa ada suatu solusi efektif yang berjangka panjang. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kuatnya pengaruh konteks politik terhadap sebuah isu kebijakan akan menentukan berlanjutnya isu tersebut menjadi masalah kebijakan yang kemudian masuk ke dalam ruang formatif proses kebijakan. <br /><br />Kedua kasus tersebut hanya contoh dari beberapa persoalan kebijakan pada Pemerintahan di Indonesia. Dikatakan sebagai persoalan kebijakan karena persoalan tersebut merupakan bagian dari dinamika formatif proses kebijakan dalam penyelenggaran pemerintahan. Kebijakan sebagai instrumen pengelolaan pemerintahan merupakan mata rantai utama dalam operasionalisasi fungsi kepemerintahan (governance). Sebagai mata rantai utama, maka jika kebijakan itu keliru atau tidak tepat dalam menangani persoalan di dalam negara, konsekuensinya adalah kegagalan pemerintah dalam fungsi implementatifnya. Permasalahan kebijakan yang terjadi umumnya baru dirasakan saat sebuah kebijakan tersebut dilaksanakan, para pembuat kebijakan (policy maker) atau pelaksana (implementor) baru menjerit dan sadar akan kesalahannya ketika terjadi kondisi implementasi yang buruk (bad implementation). Dalam kondisi yang teramat sulit, kebijakan tersebut justru akan menghasilkan penolakan atau pengabaian oleh elemen-elemen yang secara legal terlibat di dalamnya. Dalam konteks ini, pemerintah telah bertindak sangat tidak efektif karena telah mengeluarkan demikian banyak energi untuk suatu kebijakan yang tidak mampu diimplementasikan, apalagi mampu mengatasi masalah kebijakan secara tuntas.<br /><br />Ada persoalan proses kebijakan yang paling pokok terjadi, yaitu sesuatu yang disebut sebagai kesalahan tipe ketiga; memecahkan masalah yang salah. Kesalahan ini apabila diibaratkan maka akan sama seperti seorang dokter yang salah melakukan diagnosa dari keluhan seorang pasien. Seorang dokter yang terlalu cepat menyimpulkan penyakit pasien, kemudian memberikan obat yang tidak tepat, karena pasien tersebut ternyata menderita penyakit lain, maka akibatnya fatal bagi si pasien. Kesalahan ini terjadi karena penyederhanaan yang berlebihan terhadap proses yang kompleks. Rasionalitas yang dikembangkan terhadap sebuah isu kebijakan dilakukan dengan pilihan yang tidak disadari, tidak kritis serta justru sering mengacaukan secara serius konseptualisasi masalah substantif dan solusinya yang potensial (Hoss, Tribe: 1972). Hadirnya isu kebijakan dari opini dalam masyarakat bersifat kompleks karena menyangkut berbagai faktor yang menjadi latar belakang. Kemampuan untuk mengidentifikasi dan melihat gambaran besar dari faktor tersebut menjadi awal yang menentukan proses selanjutnya.<br /><br />Seperti dalam kedua kasus yang menjadi contoh. Dalam kasus tersebut dapat muncul banyak pertanyaan, diantaranya; seberapa luas lingkup dan cakupan yang menjadi latar dari munculnya isu tersebut?, Apakah penting meningkatkan isu tersebut menjadi sebuah masalah yang mendesak untuk diselesaikan?, Apakah isu tersebut adalah memiliki implikasi yang sangat kuat dalam mengatasi persoalan yang melatarbelakanginya secara siginifikan?. Melalui pertanyaan itu dapat ditentukan pentingnya isu menjadi masalah dan menjalani proses kebijakan selanjutnya.<br /><br />Dengan demikian kemampuan analisis kebijakan publik memiliki peran yang sangat menentukan. Kemampuan rasionalitas erotetik dalam mengelola issu, meta masalah dan masalah formal dalam proses kebijakan merupakan penentu utama dalam efektifnya desain sebuah rumusan masalah yang menjadi input dalam proses kebijakan. Melihat banyaknya kebijakan yang bermasalah, maka sudah sepantasnya jika sebagai pelaku kebijakan, pemerintah pusat, daerah dan stakeholder yang lainnya memiliki perhatian yang lebih baik dalam konteks ini. Kemampuan untuk memahami masalah sebagai bagian besar dari mengatasi keseluruhan persoalan merupakan modal untuk menciptakan kebijakan publik yang lebih baik.<br /><br />Tidak perlu berhenti untuk belajar tentang hal ini, karena negara sehebat Amerika Serikat pun bisa mengalami kegagalan menganalisis isu dan masalah, sehingga pengabaian terhadap identifikasi terjadinya subprime mortgage yang beberapa tahun lalu dilakukan akhirnya mengakibatkan krisis finansial yang mengguncang. Saya rasa kita bisa memahami tentang pentingnya studi kebijakan publik, khususnya dalam kemampuan untuk memahami masalah kebijakan, sebelum semakin banyak kebijakan yang bermasalah.</span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-9725475971740771512008-10-10T08:39:00.001+07:002008-10-10T08:52:15.894+07:00Menilai Kebijakan Trafficking di Lampung<div align="justify"><em><span style="color:#000000;">Dimuat di </span><a href="http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008100523074945"><span style="color:#000000;">SKH Lampung Post, 6 Oktober 2008</span></a></em><a href="http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008100523074945"><span style="color:#000000;"> </span></a><br /><br />Dalam upaya penanggulangan trafficking Pemerintah Republik Indonesia sebenarnya telah konsekuen atas upaya penanggulangan masalah tersebut dengan menindaklanjuti ratifikasi atas Konvensi PBB melawan kejahatan transnasional dan Protokol Palermo, hingga terbitnya UU RI Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Keseriusan itu diikuti pada tingkat daerah, terdapat tiga Propinsi yang telah mengeluarkan Perda khusus tentang trafficking, yaitu; Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Lampung. Pemerintah Propinsi Lampung sendiri sangat serius dalam issu trafficking ini, ditandai dengan keluarnya Peraturan Daerah Propinsi Lampung Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Pencegahan Trafficking dan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Rencana Aksi Daerah Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak Tahun 2005-2009.<br /><br />Perda Nomor 4 tahun 2006 menjabarkan perangkat daerah yang berperan langsung dalam implementasi kebijakan pencegahan trafficking ini. Perangkat daerah tersebut terdiri atas bidang pemberdayaan perempuan, ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial dan kepariwisataan. Selanjutnya pada Peraturan Gubernur Lampung No. 13 tahun 2005 tentang Rencana Aksi Daerah P3A Tahun 2005-2009 dijelaskan bahwa untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan Gugus Tugas RAD-P3A, dibentuk sebuah sekretariat yang berkedudukan di Biro Bina Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Propinsi Lampung. Karenanya, leading actor dalam pencegahan trafficking di Propinsi Lampung adalah Biro Bina Pemberdayaan Perempuan. Hal ini juga didukung melalui jabaran tugas dan fungsi Biro Bina Pemberdayaan Perempuan, tercantum dalam Keputusan Gubernur Propinsi Lampung No. 2 tahun 2000, yaitu sebagai pelaksana kebijakan Pemerintah Daerah Propinsi Lampung di bidang pemberdayaan perempuan dalam rangka perlindungan dan penghormatan terhadap HAM perempuan.<span class="fullpost"><br /><br />Berdasarkan kajian yang penulis lakukan, dapat diidentifikasi bahwa secara formal implementasi Perda No. 4 tahun 2006 tentang Pencegahan trafficking telah diimplementasikan dengan cukup baik. Hal itu terlihat dalam beberapa hal, yaitu: pertama, terbentuknya jaringan kerja antara Biro BPP dengan mitra kerjanya (stakeholder) dalam upaya pencegahan trafficking yaitu; Dinas Tenaga Kerja dalam pengaturan PJTKI, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, LSM dalam upaya pendampingan korban, serta Kepolisian dan Rumah Sakit yang lebih berperan dalam penanganan kasus trafficking. Kedua, adanya koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi dalam jaringan kerja yang telah dibentuk melalui pertemuan Gugus Tugas secara berkala minimal 3 bulan dalam 1 tahun periode kerja untuk melakukan pembagian tugas antara satuan kerja terkait dari Gugus Tugas tersebut. Ketiga, sistem informasi yang dibuat juga telah mampu memberikan jumlah data terjadinya kasus trafficking di Propinsi Lampung beserta daerah penyebaran kasus trafficking di Propinsi Lampung sebagai pemetaan daerah rawan trafficking.<br /><br />Perlu dikemukakan bahwa dalam implementasi sebuah kebijakan, selalu terdapat faktor yang menjadi pendukung (supplementary factors) dan faktor yang menjadi penghambat (resistor factors). Konstelasi dan derajat dari kedua faktor tersebut terhadap implementasi sebuah kebijakan akan menentukan derajat dan rentang efektivitas sebuah kebijakan. Semakin dominan faktor pendukung mempengaruhi pelaksanaan maka semakin tinggi kecenderungan efektifnya implementasi sebuah kebijakan. Jika yang dominan adalah sebaliknya maka akan semakin rendah juga efektivitas sebuah kebijakan.<br /><br />Dalam kebijakan ini, penulis mengidentifikasi ada beberapa faktor pendukung dan faktor penghambat dalam implementasi Perda tersebut, antara lain : faktor pendukung yang pertama yaitu telah tersedianya sumber-sumber daya yang memadai berupa personil, fasilitas, dana, dan tenggat waktu yang cukup untuk pelaksanaan implementasi Perda No. 4 tahun 2006. Kedua, adanya hubungan kausalitas yang langsung antara upaya-upaya pencegahan dengan penyebab trafficking di Propinsi Lampung. Ketiga, telah diperincinya tugas pokok dan fungsi dari Biro BPP dan mitra kerjanya dengan hubungan ketergantungan yang hanya berupa koordinasi saja dalam membentuk sistem informasi antara Biro BPP sebagai implementor utama dan mitra kerjanya. Keempat, pelaksanaan wewenang Biro BPP dalam menjalankan program-program atas implementasi pencegahan trafficking diakhiri dengan pengawasan baik itu dari DPRD dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan.<br /><br />Sementara itu, faktor penghambat dalam implementasi Perda No. 4 tahun 2006 ini adalah kurang tepatnya sasaran sosialisasi Perda, dimana sosialisasi Perda hanya diberikan kepada aparatur pemerintahan dari Propinsi ke daerah Kabupaten atau Kota saja, sehingga kesadaran masyarakat sebagai objek dari kebijakan pencegahan trafficking ini masih dirasa kurang. Walaupun pemerintah melalui Biro BPP sebagai implementor utama dan instansi terkait sebagai mitra kerjanya telah melakukan tugas dengan baik dalam implementasi Perda No. 4 tahun 2006 ini, akan tetapi masyarakat kurang memahami pengertian atas bentuk-bentuk kejahatan trafficking ini. Hal tersebut menjadi salah satu faktor utama masih rentannya perkembangan kejahatan trafficking di Propinsi Lampung.<br /><br />Dengan melihat konstelasi dari kedua faktor tersebut maka dapat tergambarkan bahwa kebijakan trafficking itu memang lebih memperkuat aspek kelembagaan dalam penanganan trafficking di Provinsi Lampung, namun belum mampu menjadi sebuah kebijakan yang terserap kedalam jejaring riil target sasaran dalam implementasi kebijakan dengan tipe yang seperti ini. Dengan demikian, bisa dipahami jika kebijakan yang masih bersifat koordinatif organisasional ini memang belum mampu memberi efek yang besar terhadap pencegahan trafficking di dalam masyarakat Lampung. Bisa dimengerti pula bahwa yang kemudian diperlukan sebenarnya adalah adanya sebuah substansi yang secara langsung mempertegas wilayah grassroot dari kebijakan trafficking itu sendiri. Bukan sekedar kebijakan formatif organisasional saja.<br /><br />Sementara itu, terhadap implementasi kebijakan tentang Pencegahan trafficking tersebut, ada beberapa rekomendasi yaitu: pertama, gugus Tugas RAD P3A 2005 - 2009 yang tercantum dalam Pergub No.13 tahun 2005 perlu segera diperbarui menjadi Gugus Tugas 2009 - 2013 sebagai turunan petunjuk pelaksanaan dari Perda No. 4 tahun 2006 tentang Pencegahan trafficking khususnya di Propinsi Lampung. Kedua, adanya penyuluhan tentang trafficking tidak hanya kepada aparatur pemerintahan saja, tetapi juga kepada masyarakat, diantaranya melalui komunikasi dan pendidikan nonformal terutama di pedesaaan. Ketiga, dimungkinkan adanya pembentukkan UPT dari Pemerintah Propinsi Lampung yang dibina oleh Biro BPP terutama di daerah kabupaten dan desa untuk mempermudah pelaporan masyarakat yang terkena kejahatan trafficking dan sebagai sistem informasi untuk daerah rawan trafficking.<br /><br /><em><span style="color:#000099;">* ditulis oleh: Intan Fitri Meutia dan Simon S. Hutagalung (Public Policy Analist, Mengajar di FISIP Unila)</span></em></span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-47824648829958413522008-10-08T08:32:00.000+07:002008-10-10T08:49:46.002+07:00Laskar Pelangi dan Moralitas Pendidikan<div align="justify"><span style="color:#000066;"><em>Dimuat di SKH Radar Lampung, 5 Oktober 2008</em><br /></span><br /><br />Laskar Pelangi, sebuah penggambaran realita pendidikan Indonesia yang dituangkan ke dalam sebuah novel inspiratif karya Andrea Hirata yang dicetak ulang sebanyak 17 kali dan terjual 200 ribu copy, menjadi best seller di Indonesia, Malaysia, Singapura, bahkan laris di Eropa. Kekuatan cerita ini ada pada penggambaran realita dan inspirasi yang terjabarkan secara cerdas. Kondisi pendidikan yang digambarkan dengan setting Belitong, seperti di dalam novel tersebut adalah realita yang masih sering ditemui pada daerah di wilayah Indonesia hingga saat ini. Kemerdekaan yang berusia 62 tahun ternyata masih menyisakan belenggu ketidakmampuan untuk menikmati pendidikan secara layak bagi sebagian anak-anak di daerah tersebut. Ketiadaan atau ketidaklayakan menjadi bentuk apatisme dan ketiadaan motivasi untuk meningkatkan kemampuan diri menjadi lebih baik agar mampu menjadi peubah dalam lingkungan sosialnya. Sehingga, masyarakat yang demikian akhirnya terjebak dalam ketidakmampuan dan terperangkap dalam stagnansi kondisi sosial. Ide yang hendak disimpulkan dalam cerita tersebut, bahwa untuk keluar dari kondisi ketidakmampuan solusinya hanya satu, yaitu kekuatan moral. Kekuatan moral yang dihasilkan dari pendobrakan atas kepasrahan kondisi menjadi kunci bagi setiap individu untuk beranjak dari ketidakmampuan. Moralitas yang kuat dan konsisten dalam pendidikan adalah investasi utama yang sangat berharga bagi semua individu.<span class="fullpost"><br /><br />Ujung tombak yang paling penting dalam praktik pendidikan ada pada pelaku pendidikan tersebut, yaitu pendidik dan siswa didik. Karenanya kedua elemen inilah yang memainkan peran kunci dalam pencapaian nilai-nilai pendidikan melalui interaksi pendidikan. Dua orang guru dalam cerita tersebut adalah sedikit sosok diantara 2,7 juta guru di Indonesia yang memiliki variasi latar pengabdian. Sementara 10 orang anak SD tersebut juga merupakan contoh langka diantara 13 juta anak yang terpaksa atau dipaksa tidak sekolah di Indonesia. Sosok yang mengagumkan bila dibandingkan dengan jumlah 10 anak sekolah yang dropout tiap 5 menit. Guru dan siswa dengan kesadaran moral tersebut menjadi kekuatan yang besar di tengah ketidaklayakan kondisi fisik dan materi yang ternyata bukan merupakan faktor teramat penting dalam praktik pendidikan. Inilah yang sebenarnya merupakan paradoks dalam situasi saat ini, yang lebih menuntut kelayakan fisikal dan materiil namun terkadang enggan untuk memberi ruang bagi lebih kuatnya aspek idelogi dan kultur pendidikan yang berkembang secara sadar dan sukarela. Padahal, ketika pendidikan tumbuh dengan kuatnya aspek tersebut maka luar biasa efek yang muncul.<br /><br />Kekuatan moral dalam pendidikan kini adalah sesuatu yang terfragmentasi demikian ironis. Fragmentasi terhadap aspek ini dalam pendidikan terjadi karena tekanan struktur formal dan kebijakan yang memaknai pendidikan sebagai sesuatu yang mekanistis. Pendidikan dilihat sebagai sebuah tahap-tahap penciptaan manusia dengan skill teknis yang diniscayakan akan siap melaksanakan fungsi-fungsi pasar. Beberapa kebijakan teraktual seperti standarisasi UAN, sertifikasi pendidik dan beberapa kebijakan adopsi sistem pasar pendidikan pada beberapa bagian menghasilkan individu yang tergerak berdasarkan kesadaran mekanistis. Kesadaran ini merupakan bentuk kesadaran yang muncul dikarenakan dorongan motivasi penyelamatan diri (self defense) karena kuatir mengalami kegagalan atau ketertinggalan jika tidak mempersepsikan diri sesuai dengan cara pandang tersebut. Sehingga akhirnya yang terjadi adalah tumbuhnya semangat individu yang berorientasi kuantitatif dan tidak kuat secara kualitas. Murid kemudian menjadi terkuras secara mental dan fisik untuk mengejar angka kelulusan dalam beberapa bidang studi standar ujian atau guru yang melakukan trik dalam melengkapi berkas sertifikasi guna skor minimal kelulusan.<br /><br />Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Karena itu pendidikan memiliki dimensi yang luas. Jika memaknai “usaha sadar dan terencana” sebagai ruang lingkup kualitas dari individu maka penyadaran diri merupakan fondasi dari dimensi-dimensi tersebut. Penyadaran moralitas diri untuk mengerti dan memahami tujuan pendidikan ini yang tidak terjabarkan secara baik dalam praktik pendidikan. Pendidikan sebagai sebuah usaha sadar nampak lebih dimaknai sebagai sebuah “usaha penyadaran” yang mengandung makna tekanan untuk mengikuti cara pandang pembuat kebijakan pendidikan. Sementara itu, makna “terencana” tersebut nampak lebih dimengerti sebagai bentuk keikutsertaan secara struktural dalam rencana-rencana dari elit pendidikan. Maka itu, implikasi yang bisa teramati sebagai hasil bentukan dari paradigma yang demikian adalah dangkalnya pengembangan potensi diri dalam berbagai bentuk variasi kecerdasan. Institusi pendidikan kemudian menghasilkan produk pendidikan yang sekedar menjadi bagian dari perputaran pengetahuan dan pengisi pasar. Pendidikan kemudian menjadi sesuatu yang kering dengan nilai-nilai diri, melelahkan dan menjadi sesuatu yang tidak humanis.<br /><br />Pendidikan merupakan penciptaan hubungan yang humanis, dimana interaksi yang dilakukan sebagai sebuah proses transformasi dilakukan melalui proses yang memfokuskan dirinya kedalam penemuan-penemuan jalan keluar dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Manusia adalah pusat dari pendidikan. Mengajarkan anak didik artinya mengajarkan untuk menjadi manusia yang berakal dan berbudi. Pendidikan yang humanis, adalah sebuah pendidikan yang menghargai perbedaan individual. Hal ini tentunya didasarkan pada kenyataan adanya keunikan antar manusia itu sendiri. Menurut para pakar, hal-hal yang terdapat dalam pendidikan yang humanis adalah: (1). Menerima setiap individu apa adanya, lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya, (2). Memberi pengalaman sukses sehingga tumbuh kepercayaan diri, (3). Tidak memaksakan kehendak, karena tanpa dipaksa setiap individu akan bergerak untuk memenuhi kebutuhannya, (4). Ukuran keberhasilan tiap anak berbeda-beda, yang diperlukan adalah membantu masing-masing individu sesuai kemampuannya, (5). Mengembangkan toleransi, dorongan semangat, penghargaan serta rasa persahabatan, (6). Memberi kebebasan yang disertai rasa hormat dan tanggung jawab. Dari point-point tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan humanis tersebut menempatkan kekuatan moralitas yang dimiliki oleh masing-masing individu yang dimiliki dalam derajat berbeda sebagai fondasi dasarnya.<br /><br />Akhirnya, paparan tersebut bisa kita bandingkan sendiri dengan keadaan diseputar kita, di sekolah anak-anak atau kampus. Pendidikan ketika menghasilkan individu berakal yang pandai “mengakali”, berbudi dengan bentuk “pura-pura berwajah baik” atau ketika dimaknai dan diterapkan sebagai bentuk kompetisi bebas dimana masing-masing individu tanpa toleransi berkejaran menyelamatkan diri masing-masing dalam pencapaian keseragaman, maka pendidikan hanya menjadi substansi yang dangkal nilai. Pendidikan tidak mampu menjadikan manusia menjadi manusiawi. Kadang saya bertanya, apa kisah laskar pelangi itu benar-benar nyata di negara ini?. Semoga saja. Sehingga kita pun bisa kembali berharap.<br /><br /><span style="color:#660000;"><em>*ditulis oleh: Simon Sumanjaya H (Dosen Tetap FISIP Universitas Lampung)</em></span></span></div>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-36098604.post-28205922883967486512008-09-18T20:24:00.000+07:002008-09-18T20:29:18.921+07:00Rekrutmen DosenUniversitas Lampung membuka lowongan sebagai Staf Pengajar (Dosen) dan Staf teknis. Untuk dosen berkualifikasi S-2 yang sesuai dengan program studi/jurusan masing-masing. untuk lebih jelasnya silakan lihat di website <a href="http://www.unila.ac.id">Universitas Lampung</a> atau download di <a href="http://www.unila.ac.id/images/stories/berita/Oktober2008/pengumumancpns202008.pdf">sini.</a><span class="fullpost"></span>soemandjajahttp://www.blogger.com/profile/02842631734835413912noreply@blogger.com0