10 March 2007

Modal Sosial Dalam Pilkada

Pilkada pada dasarnya pintu gerbang untuk mencapai perubahan kondisi yang lebih baik bagi di daerah yang melaksanakan proses tersebut. Pilkada bukan sekedar menjadi seremoni politik dengan momen pergantian kepemimpinan daerah, namun juga titik tolak untuk menilai dan mendesain kelanjutan pengembangan kapasitas yang sudah dilaksanakan di daerah tersebut. Pilkada menjadi forum transaksi antara calon pemimpin dengan masyarakat pemberi mandat untuk mengidentifikasi dan memilih alternatif peluang perubahan terbaik yang hendak dirumuskan oleh para kandidat pemimpin. Dalam kontekstual kesadaran demokrasi masyarakat yang mulai baik, calon pemimpin daerah tersebut dituntut untuk melakukan inventarisasi dan kalkulasi yang memadai terhadap potensi-potensi lokal yang dapat menjadi faktor pendukung dalam menawarkan isi kepemimpinannya (leadership content) kepada para pemilih.

Perjalanan dan pengalaman sudah membuktikan bahwa hanya memperhitungkan potensi fisik dan ekonomi untuk kemudian dibingkai dalam visi pembangunan infrastruktur dan ekonomi saja tidak cukup memberikan gerak perbaikan yang simultan. Terkadang terjadi titik balik dalam suatu periode kepemimpinan yang berbentuk kelangkaan legitimasi sosial dan rasa kepemilikan terhadap daerah yang fragmentatif. Sehingga gerak pembangunan daerah yang dilakukan seolah hanya menjadi rutinitas ritual dan menghasilkan implikasi yang terbatas. Kondisi itu terjadi karena para pemimpin lebih tertarik kepada potensi yang materiil namun cenderung abai terhadap potensi fundamental yang sebenarnya sudah ada namun belum dikelola secara baik.

Potensi yang dimaksud tersebut merupakan aspek yang sudah ada, berkembang dalam masyarakat dan menjadi suatu kekuatan yang membentuk watak daerah tersebut. Berbentuk sebagai perangkat norma, jaringan, struktur kekuasaan dan kondisi-kondisi yang memfasilitasi terjadinya koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan bersama. Dalam ranah konsep, potensi itu disebut modal sosial (social capital). Modal sosial ini yang kemudian menghasilkan kepercayaan (trust), dan rasa kepemilikan (sense of belonging) yang membuat masyarakat secara kolektif lebih akuntabel dan berkemauan untuk melaksanakan aktivitas yang bertanggung jawab. Potensi ini kemudian memfasilitasi terjadinya asosiasi dan pertukaran, mengkoordinasikan harapan, dan menjaga keteraturan di dalam masyarakat.

Menurut Robert Putnam (1995), modal sosial itu terbentuk ketika individu-individu belajar untuk saling percaya (trust) terhadap individu lainnya, menciptakan komitmen yang kredibel dan mengembangkan kerjasama yang luas. Dalam analisanya, Putnam mengemukakan bahwa institusi administratif yang serupa namun berada dalam konteks budaya sosial yang berbeda dapat menghasilkan level kinerja pemerintah yang juga berbeda. Di satu sisi terbentuk beberapa institusi pemerintah tidak efisien dan korup sementara sementara di sisi lain terbentuk institusi dalam konteks sosial budaya yang berbeda namun mampu lebih efektif, inovatif dan akuntabel. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara berkelanjutan modal sosial yang positif tersebut memberikan implikasi yang juga positif terhadap kapasitas kelembagaan pemerintah.

Tidak hanya memiliki bentuk yang positif, modal sosial juga memiliki bentuk yang negatif. Jika bentuknya yang positif berupa keinginan baik (goodwill) yang tumbuh dari masyarakat melalui norma/ nilai, jaringan dan arus informasi yang menciptakan rasa kesatuan identitas serta dukungan solidaritas sebagai sebuah komunitas yang terkoordinasi dan terkolaborasi dalam tindakannya. Maka, bentuknya yang negatif dapat termanifestasikan dalam wujud adanya kelompok-kelompok yang mengeksklusifkan/ dieksklusifkan dan adanya praktik-praktik diskriminasi dalam organisasi sehingga menimbulkan alienasi di dalam kelompok serta antipati dari luar kelompok tersebut. Norma yang kuat dalam jaringan personal itu didukung oleh sanksi sosial informal dan tekanan kelompok, kemudian dapat menciptakan ketergantungan, partikularisme, dan favoritisme yang akhirnya mengurangi kreativitas dan kemampuan inovasi. Singkatnya, bentuk pengendalian sosial seperti ini membatasi otonomi individu secara keseluruhan.

Modal sosial yang negatif mampu menghasilkan terjadinya kohesi organisasi dan mempengaruhi kesehatan organisasi tersebut. Bentuknya ada tiga, yaitu pengecualian/ eksklusifikasi (exclusion), korupsi (corruption), dan tekanan (oppression). Norma yang dikembangkan secara eksklusif dapat mengalienasi, menciptakan kesenjangan atau marginalisasi kelompok-kelompok tertentu. Dampaknya untuk kepemimpinan adalah memudarnya legitimasi sosial, rasa keadilan sosial dan rasa kepemilikan publik. Apabila terjadi, kondisi ini merupakan tahap yang kritis untuk pembangunan demokrasi lokal. Dalam kondisi yang seperti itu akan sulit untuk menciptakan rasa percaya dan kepemilikan sosial sehingga kerjasama dan koordinasi sosial dalam masyarakat yang plural dan demokratis juga akan sangat sulit terwujud. Padahal seringkali visi dan misi yang dikembangkan dalam suksesi kepemimpinan daerah adalah isu pembangunan (developmentalis) daerah yang sesungguhnya membutuhkan prasyarat modal sosial itu.

Yang patut untuk digaris bawahi adalah kepercayaan publik (public trust), yang sangat erat berhubungan dengan legitimasi dan kewenangan pemimpin publik untuk mengakses sumber kekuasaan untuk memimpin dan mengkoordinasikan perilaku sosial yang ada. Pemimpin memerlukan media transfer kepercayaan publik tersebut, untuk memperoleh hal tersebut dibutuhkan adanya kontrak sosial yang implisit antara pemimpin dan masyarakat yang menyediakan orientasi dan pedoman untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya dan kewenangan kepemimpinan. Selanjutnya jaringan yang kooperatif dan keterlibatan aktif masyarakat diperlukan untuk membangun rasa kepemilikan terhadap daerahnya, sehingga kemudian rasa percaya terhadap institusi pemerintahan dalam suatu periode kepemimpinan mampu memberikan mereka dorongan untuk memobilisasi perubahan kapasitas daerah secara bersama-sama. Demikian juga institusi kepemimpinan setidaknya mampu untuk menumbuhkan dan mengembangkan modal sosial antara masyarakat dan sektor publik dengan memobilisasi talenta, sumber daya dan ide-ide untuk menghasilkan perbaikan strategis sehingga mampu menghadapi tantangan masa depan.

Pemimpin publik dan masyarakat harus mampu belajar, melakukan modifikasi terhadap berbagai pendekatan yang selama ini dinilai belum berhasil, melakukan adopsi sikap dan tindakan-tindakan yang baru, bersiap menghadapi kemungkinan masa depan dengan percaya diri dan keberanian. Calon pemimpin yang terbaik adalah yang mampu memiliki skema dan kerangka kerja untuk mengembangkan modal sosial yang positif dan melakukan manajemen terhadap modal sosial yang negatif. Melakukan hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil, beberapa pemimpin daerah yang terpilih untuk kedua kali dalam pilkada seperti Gubernur Gorontalo, Bupati Sragen dan Walikota Tarakan termasuk pemimpin yang mampu menterjemahkan pentingnya modal sosial sebagai prasyarat untuk proses kepemimpinan daerahnya. Melakukan hal tersebut artinya meletakkan landasan bagi kelanjutan pembangunan kapasitas daerah yang stimulatif untuk masa depan, pemimpin seperti ini yang pantas untuk dipilih, bahkan pantas untuk dua periode kepemimpinan.
note: artikel ini dimuat di SKH Radar Lampung Tgl 5 Maret 2007

No comments: