Artikel ini dimuat di SKH Lampung Post Tanggal 24 Juli 2007
Beberapa waktu yang lalu muncul beberapa kejadian yang berkaitan dengan penerimaan siswa baru (PSB) ke permukaan. Adanya pungutan-pungutan yang tidak jelas dari beberapa oknum petugas sekolah sempat menjadi headline yang hangat di Provinsi Lampung dan Kota Bandar Lampung. Kalau hendak kita lihat proses penerimaan siswa baru secara keseluruhan, bukan hal itu yang justru sebenarnya menarik untuk diperbincangkan.
Ada satu hal yang agak mengganggu pemikiran saya waktu melihat fenomena dalam penerimaan siswa baru yang juga dihasilkan sebagai implikasi kebijakan UAN dan standardisasi kelulusan beberapa periode ini. Tapi sebenarnya memang fenomena ini juga sudah ada sejak dahulu. Adalah rekrutmen siswa baru yang mendasarkan pada nilai evaluasi akhir (UAN) sebagai standar penerimaan.
Memang dengan standardisasi penerimaan itu akan memberikan hasil berupa kualitas siswa yang baik. Kalau input-nya sudah baik maka pengolahan intelektual mereka juga akan lebih baik dan output yang dihasilkan dari proses tersebut juga dapat lebih baik. Dengan pola yang demikian ini yang kemudian memunculkan fenomena sekolah unggulan atau sekolah favorit yang dikenal karena mampu menghasilkan output (keluaran) siswa yang dikenal intelektualitasnya.
Kalau SMP maka mereka dikenal karena mampu masuk ke SMA favorit dan kalau SMA maka mereka dikenal karena mampu meluluskan siswa yang sebagian besar diterima di perguruan tinggi ternama. Satu hal yang ada di balik hal tersebut memunculkan pertanyaan, apa yang terjadi dengan yang kurang memiliki nilai evaluasi yang baik? Kalau sekolah menerapkan secara kaku standar nilai penerimaan maka jelas mereka tidak akan diterima. Lalu kemana larinya mereka? Kalau tidak juga diterima di sekolah negeri maka ada dua kemungkinan.
Pertama, mereka memilih sekolah swasta dengan konsekuensi biaya sekolah yang lebih tinggi atau sekolah yang tidak terlalu tinggi biayanya tetapi dengan kondisi yang juga harus dipahami kualitasnya.
Kedua, pada beberapa calon siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu mungkin akan berpikir berulang kalau dihadapkan pada keadaan hanya sekolah swasta yang dapat menerima mereka. Akhirnya mereka memilih tidak melanjutkan sekolah dan bekerja sekadarnya.
Beruntung bagi keluarga dengan latar belakang ekonomi yang sederhana tetapi memiliki anak yang terkategori cerdas dalam evaluasi terstandar tersebut, tetapi sebaliknya, terjadi pada keluarga dengan latar belakang ekonomi yang sederhana namun memiliki anak yang belum memiliki nilai evaluasi yang baik dari standardisasi tersebut.
Di sinilah letak ketidakadilan pendidikan terjadi. Sekolah dengan pola seperti ini tidak memberikan kesempatan kepada mereka yang kurang memiliki intelektualitas terstandar dalam nilai UAN menjadi tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki potensi kecerdasan mereka. Padahal, ada banyak faktor yang menyebabkan seorang calon murid tersebut belum memiliki nilai evaluasi yang baik
Kalau pendidikan dipandang sebagai proses mengolah dan mengelola potensi sumber daya pikir maka prinsip tersebut sudah gagal ditegakkan pada sistem pendidikan kita. Sekolah di dalam sistem pendidikan kita hanya diperuntukkan untuk mereka yang sudah pintar secara terstandar tetapi memperkecil peluang bagi mereka yang belum memiliki standar intelektual yang baik.
Padahal, banyak pakar pendidikan mengatakan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang dijalani sejak seorang manusia itu lahir hingga ajal menjelang. Pendidikan adalah proses seumur hidup dan setiap individu manusia memiliki hak yang sama untuk diarahkan dan distimulasi melalui media yang disebut sekolah itu.
Secara legal formal, seluruh warga negara Indonesia juga memiliki hak asasi yang dilindungi oleh konstitusi (UUD). Hak untuk menikmati akses yang sama di dalam proses pendidikan, baik itu pendidikan formal ataupun informal. Konstitusi tertinggi menegaskan bahwa tidak boleh ada pengecualian bagi seluruh warga negara untuk menikmati pendidikan dengan alasan apapun.
Dengan demikian, implikasinya adalah pemerintah sebagai eksekutor dari konstitusi dasar tersebut harus memberikan kebijakan yang mendukung arah penerapan prinsip tersebut. Pemerintah memiliki tanggung jawab konstitusi apabila terdapat fenomena yang menghilangkan atau memperkecil peluang setiap warga negara untuk ikut serta di dalam proses pendidikan yang diselenggarakan secara tersistem.
Memang permasalahan terbesar dari kebijakan publik pemerintah Indonesia selama ini terdapat pada lingkup implementasi kebijikan. Seringkali terjadi kondisi yang di ana sebuah kebijakan pokok sudah baik tetapi bentuk-bentuk implementasinya justru buruk (good policy, bad implementation) atau yang terparah adalah kebijakan pokok yang diturunkan ke beberapa kebijakan teknisnya sudah buruk kemudian menghasilkan impelementasi yang buruk juga (bad policy, bad implementation).
Kalau melihat struktur kebijakan negara maka konstitusi dasar (UUD) kita sebenarnya sudah baik tetapi penurunannya ke dalam kebijakan teknis hingga pada rentang pemerintahan terendah masih buruk. Jadi bisa dikatakan bahwa terjadi implementasi yang buruk itu (bad implementation) itu dikarenakan faktor pelaksananya (implementor) yang kurang mampu menjaga konsistensi penerapan prinsip-prinsip pokok itu secara konsisten.
Seringkali akomodasi politis menjadi faktor yang berkontribusi terhadap interpretasi dan rumusan-rumusan tindakan pemerintah sebagai pelaksana untuk keluar atau menyimpang penerapan prinsip pokok tersebut secara sengaja. Ketika tanggung jawab pendidikan lebih diartikan dalam dimensi yang kuantitatif saja maka ini pun sudah menyimpang dari prinsip pendidikan yang lebih bermakna kualitatif. Menilai keberhasilan tanggung jawab kebijakan pendidikan dengan dimensi kuantitatif itu memang lebih mudah dan lebih kuat untuk diargumentasi kepada legislatif.
Setidaknya perlu tiga usaha besar untuk membenahi masalah ini pada masa yang akan datang. Pertama, karena masalah ini melibatkan aspek rentang kebijakan teknis hingga pada tingkatan pelaksana teknis operasional maka yang diperlukan adalah evaluasi terhadap rentang kebijakan pendidikan khususnya dalam aspek kesempatan untuk memperoleh hak pendidikan yang sama tanpa ada diskriminasi terstruktur yang juga dihasilkan oleh komponen dari kebijakan itu sendiri.
Kebijakan turunan yang dihasilkan dari kebijakan pokok tersebut harus dibenahi agar mampu mengikis terjadinya fenomena diskriminasi akses pendidikan itu. Konsistensi terhadap prinsip konsitusi dasar harus menjadi standar pokok bagi pelaksanaan kebijakan. Kedua, dalam aspek yang lebih teknis diperlukan adanya kepastian bahwa penilaian terhadap rekrutmen siswa baru pada sekolah tidak secara kaku menerapkan nilai evaluasi (UAN) sebagai standar penilaian penerimaan. Bahkan kalau bisa dinafikan saja nilai UAN yang dihasilkan oleh sistem yang penuh dengan kontroversi tersebut.
Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan yang juga memiliki tanggng jawab sosial di dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sudah seharusnya memiliki pola tersendiri yang mampu menghasilkan tipe-tipe spesifik calon siswa sebagai masukan (input) di dalam penyelenggaraan pendidikan formal mereka. Ketiga, perlu adanya kelas khusus yang merekrut siswa dengan kategorisasi yang masih memiliki potensi untuk lebih baik selama proses pendidikan lanjut disekolah.
Kelas khusus yang selama ini ada, yaitu dengan kelas akselerasi yang merupakan himpunan siswa dengan spesifikasi khusus juga perlu diterapkan dalam kondisi siswa yang berlawanan. Kelas khusus yang memberi kesempatan kepada mereka yang memiliki potensi untuk menjadi lebih baik selama proses pendidikan itu bisa dibuka dengan dasar penilaian yang lebih menyeluruh kepada calon siswa. Hal ini perlu untuk lebih membuka peluang kepada siswa yang belum mampu untuk berproses di dalam media pendidikan yang baik agar mampu mengejar potensi yang dimilikinya.
Akhirnya, kalau negara ini menginginkan bangsa yang berkualitas dan lebih mampu untuk bersaing secara global maka harus ditegaskan bahwa pendidikan itu bukan hanya milik mereka yang cerdas saja, pendidikan itu bukan proses mengelola yang cerdas menjadi lebih cerdas melainkan juga mengelola yang tidak dan kurang cerdas agar menjadi cerdas. Dengan demikian, makna pendidikan yang sejatinya itu dapat diletakkan pada posisi seharusnya, yaitu pendidikan adalah sebuah proses yang adil, bukan sebuah ukuran (standar) yang kaku.
No comments:
Post a Comment