09 May 2009

Distrust dalam Kebijakan UN

Artikelku di SKH Lampung Post


Ujian nasional (UN) tahun ini menjadi pekerjaan besar karena melibatkan 1.200 pengawas independen yang diterjunkan ke seluruh daerah di Provinsi Lampung. Pengawas independen tersebut dimaksudkan mengantisipasi kemungkinan kecurangan yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak. Pembelajaran yang dilakukan berdasarkan pengalaman beberapa kali pelaksanaan UN semenjak kebijakan ini diimplementasikan. Meskipun upaya kecurangan tersebut tetap saja coba dilakukan melalui berbagai modus dengan melibatkan pihak yang bahkan tidak diduga sebelumnya, seperti guru, kepala sekolah atau bahkan pejabat dinas.

Bila dipahami, tindakan yang dilakukan tersebut sebenarnya merupakan reaksi atas tekanan yang dihasilkan oleh kebijakan evaluatif tersebut. Kebijakan tentang ujian nasional tidak hanya mengevaluasi hasil belajar siswa, tetapi juga akan mencerminkan kapasitas pembelajaran sekolah dan kapasitas manajemen sektor pendidikan oleh dinas pendidikan. Karena itu bisa diduga jika reaksi dalam bentuk beberapa kasus kecurangan tersebut, sebagai efek frustrasi terhadap kebijakan UN itu sendiri.

Pada titik ini, jika menggunakan dimensi pendidikan yang humanis, kebijakan UN sebenarnya lebih memunculkan nuansa distrust (ketidakpercayaan) terhadap pelaksana pendidikan. Jika sekolah merupakan ruang interaksi antara guru dan murid yang secara intens mengembangkan kondisi kognitif, afektif, dan psikomotorik para siswa secara bertahap, dapat dimengerti jika yang paling memiliki ruang besar untuk melaksanakan evaluasi pembelajaran tersebut adalah guru.

Guru merupakan aktor kunci yang secara riil dapat mengetahui perkembangan ketiga aspek kecerdasan manusiawi tersebut. Karena itu kepercayaan untuk melaksanakan evaluasi pembelajaran tersebut adalah pada mereka. Demikian juga sekolah sebagai institusi operasional guru yang memiliki ruang tanggung jawab implementatif dalam evaluasi hasil belajar siswa.

Argumentasi ini lebih kuat bila merujuk Pasal 58 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang sudah sangat tepat mengidentifikasi tentang hal tersebut, dengan merumuskan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

Undang-undang tersebut yang merupakan payung bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sudah memiliki substansi yang sangat humanis, yang mengarahkan pembentukan manusia ke arah yang lebih integratif. Pendidikan yang dikehendaki oleh undang-undang tersebut menghendaki siswa yang memiliki perkembangan kecerdasan kognitif, afektif, dan psikomotorik secara utuh. Karena itu evaluasi hasil belajar yang dilakukan juga semestinya mampu menjangkau ketiga aspek kecerdasan tersebut. Inilah yang menjadi titik lemah dari kebijakan UN sebagai instrumen evaluasi hasil belajar.

Dalam hal inilah distrust sebagaimana yang dikemukakan tersebut terjadi. Kebijakan pendidikan nasional sebenarnya menghendaki evaluasi hasil belajar tersebut dilakukan dalam pendekatan proses yang intens, bukan melalui pendekatan output yang momental. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan UN ini mengalami ketidakpercayaan (distrust) terhadap institusi pelaksana pendidikan dengan kapasitas dan karakteristik yang heterogen pada wilayah negara Indonesia.

Pemerintah tampaknya belum memiliki kepercayaan yang kuat bahwa institusi pendidikan, termasuk guru di dalamnya akan dapat menghasilkan evaluasi pembelajaran yang bertanggung jawab. Latar belakang kondisi guru dan sekolah yang masih belum memiliki distribusi kuantitas dan kualitas yang merata memang menjadi kendala utama dalam pelaksanaan evaluasi hasil belajar yang diinginkan oleh UU Sisdiknas tersebut, tetapi bukan berarti melakukan homogenisasi terhadap heterogenitas tersebut.

Evaluasi hasil belajar yang dilakukan dengan standar homogen terhadap kondisi heterogen yang sudah disadari oleh pembuat kebijakan itu, merupakan pilihan yang kontraproduktif. Pada satu sisi mengalami distrust terhadap kapasitas sumber daya pembelajaran sehingga memilih untuk menangani secara interventif, tetapi kemudian memilih untuk melakukan homogenisasi terhadap kapasitas yang belum secara kuat dipercaya tersebut.

Kebijakan UN dengan format ini memang memiliki kelebihan berupa efisiensi untuk melakukan monitoring dan evaluasi nasional terhadap pencapaian hasil belajar para siswa. Indikator skor dan kuantitas lulusan menjadi pilihan utama untuk mengukur keberhasilan pembelajaran. Namun, pendekatan yang diturunkan hingga kepada tingkat siswa didik seperti ini memberikan efek reaktif yang juga menunjukkan indikasi "government failure" dalam penyelenggaraan pendidikan.

Bisnis bimbingan belajar menjadi marak berkembang dan dijadikan sebagai saluran untuk mencapai kepuasan yang tidak diperoleh dari sekolah siswa yang bersangkutan. Apalagi ketika lembaga seperti itu lebih mengarahkan pada penguasaan aspek nonakademik kepada para siswa tersebut. Kecurangan yang dilakukan secara insidental ataupun yang terencana juga menunjukkan adanya ketidaksiapan sosiopsikologis untuk menghadapi konsekuensi dari pelaksanaan UN yang juga memang belum terlalu dipersiapkan secara tepat.

Jika ingin lebih konsisten terhadap kebijakan utama pendidikan di negara ini, semestinya evaluasi hasil belajar yang dilakukan tidak lagi menggunakan pendekatan seperti itu. Sekolah dan guru perlu lebih diberikan kepercayaan untuk melakukan proses pembelajaran kepada para siswa. Bentuk interaksi pendidikan yang dikondisikan secara efektif dan bertanggung jawab oleh mereka akan memberikan ruang yang utuh untuk menilai aspek kecerdasan para siswa secara berkelanjutan.

Sementara itu, pemerintah dapat lebih bergerak dalam upaya makro untuk meningkatkan kapasitas sekolah dan guru sehingga dapat bekerja secara profesional dan mampu berkontribusi secara utuh. Selain itu, upaya yang menjadi prasyarat pokok pembangunan pendidikan adalah distribusi kuantitas dan kualitas tenaga pendidik pada seluruh wilayah Indonesia, sehingga secara jangka panjang dapat menghasilkan proses pendidikan yang merata.

Lingkup ini sebenarnya berkaitan dengan politik pendidikan pemerintah saat ini. Kemajuan dalam hal alokasi pendanaan ataupun program, belum secara penuh menjadi satu paket kemajuan bidang pendidikan. Melakukan perubahan yang penuh memang harus berhadapan dengan tarik menarik kepentingan politik yang berdampak pada tingkat kebijakan. Kebijakan yang konsisten ataupun tidak konsisten juga dipengaruhi oleh atmosfer politik yang melingkupi lembaga pemerintahan. Namun, politik juga dapat bergerak ke arah yang berbeda dan menghasilkan perubahan yang berbeda juga nantinya. (Simon S. Hutagalung: Dosen FISIP Unila)

2 comments:

hariyanto blog said...

seharusnya utamakan kebutuhan pendidikan rakyat. bukannya dengan menghamikimi rakyat. masalah UN sebenarnya hanya perlu sosialisasi yang rutin supaya masyarakat bisa lebih bijak untuk memikirkannya.

albumlagu.com said...

betul2 seharusnya sosialisasi kpd masyarakat harus lebih diutamakan.