artikel ini ditulis juga di SeruitDotCom
“Wah sayang sekali, mestinya tim uber menang supaya seratus tahun kebangkitan bangsa bisa lebih semarak”, seorang teman mengirim sms saat kami sedang nonton pertandingan final piala uber. Sedikit tertawa saya balas smsnya “ memangnya kalo gak menang gak jadi kebangkitan bangsanya?, haha..”, sengaja saya tambahkan ketawa (haha..) supaya dia paham kalau saya sekedar bercanda. Tanpa diduga sms saya dibalas; “ o iya ya, memangnya apa yang bangkit sih di seabad kebangkitan bangsa?, toh malah semakin terpuruk, mana BBM mau naek lagih, hehe…”. Saya menarik nafas, no comment deh, sms-an berakhir. Tanpa diduga dia mengirim sms lagi, “ jangan-jangan tim thomas dan uber kalah karena waktu tanding mikirin BBM yang mau naek juga, makanya pikirannya mumet terus kalah deh, hehe..”. Saya pun tertawa.
Tapi benar juga. Kadang kita merayakan suatu hari tapi tidak tahu kenapa mesti merayakan peringatan itu dan apakah benar-benar berarti perayaan itu?. Kadang kita seperti manusia ironi (ironic-man), di satu sisi mencoba tertawa meski tidak tahu kenapa kita tertawa, disisi yang lain kita menangis tapi tak tahu patutkah ditangisi sesuatu itu. Pertanyaan-pertanyaan yang hadir dalam perbincangan spontan itu punya makna renungan yang kuat buat kita; orang Indonesia. Apa yang bangkit di perayaan seabad ini?, atau pertanyaan “ Siapa yang sebenarnya memperingati kebangkitan bangsa itu?”, ah.. kadang saya bingung sendiri.
Mau berpura-pura formal dengan mengatakan bahwa peringatan itu miliki kita semua sebagai bagian dari bangsa Indonesia kok rasanya naif sekali, apalagi waktu melihat kondisi masyarakat yang harus ngantri membeli bensin yang makin langka, saat melihat harga pakaian yang semakin melangit buat manusia sederhana seperti aku atau saat orang-orang kampungku kebingungan dengan janji adanya BLT untuk membeli minyak tanah yang harganya sudah naik duluan, mataku basah saat mendengar tetangga yang makan rerumputan untuk hidup. Aku meringis saat melihat manusia Indonesia menjadi serigala bagi manusia Indonesia yang lainnya.
Di satu sisi saya ingin bersikap sinis dengan mengatakan “ ah, aku belum merasakan arti dari kebangkitan bangsa”, kok rasanya tega sekali. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia aku bersyukur telah lahir di negeri yang luas dan kaya ini, namun entah kenapa semakin lama aku semakin merasa kalau yang tega itu bukan aku, lantas siapa?. Mungkin mereka akan berpikir kalau aku kehilangan nasionalisme, atau aku tidak hafal lagu Indonesia Raya, tidak hafal butir-butir Pancasila, dan ah… Aku cinta bangsa ini maka itu tidak pernah sekalipun berkata “aku benci Indonesia”, aku masih merasa bagian dari bangsa ini maka aku berkata “ ayo tim Uber, kalahkan Cina, jadilah kebanggaan Indonesia di mata Dunia”, aku sayang dengan bangsa ini maka mencoba berbagi sebagaimana manusia Indonesia yang lainnya juga mencoba berbagi, dan aku peduli dengan bangsa ini maka aku berdoa “ Semoga kita sebagai bangsa bisa keluar dari segala kesulitan yang ada, Amin”.
Aku heran waktu mereka mengukur nasionalisme dengan ukuran hafal butir-butir Pancasila, hafal lagu Indonesia Raya, hafal lagu dari sabang sampai merauke dan lainnya. Heran.., bukankah semua itu ciptaan satu sosok orang diantara sekian banyaknya manusia Indonesia yang juga berkorban bahkan dengan nyawanya. Sebagai hasil pemikiran tentu patut kita hargai, tapi sebagai sebuah ukuran Ideologi rasanya terlalu sempit.
Bukankah Ideologi dalam arti yang sebenarnya ada di dalam pikiran dan hati masing-masing manusia Indonesia. Ideologi terbentuk sebagai hasil cara pikir dan rasa dalam memandang hidup dan menjalani hidup bersama. Terkadang yang tidak konsisten dengan ideologi bersama itu justru bukan masyarakat Indonesia, di satu sisi muncul kebijakan liberal (harga pasar) namun memanipulasi bentuk-bentuk konservatifisme (subsidi) bukankah tidak ada di dalam Pancasila, bukankah justru membuat nelangsa dari Sabang sampai Merauke. Meski demikian aku tetap berusaha bernyanyi Indonesia Raya, sebagai sebuah harapan untuk masa depan. Setidaknya untuk anak cucuku kelak yang benar-benar menemukan arti dari Kebangkitan Bangsa.
“Wah sayang sekali, mestinya tim uber menang supaya seratus tahun kebangkitan bangsa bisa lebih semarak”, seorang teman mengirim sms saat kami sedang nonton pertandingan final piala uber. Sedikit tertawa saya balas smsnya “ memangnya kalo gak menang gak jadi kebangkitan bangsanya?, haha..”, sengaja saya tambahkan ketawa (haha..) supaya dia paham kalau saya sekedar bercanda. Tanpa diduga sms saya dibalas; “ o iya ya, memangnya apa yang bangkit sih di seabad kebangkitan bangsa?, toh malah semakin terpuruk, mana BBM mau naek lagih, hehe…”. Saya menarik nafas, no comment deh, sms-an berakhir. Tanpa diduga dia mengirim sms lagi, “ jangan-jangan tim thomas dan uber kalah karena waktu tanding mikirin BBM yang mau naek juga, makanya pikirannya mumet terus kalah deh, hehe..”. Saya pun tertawa.
Tapi benar juga. Kadang kita merayakan suatu hari tapi tidak tahu kenapa mesti merayakan peringatan itu dan apakah benar-benar berarti perayaan itu?. Kadang kita seperti manusia ironi (ironic-man), di satu sisi mencoba tertawa meski tidak tahu kenapa kita tertawa, disisi yang lain kita menangis tapi tak tahu patutkah ditangisi sesuatu itu. Pertanyaan-pertanyaan yang hadir dalam perbincangan spontan itu punya makna renungan yang kuat buat kita; orang Indonesia. Apa yang bangkit di perayaan seabad ini?, atau pertanyaan “ Siapa yang sebenarnya memperingati kebangkitan bangsa itu?”, ah.. kadang saya bingung sendiri.
Mau berpura-pura formal dengan mengatakan bahwa peringatan itu miliki kita semua sebagai bagian dari bangsa Indonesia kok rasanya naif sekali, apalagi waktu melihat kondisi masyarakat yang harus ngantri membeli bensin yang makin langka, saat melihat harga pakaian yang semakin melangit buat manusia sederhana seperti aku atau saat orang-orang kampungku kebingungan dengan janji adanya BLT untuk membeli minyak tanah yang harganya sudah naik duluan, mataku basah saat mendengar tetangga yang makan rerumputan untuk hidup. Aku meringis saat melihat manusia Indonesia menjadi serigala bagi manusia Indonesia yang lainnya.
Di satu sisi saya ingin bersikap sinis dengan mengatakan “ ah, aku belum merasakan arti dari kebangkitan bangsa”, kok rasanya tega sekali. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia aku bersyukur telah lahir di negeri yang luas dan kaya ini, namun entah kenapa semakin lama aku semakin merasa kalau yang tega itu bukan aku, lantas siapa?. Mungkin mereka akan berpikir kalau aku kehilangan nasionalisme, atau aku tidak hafal lagu Indonesia Raya, tidak hafal butir-butir Pancasila, dan ah… Aku cinta bangsa ini maka itu tidak pernah sekalipun berkata “aku benci Indonesia”, aku masih merasa bagian dari bangsa ini maka aku berkata “ ayo tim Uber, kalahkan Cina, jadilah kebanggaan Indonesia di mata Dunia”, aku sayang dengan bangsa ini maka mencoba berbagi sebagaimana manusia Indonesia yang lainnya juga mencoba berbagi, dan aku peduli dengan bangsa ini maka aku berdoa “ Semoga kita sebagai bangsa bisa keluar dari segala kesulitan yang ada, Amin”.
Aku heran waktu mereka mengukur nasionalisme dengan ukuran hafal butir-butir Pancasila, hafal lagu Indonesia Raya, hafal lagu dari sabang sampai merauke dan lainnya. Heran.., bukankah semua itu ciptaan satu sosok orang diantara sekian banyaknya manusia Indonesia yang juga berkorban bahkan dengan nyawanya. Sebagai hasil pemikiran tentu patut kita hargai, tapi sebagai sebuah ukuran Ideologi rasanya terlalu sempit.
Bukankah Ideologi dalam arti yang sebenarnya ada di dalam pikiran dan hati masing-masing manusia Indonesia. Ideologi terbentuk sebagai hasil cara pikir dan rasa dalam memandang hidup dan menjalani hidup bersama. Terkadang yang tidak konsisten dengan ideologi bersama itu justru bukan masyarakat Indonesia, di satu sisi muncul kebijakan liberal (harga pasar) namun memanipulasi bentuk-bentuk konservatifisme (subsidi) bukankah tidak ada di dalam Pancasila, bukankah justru membuat nelangsa dari Sabang sampai Merauke. Meski demikian aku tetap berusaha bernyanyi Indonesia Raya, sebagai sebuah harapan untuk masa depan. Setidaknya untuk anak cucuku kelak yang benar-benar menemukan arti dari Kebangkitan Bangsa.
2 comments:
kebangkitan bangsa tu hanya sekedar jargon/simbol dalam menunjukkan eksistensi bangsa ini, semangat bangkit tidak akan pernah tercermin, apabila rasa memiliki bangsa ini sudah luntur.
Sy merasakan upacara memperingati 100 thn kebangkitan nasional di KJRI Kuching (setelah sekian lama tidak upacara, sejak wisuda, Propti, dan SMA dulu). wah memang hanya sekedar seremoni saja..untuk ada laporan ke jakarta, bahwa KJRI kuching sudah upacara. Tapi ada beberapa mahasiswi yang hadir.
Post a Comment