03 December 2010

Guru dan Kita

Suatu sore setelah pulang kerja, saya sempatkan berjalan ke sebuah toko ****mart. Sekedar membeli minuman dan makanan kecil. Tiba-tiba di tengah perjalalan, seorang wanita tua yang berada di depan toko itu menegur dengan setengah mengkonfirmasi namaku. "Betul bu" aku menjawab dengan masih bertanya-tanya, siapa kira-kira ibu ini sampai mengenal namaku. "ini bu narti.." ujarnya. aku setengah berpikir sambil mencari-cari memori yang terpendam di kepala. Astagfirullah.. ujarku dalam hati, setengah tidak percaya. Sosok ibu paruh baya dengan rambut putih di antara rambut hitamnya itu adalah guruku diwaktu SD. Mungkin sudah hampir 20 tahun yang lalu dan masih ingat dengan diriku. Kenangan seolah flash back.

Ibu ini dahulu adalah seorang guru muda yang paling sabar. Diantara guru lainnya yang suka menghukum dengan mistar kayu di telapak tangan atau bahkan sabetan menyakitkan rotan bulu ayam pengapus debu di lengan, ibu guru kami yang ini menghukum dengan kalimat lembut dan sentuhan kecil di kepala sambil mengusap2 rambut muridnya. Sebelum kampus dan pakar pendidikan mengajarkan metode pendidikan menyenangkan dengan kasih sayang dan cinta, ibu ini sudah mempraktikannya hampir 20 tahun lalu. Ibu guru yang satu ini benar-benar menjadi ibu kami saat di sekolah.

Sejenak kami berbincang, sekarang ibu guru kami ini sudah pindah, beliau mengajar murid SMA. Disatu sisi aku bersyukur, karena mengajar murid SMA, apalagi sekolah swasta kemungkinan lebih besar penghasilan yang diterimanya. Beliau sudah punya dua anak (dulu masih single..hehe), yang satunya sedang kuliah pada Fakultas Keguruan di sebuah Universitas di jawa dan anak yang satunya masih SMA. Sempat terbersit, mungkin anaknya memilih Fakultas Keguruan karena terinspirasi oleh ibunya.Semoga saja sang anak menjadi guru terbaik seperti ibunya.

Sudah hampir dua puluh tahun yang lalu dan beliau masih ingat dengan diri ini. " Masih gemuk dan tampil sederhana ya kamu ini", dalam salah satu ujarnya. Kemudian beliau bertanya keadaan diriku saat ini dan aku bercerita . Terlihat bahagia di wajah tuanya. Saat beliau bercerita tentang kisah temanku yang lain, sejenak kami tertawa. Namun kemudian aku terharu sekaligus malu. Malu karena tidak menempelkan beliau di memori paling dalam, setidaknya sebagai penghargaan atas dirinya dahulu. Kini aku paham, betapa sulitnya menjadi seorang guru sebenarnya, betapa harus belajar terus menerus untuk sabar dan iklas dalam menghadapi berbagai karakter, kejadian dan keinginan. Mungkin karena inilah mereka disebut "Pahlawan". Pengorbanan dirinya untuk orang lain yang merupakan anak manusia lah yang menjadikan mereka pahlawan. Suatu perhargaan yang perlahan memudar saat ini ketika murid digambarkan mengerjai gurunya yang kikuk dan konyol di televisi, siswa yang membohongi gurunya di sekolah atau mahasiswa yang menghardik kasar gurunya di kampus.

Seperti ibu guru kami ini, beliau memberikan penghargaan kepada muridnya dengan menempelkan kami di memori terdalamnya. Mungkin juga ada doa diantara memorinya itu sehingga kami bertemu dengan jalan hidup masing-masing yang terbaik. Hanya sekitar 10 menit kami bercakap-cakap, namun serasa puluhan halaman sudah kami jelajahi kembali. Beliau pun pamit dan aku masih memandang dengan takjub dan terharu. Serasa masih ada tangan halusnya yang mengelus-elus kepala ini sambil berkata: ya sudah, gak apa-apa, baeknya jangan diulang lagi ya". Sejak saat itu aku ingin menempelkan beliau kembali di memori terdalam sebagai salah satu inspirasi. Seorang guru nan sederhana yang penuh dengan kehormatan. Semoga Allah SWT meninggikan derajat guru-guru kami. Amien.


BDL, 2/12/2010
Foto dari sini
NB. Tulisan ini dibuat dalam rangka peringatan hari guru, based on true story.

08 November 2010

Siaga Bencana

Dulu sewaktu saya tinggal di Jogja sempat naik hingga ke daerah kaki gunung merapi, misalnya saya sempat melihat peternak sapi yang memanfaatkan kotoran sapi sebagai biogas di desa boyong kecamatan Pakem Kab. Sleman. Sempat juga meninjau petani cacing yang mengolah kompos menjadi pupuk kascing yang berharga lumayan di dekat kali kuning. Kedua daerah itu sekarang sering didengar dari berita-berita di tivi. Kecamatan Pakem dan daerah Kali Kuning memang masuk ke wilayah rawan 20 KM yang ditetapkan pemerintah. Rasanya banyak pengungsi yang berasal dari dua daerah itu.Tapi bukan itu yang hendak saya ceritakan.

Sering juga kita saat-saat ini melihat di tivi kegiatan evakuasi yang berlangsung cepat. Mobil-mobil bisa bergegas ketika peringatan bahaya dikeluarkan, langsung angkut penduduk ke mobil dan truk lalu mobil-mobil berbondong-bondong turun ke arah kota Jogja yang memang relatif aman. Nah ini dia. Saya bisa paham begitu cepatnya petugas evakuasi dan warga bisa dievakuasi sehingga korban jadi minimal. Saya jadi teringat kalau di setiap persimpangan jalan di daerah kaki merapi banyak petunjuk (dari plang besi seperti papan nama jalan) yang bisa mengarahkan penduduk menuju tempat lebih aman. Jalan-jalan di daerah sana pun dibuat dengan sangat bagus, aspal hitam nyaris tidak ada lobang besar di tengah jalan. Kedua fasilitas yang nampak itu sudah pasti sangat membantu disaat bencana seperti sekarang ini. Tidak hanya fasilitas itu saja, saya pernah bertanya kepada warga sana tentang pengalaman waktu letusan merapi tahun 2006. Mereka bercerita jika penduduk diajarakan oleh pamong desa dan kecamatan tentang cara-cara untuk menghadapi kondisi kalau terjadi letusan merapi. Dari cerita mereka rasanya ajaran pamong itu lumayan "ngelotok kering".

Saat saya kembali ke Lampung tercinta, saya sadar kalau Provinsi ini juga merupakan daerah yang semestinya siaga bencana. Paling tidak kita belajar dari beberapa gempa yang pernah terjadi di sebelah barat tanah ini. Daerah-daerah gempa sekaligus dihadapkan kepada kemungkinan terjadinya tsunami. Belum lagi sebelah selatan tanah ini yang juga dihadapkan kepada ancaman gunung Krakatau. Kita semua sudah pasti berdoa dan berharap tidak terjadi bencana itu semua. Tapi mempersiapkan yang mungkin dipersiapkan sebelum terjadi hal buruk rasanya lebih bijak. Pemerintah daerah rasanya perlu lebih serius untuk mengurusi soal yang satu ini. Manajemen bencana rasanya tidak perlu menjadi sekedar konsep dan rencana, karena bencana tidak bisa menunggu. Mulailah dari membenahi jalan, menyiapkan fasilitas pendukung keselamatan warga dan kegiatan penunjang penting lainnya. Warga perlu diajarkan cara menghadapi bencana gempa, cara menghadapi tsunami atau cara menghadapi letusan gunung berapi serta cara menghadapi kepanikan massa. Perhatian yang serius dari seluruh pihak rasanya perlu, demi Lampungku juga.Termasuk kita sendiri pun semestinya tahu semua persiapan itu. SIHANA itu penting kan bro... !! :)

Terakhir kita kembali berdoa supaya Lampung kita ini dijaga dari bencana-bencana yang mengerikan itu. Amin.

05 October 2010

Komunikasi itu mahal..

"Komunikasi itu mahal, maka itu jurusan Komunikasi di Universitas kadang lebih mahal dari jurusan yang lain di Universitas."

Demikian seloroh saya pada saat menguraikan pentingnya komunikasi dalam kehidupan kita, sebagai mahluk sosial, ekonomi, politik dan lainnya. Terkadang suatu kejadian besar, katakanlah beberapa peristiwa kerusuhan massa yang sempat terjadi di Kalimantan, Ampera-Jakarta dan terakhir di Bogor menyisipkan persoalan komunikasi sebagai salah satu dari beragam pelatuk masalah. Persepsi yang muncul dari cara dan kultur komunikasi yang berbeda menghasilkan tafsir yang terbiaskan serta mudah untuk menghasilkan kesimpulan yang keliru. Jika sudah sampai pada tahap itu maka potensi masalah sosial tinggal menunggu "siraman bensin" diatasnya.

Tidak hanya dalam konteks yang besar, persoalan komunikasi juga terkadang muncul dalam penyelenggaraan kebijakan pemerintah. Sebut saja masalah tabung gas 3 kilo, atau rencana-rencana kenaikan beberapa barang publik justru menimbulkan tentangan yang keras dan antipati terhadap pemerintah. Pada lingkup ini sebenarnya kebijakan itu merupakan satu paket dengan komunikasi. Jika prinsip kebijakan adalah pelembagaan aspirasi maka komunikasi adalah yang menghantarkannya kepada proses kebijakan di pemerintahan. Demikian juga proses kebijakan merupakan proses komunikasi, ada proses desain kebijakan yang mencakup artikulasi dan agregasi kepentingan banyak pihak, ada juga proses tawar menawar sebagai upaya mencapai win-win solution bagi semua. Terakhir ketika kebijakan itu dikeluarkan untuk dijalankan, ada proses komunikasi yang harus disampaikan serta dikelola secara efektif.

Hal ini yang sebenarnya cukup menggelitik penulis ketika melihat suatu peristiwa penentangan yang apabila ditelusuri maka akan nampak sekali persoalan komunikasi di dalamnya. Pada kasus yang lain ada suatu rencana kegiatan yang diselenggarakan oleh suatu organisasi namun ternyata cenderung nampak "monolog", sehingga cukup berpotensi untuk mengalami situasi berlawanan seperti yang diharapkannya. Suatu organisasi perlu kenal, bahkan harus kenal dan paham tentang komunikasi ini, karena tidak ada suatu entitas yang bisa hidup sendiri ataupun yang memaksakan kepentingannya sendiri. Demikian juga suatu rencana yang sebaik apapun tujuannya namun jika tidak terkomunikasikan dengan baik maka bisa menghasilkan pengabaian atau bahkan penolakan dari pihak lain.

Secara sederhana sangat sering kita lihat betapa perusahaan besar berinvestasi yang cukup mahal untuk para humas atau profesi2 yang bersinggungan dengan komunikasi ini. Para motivator dengan jualan kemampuan komunikasi yang teruji bisa dibayar dengan sangat mahal, padahal isinya sudah sering kita dengar. Akhirnya, penulis ingin mengatakan jika komunikasi itu mahal karena implikasi yang bisa diakibatkannya bila tidak terkelola dengan baik. Maka berkomunikasilah secara baik dan bijak.

19 August 2010

Jika Kota Ini Jadi Ibu Kota

Pagi-pagi sekitar pukul 06.00 saya terkejut oleh suara klakson yg bersahutan, terbangunlah diri ini dari tidur yang baru sebentar. Saya lihat cahaya matahari menyusup dari jendela kamarku. Dengan langkah gontai, saya bangun dari peraduan, lalu membuka jendela, mencoba melihat suasana sekitar. Pantas saja sepagi ini sudah ramai klakson kendaraan. AKu melihat dibawah sana, sekitar 7 lantai di bawah apartemen ini kendaraan sudah menyemut, berlomba menuju tempat kerja orang-orang yang ada di dalamnya. Banyak kendaraan yang menyemut di depan jalan Z.A. Pagar ALam sana, sepertinya para pekerja kampus dan mahasiswa yang sedang mengejar jadwal kuliah mereka. Entahlah, kenapa masih saja kemacetan, padahal sudah dua tahun yang lalu dibuat jalur khusus Trans Saburai yang membentang hingga Tegineneng, Tanjung Bintang, Panjang dan Jati Agung.

Dengan bergegas saya pun membersihkan diri dan mengisi perut seadanya, lalu berangkat menuju tempat kerja. Tercatat di agenda kerja saya jika hari ini ada pertemuan dengan Komisi I DPR RI. Menyadari jalan raya yang sangat padat, saya coba mengambil jalan yang memutar. Dari apartemen di JL. ZA Pagar Alam saya melewati jalur dua Way Halim yang penuh dengan Mall dan Gedung bertingkat. Setelah lewat dari jalur dua, kendaraan saya pun masuk ke Pintu Tol Sukarno Hatta. Lewat tol ini rasanya akan lebih menghemat waktu hingga satu jam. Masuk ke jalan tol, saya bisa melihat rumah sakit Imannuel yang megah berdiri di samping beberapa gedung menara. Diantaranya adalah gedung Departemen Pertanian yang bertingkat 10 dan Departemen Transportasi yang bertingkat 12.

Melintasi jalan tol itu membuat saya sedikit teringat jika sepuluh tahun yang lalu kendaraan saya yang sedan sudah pasti menderita kalau lewat jalan ini. Setelah melewati jalan tol yang lebar dan halus, saya keluar tol di simpang panjang. Kendaraan pun melintasi jalan yang lebar, setelahnya masuk ke wilayah Kantor Pemerintahan. Sempat melewati Istana Presiden yang bergaya modern di daerah Pengajaran, saya hanya melihat pengamanan yang cukup ketat. Paspampres berjaga di pintu dan terdapat anggota kepolisian di luar Istana. Setelah melewati Istana, kendaraan pun melewati Gedung Kementrian Keuangan dan Gedung Bappenas yang megah. Sementara di sebelah kiri saya terlintasi juga Gedung Mahkamah Konstitusi dan Gedung KPK yang nampak tegar. Padahal dahulu sempat terbersit, kalau lembaga hukum ini tidak bertahan lama, akibat senantiasa di ganggu oleh mereka yang terganggu dengan kinerjanya.

Akhirnya, sampai juga saya di Gedung Dewan yang terhormat. Dahulu gedung ini milik anggota dewan Se-Provinsi Lampung, tapi sekarang menjadi gedung anggota dewa Se- Indonesia. Kagum juga saya. Sesampai di tempat ternyata ruang pertemua masih kosong. Wah, ternyata untuk urusan satu ini masih sama saja. Saya pun menunggu sembari menghubungi salah satu anggota dewan lewat telefon. Tenyata beliau masih terjebak macet di daerah bunderan rajabasa. Padahal sudah ada jalan layang yang melingkar seperti di Semanggi. Kendaraan yang menumpuk pada jam sibuk seperti ini yang mestinya harus diantisipasi dengan bangun lebih pagi misalnya. Saya coba hubungi anggota dewan yang lainnya, ternyata beliau juga masih merayap di pintu tol Tanjung Bintang. Saya paham bahwa daerah itu sekarang semakin ramai dengan pembangunan gedung Kantor Pusat Perusahaan-Perusahaan besar nasional ataupun asing.

Setelah menunggu satu jam dan diselingi dengan melihat tiga kali demonstran di depan pintu gerbang, akhirnya mereka datang juga. Maka naiklah kami ke tingkat 4 dengan lift dan masuk ke ruang rapat yang nyaman. Baiklah, kami rapat dulu ya teman-teman. Semoga mereka tidak tidur.



nb: kisah ini hanya fiktif dan rekaya belaka. Terinsiprasi dari wacana pemindahan ibu kota, pendapat para pengamat dan diskusi-diskusi "nyeleneh".
gambar diambil dari: sini

04 July 2010

Hasrat

Kalau ada orang yang mendewakan hasrat, menuliskan puisi dengan hasrat seperti Chairil Anwar atau menulis lirik seperti grup band terkini tidaklah salah. Hasrat memang suatu yang manusiawi, artinya selama masih jadi manusia pasti punya hasrat. Hasrat itu seperti ombak laut. Terkadang surut, terkadang pasang. Begitu juga hasrat manusia. Sudah lama tidak kusentuh blog ini karena saat itu memang daku kehilangan hasrat. Entah apa alasannya. Namun semakin hilang hasrat itu, semakin pula tertampung di dalam benak inginku untuk kembali pada blog ini suatu saat nanti. Ternyata yang diperlukan oleh hasrat cuma waktu. Sama seperti lapar yang juga perlu waktu untuk bisa benar-benar terasa nikmatnya. Buncahkan lagi hasrat ku, agar dapat aku berkejaran dengan tombol keyboard dan menyusun huruf diatas halaman medis sosial ini. Ah.. aku mencintai hasrat yang turun naik itu.. aku pun akan kembali bersamanya.

13 November 2009

back to blog

Ada seorang teman yang bilang: facebook dan twiter boleh aja muncul dan makin populer di masyarakat, tapi blog tetap lebih berbobot". saya setuju, facebook dan twiter memang luar biasa fenomenanya, bahkan bisa menjadi kekuatan "people power" yang luar biasa, seperti di kasus prita, chandra-bibit dan beberapa gerakan yang berjudul "gerakan satu juta.... dst". Bagi seorang blogger, media social itu memang ringkas. Ada kepuasan yang hanya bisa diberikan oleh blog, kenikmatan.

28 May 2009

Ekonomi Kerakyatan dan Kewirausahaan Sosial

Artikelku di Lampung Post, 28 Mei 2009


Menjelang pemilihan presiden, debat tentang sistem ekonomi kembali muncul. Bahkan dikatakan jika pilpres tahun ini merupakan perang aliran ekonomi, yaitu ekonomi neoliberal dan ekonomi kerakyatan. Debat ini sebenarnya sudah berlangsung lama, pergulatan tentang peran pengusaha asing kontra kelompok potensial dalam negeri untuk memaksimalkan sumber daya pada wilayah sebuah negara.

Selalu yang menjadi wacana favorit adalah gagasan ekonomi kerakyatan. Namun, wacana dalam masa kampanye politik itu sering hilang ketika kontestan terpilih menjadi pengambil kebijakan. Permasalahannya adalah operasionalisasi kebijakan yang tidak menyentuh secara penuh penggerakan kerakyatan itu sendiri.

Jika berbicara tentang penggerakan rakyat, ada beberapa rujukan, salah satunya adalah kewirausahaan sosial (social entrepreneurship). Gagasan ini menarik ketika Muhammad Yunus berhasil menggerakkan masyarakat miskin lebih produktif dan bergerak keluar dari kemiskinan. Kewirausahaan sosial merupakan gerakan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sosial, misalnya mengurangi kemiskinan, menyediakan makanan bergizi bagi kaum miskin, asuransi kesehatan dan pendidikan. Gerakan ekonomi dalam konteks ini digerakkan oleh cause-driven, bukan profit-driven. Artinya, tujuan yang hendak dicapai dari aktivitas ekonomi tadi adalah implikasinya terhadap kelompok sasaran, jika masyarakat miskin menjadi kelompok sasarannya, diharapkan kondisi kemiskinan tersebut dapat teratasi.

Metode perubahan dalam kewirausahaan sosial ini berbeda dengan pendekatan filantropi yang sering digunakan dalam pengentasan kemiskinan. Hal ini dapat dipahami jika melihat ciri kewirausahaan sosial tersebut; pertama, melihat intervensi sumber daya sebagai investasi yang digerakkan oleh suatu kelompok sosial tertentu. Kedua, konsekuensi dari investasi tersebut menghasilkan bentuk upaya produktif lebih berkelanjutan dan tumbuh berkembang dengan sendirinya tanpa tergantung pada kucuran dana terus menerus.

Ketiga, investasi yang dilakukan pada awal tersebut tidak akan hilang, dapat digunakan untuk diinvestasikan kembali dalam bentuk upaya ekonomi yang sama atau yang berbeda. Keempat, kewirausahaan sosial mendorong kelompok target untuk meningkatkan kapasitas diri guna menjawab masalah-masalah sosial melalui upaya ekonomi yang sedang dijalankannya. Dalam format ini kelompok masyarakat spesifik diposisikan sebagai pemeran utama dalam aktivitas ekonomi, sementara itu negara dapat memosisikan diri sebagai pihak yang berinvestasi secara sosial.

Dalam konteks Indonesia, salah satu alternatif solusi bagi pengentasan kemiskinan adalah melalui kewirausahaan sosial. Namun, dibutuhkan strategi yang bisa memperkuat konsep tersebut dalam konteks sosial budaya Indonesia. Ada beberapa strategi yang teridentifikasi, di antaranya: Pertama, pendekatan kewirausahaan sosial sebagai bentuk investasi kepada kelompok sosial tertentu, dalam hal pengentasan kemiskinan ini maka kelompok masyarakat miskin yang menjadi sasaran. Investasi disalurkan melalui modal produktif dalam berbagai wujud sumber daya finansial kepada masyarakat miskin.

Kedua, penguatan jaringan (networking) dengan kelompok lain yang dapat memberikan ruang bagi kelompok masyarakat miskin guna mendistribusikan atau menjual produk yang dihasilkan dari aktivitas kelompoknya. Ketiga, penguatan kapasitas kelompok masyarakat miskin dalam aspek manajemen ekonomi produktif, sehingga dalam jangka panjang masyarakat miskin dapat melipatgandakan usaha produktifnya dan sekaligus meningkatkan pendapatan serta keuntungan yang mereka peroleh.

Keempat, pembangunan kepercayaan (trust building) sebagai awal dari keseluruhan proses tersebut, hal ini bermanfaat bagi peningkatan moral masyarakat miskin sehingga merasa lebih dihargai dan diberi kesempatan secara aktif untuk keluar dari kemiskinannya.

Keempat strategi tersebut merupakan perspektif kewirausahaan yang masuk ke dalam kelompok sosial spesifik, menggunakan pendekatan sosial (dalam wujud penguatan trust) dan bertujuan untuk mengatasi permasalahan sosial. Melalui strategi itu diharapkan ruang sosial terbangun secara praktis. Hal tersebut sebenarnya sudah menjadi bagian dalam beberapa program pemberdayaan masyarakat, tapi belum signifikansi pengaruh aplikasi prinsip tersebut terhadap pengentasan kemiskinan. Pertanyaan yang muncul adalah, kenapa itu terjadi?.

Ada beberapa identifikasi dari program yang berusaha mengadopsi prinsip tersebut. Pertama, faktor internal, yaitu komitmen dan determinasi, kepemimpinan, toleransi pada risiko, ambiguitas, dan ketidakpastian, serta kreativitas, keandalan, dan daya adaptasi. Faktor ini merupakan bagian internal dari kapasitas kelompok sosial spesifik sasaran program. Perubahan dalam bentuk peran dan kesempatan ekonomi produktif bagi kelompok tersebut, semestinya diiringi dengan perubahan yang menyeluruh dalam cara pandang terhadap diri dan orang lain, sehingga mereka mampu untuk berakselerasi dengan aktivitas ekonomi yang lebih dahulu berjalan.

Faktor eksternal, yaitu kendala atau hambatan dari struktur yang mengitari aktivitas usaha-usaha sosial tersebut. Seperti misalnya struktur birokrasi, struktur pasar dan lingkungan politik. Faktor ini merupakan ruang yang tidak mudah untuk dihadapi atau diantisipasi pengaruhnya terhadap pergerakan kelompok masyarakat tersebut dalam aktivitas ekonomi produktifnya. Jika faktor ini kontraproduktif terhadap gerakan yang hendak melakukan perubahan secara berkelanjutan tersebut, perubahan peran dan posisi kelompok masyarakat itu tidak menyeluruh. Karena itu, tetap diperlukan pengawalan dari negara agar gerakan ekonomi berbasis kelompok sosial ini dapat secara konsisten berjalan.

09 May 2009

Distrust dalam Kebijakan UN

Artikelku di SKH Lampung Post


Ujian nasional (UN) tahun ini menjadi pekerjaan besar karena melibatkan 1.200 pengawas independen yang diterjunkan ke seluruh daerah di Provinsi Lampung. Pengawas independen tersebut dimaksudkan mengantisipasi kemungkinan kecurangan yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak. Pembelajaran yang dilakukan berdasarkan pengalaman beberapa kali pelaksanaan UN semenjak kebijakan ini diimplementasikan. Meskipun upaya kecurangan tersebut tetap saja coba dilakukan melalui berbagai modus dengan melibatkan pihak yang bahkan tidak diduga sebelumnya, seperti guru, kepala sekolah atau bahkan pejabat dinas.

Bila dipahami, tindakan yang dilakukan tersebut sebenarnya merupakan reaksi atas tekanan yang dihasilkan oleh kebijakan evaluatif tersebut. Kebijakan tentang ujian nasional tidak hanya mengevaluasi hasil belajar siswa, tetapi juga akan mencerminkan kapasitas pembelajaran sekolah dan kapasitas manajemen sektor pendidikan oleh dinas pendidikan. Karena itu bisa diduga jika reaksi dalam bentuk beberapa kasus kecurangan tersebut, sebagai efek frustrasi terhadap kebijakan UN itu sendiri.

Pada titik ini, jika menggunakan dimensi pendidikan yang humanis, kebijakan UN sebenarnya lebih memunculkan nuansa distrust (ketidakpercayaan) terhadap pelaksana pendidikan. Jika sekolah merupakan ruang interaksi antara guru dan murid yang secara intens mengembangkan kondisi kognitif, afektif, dan psikomotorik para siswa secara bertahap, dapat dimengerti jika yang paling memiliki ruang besar untuk melaksanakan evaluasi pembelajaran tersebut adalah guru.

Guru merupakan aktor kunci yang secara riil dapat mengetahui perkembangan ketiga aspek kecerdasan manusiawi tersebut. Karena itu kepercayaan untuk melaksanakan evaluasi pembelajaran tersebut adalah pada mereka. Demikian juga sekolah sebagai institusi operasional guru yang memiliki ruang tanggung jawab implementatif dalam evaluasi hasil belajar siswa.

Argumentasi ini lebih kuat bila merujuk Pasal 58 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang sudah sangat tepat mengidentifikasi tentang hal tersebut, dengan merumuskan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

Undang-undang tersebut yang merupakan payung bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sudah memiliki substansi yang sangat humanis, yang mengarahkan pembentukan manusia ke arah yang lebih integratif. Pendidikan yang dikehendaki oleh undang-undang tersebut menghendaki siswa yang memiliki perkembangan kecerdasan kognitif, afektif, dan psikomotorik secara utuh. Karena itu evaluasi hasil belajar yang dilakukan juga semestinya mampu menjangkau ketiga aspek kecerdasan tersebut. Inilah yang menjadi titik lemah dari kebijakan UN sebagai instrumen evaluasi hasil belajar.

Dalam hal inilah distrust sebagaimana yang dikemukakan tersebut terjadi. Kebijakan pendidikan nasional sebenarnya menghendaki evaluasi hasil belajar tersebut dilakukan dalam pendekatan proses yang intens, bukan melalui pendekatan output yang momental. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan UN ini mengalami ketidakpercayaan (distrust) terhadap institusi pelaksana pendidikan dengan kapasitas dan karakteristik yang heterogen pada wilayah negara Indonesia.

Pemerintah tampaknya belum memiliki kepercayaan yang kuat bahwa institusi pendidikan, termasuk guru di dalamnya akan dapat menghasilkan evaluasi pembelajaran yang bertanggung jawab. Latar belakang kondisi guru dan sekolah yang masih belum memiliki distribusi kuantitas dan kualitas yang merata memang menjadi kendala utama dalam pelaksanaan evaluasi hasil belajar yang diinginkan oleh UU Sisdiknas tersebut, tetapi bukan berarti melakukan homogenisasi terhadap heterogenitas tersebut.

Evaluasi hasil belajar yang dilakukan dengan standar homogen terhadap kondisi heterogen yang sudah disadari oleh pembuat kebijakan itu, merupakan pilihan yang kontraproduktif. Pada satu sisi mengalami distrust terhadap kapasitas sumber daya pembelajaran sehingga memilih untuk menangani secara interventif, tetapi kemudian memilih untuk melakukan homogenisasi terhadap kapasitas yang belum secara kuat dipercaya tersebut.

Kebijakan UN dengan format ini memang memiliki kelebihan berupa efisiensi untuk melakukan monitoring dan evaluasi nasional terhadap pencapaian hasil belajar para siswa. Indikator skor dan kuantitas lulusan menjadi pilihan utama untuk mengukur keberhasilan pembelajaran. Namun, pendekatan yang diturunkan hingga kepada tingkat siswa didik seperti ini memberikan efek reaktif yang juga menunjukkan indikasi "government failure" dalam penyelenggaraan pendidikan.

Bisnis bimbingan belajar menjadi marak berkembang dan dijadikan sebagai saluran untuk mencapai kepuasan yang tidak diperoleh dari sekolah siswa yang bersangkutan. Apalagi ketika lembaga seperti itu lebih mengarahkan pada penguasaan aspek nonakademik kepada para siswa tersebut. Kecurangan yang dilakukan secara insidental ataupun yang terencana juga menunjukkan adanya ketidaksiapan sosiopsikologis untuk menghadapi konsekuensi dari pelaksanaan UN yang juga memang belum terlalu dipersiapkan secara tepat.

Jika ingin lebih konsisten terhadap kebijakan utama pendidikan di negara ini, semestinya evaluasi hasil belajar yang dilakukan tidak lagi menggunakan pendekatan seperti itu. Sekolah dan guru perlu lebih diberikan kepercayaan untuk melakukan proses pembelajaran kepada para siswa. Bentuk interaksi pendidikan yang dikondisikan secara efektif dan bertanggung jawab oleh mereka akan memberikan ruang yang utuh untuk menilai aspek kecerdasan para siswa secara berkelanjutan.

Sementara itu, pemerintah dapat lebih bergerak dalam upaya makro untuk meningkatkan kapasitas sekolah dan guru sehingga dapat bekerja secara profesional dan mampu berkontribusi secara utuh. Selain itu, upaya yang menjadi prasyarat pokok pembangunan pendidikan adalah distribusi kuantitas dan kualitas tenaga pendidik pada seluruh wilayah Indonesia, sehingga secara jangka panjang dapat menghasilkan proses pendidikan yang merata.

Lingkup ini sebenarnya berkaitan dengan politik pendidikan pemerintah saat ini. Kemajuan dalam hal alokasi pendanaan ataupun program, belum secara penuh menjadi satu paket kemajuan bidang pendidikan. Melakukan perubahan yang penuh memang harus berhadapan dengan tarik menarik kepentingan politik yang berdampak pada tingkat kebijakan. Kebijakan yang konsisten ataupun tidak konsisten juga dipengaruhi oleh atmosfer politik yang melingkupi lembaga pemerintahan. Namun, politik juga dapat bergerak ke arah yang berbeda dan menghasilkan perubahan yang berbeda juga nantinya. (Simon S. Hutagalung: Dosen FISIP Unila)