Showing posts with label profesi guru. Show all posts
Showing posts with label profesi guru. Show all posts

03 December 2010

Guru dan Kita

Suatu sore setelah pulang kerja, saya sempatkan berjalan ke sebuah toko ****mart. Sekedar membeli minuman dan makanan kecil. Tiba-tiba di tengah perjalalan, seorang wanita tua yang berada di depan toko itu menegur dengan setengah mengkonfirmasi namaku. "Betul bu" aku menjawab dengan masih bertanya-tanya, siapa kira-kira ibu ini sampai mengenal namaku. "ini bu narti.." ujarnya. aku setengah berpikir sambil mencari-cari memori yang terpendam di kepala. Astagfirullah.. ujarku dalam hati, setengah tidak percaya. Sosok ibu paruh baya dengan rambut putih di antara rambut hitamnya itu adalah guruku diwaktu SD. Mungkin sudah hampir 20 tahun yang lalu dan masih ingat dengan diriku. Kenangan seolah flash back.

Ibu ini dahulu adalah seorang guru muda yang paling sabar. Diantara guru lainnya yang suka menghukum dengan mistar kayu di telapak tangan atau bahkan sabetan menyakitkan rotan bulu ayam pengapus debu di lengan, ibu guru kami yang ini menghukum dengan kalimat lembut dan sentuhan kecil di kepala sambil mengusap2 rambut muridnya. Sebelum kampus dan pakar pendidikan mengajarkan metode pendidikan menyenangkan dengan kasih sayang dan cinta, ibu ini sudah mempraktikannya hampir 20 tahun lalu. Ibu guru yang satu ini benar-benar menjadi ibu kami saat di sekolah.

Sejenak kami berbincang, sekarang ibu guru kami ini sudah pindah, beliau mengajar murid SMA. Disatu sisi aku bersyukur, karena mengajar murid SMA, apalagi sekolah swasta kemungkinan lebih besar penghasilan yang diterimanya. Beliau sudah punya dua anak (dulu masih single..hehe), yang satunya sedang kuliah pada Fakultas Keguruan di sebuah Universitas di jawa dan anak yang satunya masih SMA. Sempat terbersit, mungkin anaknya memilih Fakultas Keguruan karena terinspirasi oleh ibunya.Semoga saja sang anak menjadi guru terbaik seperti ibunya.

Sudah hampir dua puluh tahun yang lalu dan beliau masih ingat dengan diri ini. " Masih gemuk dan tampil sederhana ya kamu ini", dalam salah satu ujarnya. Kemudian beliau bertanya keadaan diriku saat ini dan aku bercerita . Terlihat bahagia di wajah tuanya. Saat beliau bercerita tentang kisah temanku yang lain, sejenak kami tertawa. Namun kemudian aku terharu sekaligus malu. Malu karena tidak menempelkan beliau di memori paling dalam, setidaknya sebagai penghargaan atas dirinya dahulu. Kini aku paham, betapa sulitnya menjadi seorang guru sebenarnya, betapa harus belajar terus menerus untuk sabar dan iklas dalam menghadapi berbagai karakter, kejadian dan keinginan. Mungkin karena inilah mereka disebut "Pahlawan". Pengorbanan dirinya untuk orang lain yang merupakan anak manusia lah yang menjadikan mereka pahlawan. Suatu perhargaan yang perlahan memudar saat ini ketika murid digambarkan mengerjai gurunya yang kikuk dan konyol di televisi, siswa yang membohongi gurunya di sekolah atau mahasiswa yang menghardik kasar gurunya di kampus.

Seperti ibu guru kami ini, beliau memberikan penghargaan kepada muridnya dengan menempelkan kami di memori terdalamnya. Mungkin juga ada doa diantara memorinya itu sehingga kami bertemu dengan jalan hidup masing-masing yang terbaik. Hanya sekitar 10 menit kami bercakap-cakap, namun serasa puluhan halaman sudah kami jelajahi kembali. Beliau pun pamit dan aku masih memandang dengan takjub dan terharu. Serasa masih ada tangan halusnya yang mengelus-elus kepala ini sambil berkata: ya sudah, gak apa-apa, baeknya jangan diulang lagi ya". Sejak saat itu aku ingin menempelkan beliau kembali di memori terdalam sebagai salah satu inspirasi. Seorang guru nan sederhana yang penuh dengan kehormatan. Semoga Allah SWT meninggikan derajat guru-guru kami. Amien.


BDL, 2/12/2010
Foto dari sini
NB. Tulisan ini dibuat dalam rangka peringatan hari guru, based on true story.

17 March 2009

Freedom Writers

Film ini pertama saya tonton di televisi di kosan saya (kebetulan ada tipi kabel.. hee). Awalnya biasa saja, seperti drama pada umumnya. Namun pelan-pelan banyak kejutan-kejutan yang menarik dari film ini. Dikisahkan perjuangan seorang guru bernama Errin Gruwell yang harus menghadapi siswa dengan latar belakang perang antar geng, kekecewaan, keputusasaan dan kehilangan harapan. Errin bahkan dicemooh oleh guru lainnya yang menganggap dia "orang naif yang terlalu berharap". Kesabaran dan kegigihan errin bahkan harus dibayadengan persoalan hubungannya dengan sang suami yang tidak bisa memahami keinginnanya. Perjuangan errin dilakukan melalui pengajaran yang sangat dekat dengan aspek emosional para murid. Bagaimana ia mendengarkan keluhan hati para murid dengan masa lalu yang kelam, bagamana errin harus menampung murid yang diusir dari rumah dan dikejar-kejar gangster. Pendidikan transformatif seperti dilakukan oleh errin mengubah siswa secara penuh, tidak hanya wawasan namun juga emosi yang menjadi lebih baik (terbuka, menghargai, dan penuh semangat perubahan). Kisah nyata dari seorang guru di amerika ini menjadi inspirasi buat kita, Amin. Baca juga ini.

14 June 2008

Sertifikasi Tak Selamatkan Guru

Artikelku dimuat di SKH Lampung Post tgl 19/06/2008


Saya tersenyum saat membaca salah satu berita Lampung Post tanggal 4/6/2008 yang bertajuk “Sertifikasi Guru Dijadikan Proyek”. Senyum ini bukan tanda kegembiraan, hanya ekspresi ironis dari sesama pendidik. Keheranan itu sama seperti keheranan ketika melihat banyaknya program-program pemerintah dengan tujuan yang baik namun gagal atau kurang berhasil saat implementasinya dilapangan. Program-program dalam berbagai sektor tidak hanya menghasilkan efek-efek yang diharapkan sebelumnya, namun juga menghasilkan efek-efek yang tidak pernah diduga. Misalnya penyimpangan dalam proses penyaluran (missdelivery), ketidaksigapan instrumen pelaksana (uncapable), dan munculnya celah-celah kecurangan yang berusaha untuk memotong rantai proses dengan tidak fair.

Meskipun demikian, masih harus dibuktikan kebenaran pernyataan mengenai kolusi antara peserta sertifikasi 2007 dalam penilaian portofolio oleh assessor (penilai) yang bertujuan memberikan kelulusan murni dengan angka maksimal 850 sehingga tidak harus mengikuti diklat selama satu pekan di Bandar Lampung tersebut. Dalam beberapa kasus sosial saat ini, kecurigaan seperti itu bisa saja didorong oleh tingkat stress sosial yang tinggi akibat desakan kebutuhan hidup yang meningkat lalu memberikan stimulasi negatif kepada kelompok masyarakat untuk memiliki tingkat individualisme yang juga meningkat dan turunnya toleransi serta kompromi dalam interaksi sosial sehingga kemudian memunculkan prasangka-prasangka negatif yang membiaskan persoalan dari fakta sebenarnya.

Hal ini juga yang menjadi salah satu celah dalam implementasi kebijakan sertifikasi yang memiliki dua bentuk tujuan yang implikatif, yaitu: meningkatkan kesejahteraan guru dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Secara logis kedua tujuan tersebut membentuk siklus yang tersambung, sehingga titik awal bisa dimulai dari salah satunya lalu kemudian berimplikasi pada tujuan yang lain. Tidak ada yang keliru dalam format logika tersebut, hanya saja kebijakan sertifikasi tersebut terjebak pada paradigma administratif yang berlapis-lapis. Paradigma administratif tersebut menjadikan guru sebagai sebuah objek prosedural yang harus memenuhi banyak rincian syarat administratif untuk mencapai klasifikasi yang harus dicapai guna pencapaian tujuan yang lainnya.

Dalam kebijakan sertifikasi di Indonesia, siklus yang dimulai dari adanya inventarisasi atas kualitas penyelenggaraan pendidikan (ditunjukkan dengan skor) merupakan prasyarat untuk peningkatan kesejahteraan (tunjangan profesi). Muncul juga beberapa bentuk rincian syarat invensi yang selama ini langka bagi kalangan guru, misalnya seminar dan karya tulis. Guru yang selama ini memiliki paradigma sederhana tentang pembelajaran mengalami jarak kapasitas yang jauh untuk mengejar kesenjangan tersebut. Sehingga akibatnya kemudian, guru harus membagi waktunya untuk mencari syarat-syarat administratif tersebut melalui cara-cara tertentu. Pada beberapa kasus, muncul oknum yang kemudian memanfaatkan kondisi tersebut dan menghasilkan data yang tidak valid untuk menunjukkan kapasitas dari guru tadi. Muncul tindakan-tindakan negatif seperti pemalsuan berkas, jual beli komponen berkas, bahkan tindakan kolutif di dalam proses administratif tersebut.

Saya setuju dengan konsep bahwa pendidikan yang bermutu memiliki kaitan kedepan (Forward linkage) dan kaitan kebelakang (Backward linkage). Forward linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera (Fasli Djalal: 2007). Backward linkage yang salah satunya ditentukan oleh keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat merupakan elemen utama yang memang harus menjadi perhatian utama dalam kebijakan pendidikan. Fakta di negara maju lain yang menempatkan issue sumber daya pendidik sebagai bagian terbesar dalam kebijakan pendidikan mereka merupakan salah satu resep utama dalam meningkatkan kemampuan kompetitif sumber daya bangsanya. Dari alokasi dan distribusi anggaran negara, manajemen karir pendidik, dan regenerasi kapasitas pendidik merupakan dimensi pokok yang menjadi point utama.

Namun yang justru berkembang kini adalah kuatnya paradigma administratif dalam kebijakan pendidikan kita. Paradigma administratif yang sangat kental di dalam pengelolaan tenaga pendidik di Indonesia yang dimaksud, salah satunya merujuk kepada kuatnya instrumen dan tolok ukur birokratis dalam menilai proses pendidikan. Pendidikan yang dinilai berdasarkan kelengkapan berkas dan skor evaluatif sebagai tolok ukur untuk menilai seorang guru tergolong berkualitas atau tidak, cenderung mengabaikan aspek yang sebenarnya dari pendidikan itu sendiri. Kalau paradigma pendidikan behavioristik selama ini dianggap kurang baik dan muncul perubahan pandangan menuju paradigma konstruktivis maka pendekatan yang kemudian digunakan untuk mengevaluasi proses pendidikan tadi justru tidak menghasilkan kemajuan filosofis. Guru justru terjebak untuk mengejar berkas-berkas administratif guna menunjukkan kualitas dirinya, ketimbang tindakan-tindakan konstruktivis yang benar-benar mendorong pemberdayaan kapasitas guru dalam proses pendidikan.

Paradigma administratif dalam ruang pendidikan ini kemudian berubah menjadi bentuk birokratisasi pendidikan. Sebagai salah satu prospek negatif dari hal tersebut adalah terkontaminasinya dunia pendidikan oleh patologi birokrasi yang secara erat menempel dalam birokrasi yang belum sehat. Dalam satu rangkaian yang sama, patologi tersebut justru merusak proses pendidikan yang diselenggarakan. Jika pendidikan merupakan sebuah ruang yang kontemporer maka pada sisi yang lain birokrasi merupakan ruang yang memang disusun secara rigid, tidak membuka peluang yang besar terhadap semangat konstruktivisme yang justru hendak dibangun oleh wacana pendidikan saat ini.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa evaluasi terhadap kapasitas guru yang memang merupakan sebuah keniscayaan untuk menghasilkan backward linkage yang bermutu. Namun, pengelolaan yang terlalu kental dengan suasana yang salah justru akan menjadikan pengelolaan pendidikan tersebut tidak mampu mengembangkan diri secara positif. Infeksi yang perlahan muncul dari patologi birokrasi justru akan membiaskan nilai yang hendak dicapai dari kebijakan pendidikan itu sendiri.

Karenanya, kebijakan ini juga sebaiknya memperhatikan secara cermat persoalan administratif itu di dalam pengelolaannya. Guru harus dilihat sebagai entitas sosial yang memiliki kepentingan untuk diakomodasi namun bukan berarti memberi ruang adanya interaksi negatif. Kontrol yang ketat dan jelas di dalam proses tersebut diselenggarakan sebagai sebuah upaya untuk menjaga integritas pendidikan. Jika memang sertifikasi tersebut hendak menyelamatkan guru agar lebih memiliki kapasitas nyata maka proses di dalamnya tersebut juga harus dijaga dari gejala-gejala infeksi patologis yang berdampak buruk. Jika gejala-gejala patologis tersebut tidak dijaga maka kebijakan sertifikasi tersebut sama sekali tidak menyelamatkan guru. (artikel ini ditulis oleh: Simon S. Hutagalung- Dosen FISIP Universitas Lampung: 2008).