28 May 2009

Ekonomi Kerakyatan dan Kewirausahaan Sosial

Artikelku di Lampung Post, 28 Mei 2009


Menjelang pemilihan presiden, debat tentang sistem ekonomi kembali muncul. Bahkan dikatakan jika pilpres tahun ini merupakan perang aliran ekonomi, yaitu ekonomi neoliberal dan ekonomi kerakyatan. Debat ini sebenarnya sudah berlangsung lama, pergulatan tentang peran pengusaha asing kontra kelompok potensial dalam negeri untuk memaksimalkan sumber daya pada wilayah sebuah negara.

Selalu yang menjadi wacana favorit adalah gagasan ekonomi kerakyatan. Namun, wacana dalam masa kampanye politik itu sering hilang ketika kontestan terpilih menjadi pengambil kebijakan. Permasalahannya adalah operasionalisasi kebijakan yang tidak menyentuh secara penuh penggerakan kerakyatan itu sendiri.

Jika berbicara tentang penggerakan rakyat, ada beberapa rujukan, salah satunya adalah kewirausahaan sosial (social entrepreneurship). Gagasan ini menarik ketika Muhammad Yunus berhasil menggerakkan masyarakat miskin lebih produktif dan bergerak keluar dari kemiskinan. Kewirausahaan sosial merupakan gerakan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sosial, misalnya mengurangi kemiskinan, menyediakan makanan bergizi bagi kaum miskin, asuransi kesehatan dan pendidikan. Gerakan ekonomi dalam konteks ini digerakkan oleh cause-driven, bukan profit-driven. Artinya, tujuan yang hendak dicapai dari aktivitas ekonomi tadi adalah implikasinya terhadap kelompok sasaran, jika masyarakat miskin menjadi kelompok sasarannya, diharapkan kondisi kemiskinan tersebut dapat teratasi.

Metode perubahan dalam kewirausahaan sosial ini berbeda dengan pendekatan filantropi yang sering digunakan dalam pengentasan kemiskinan. Hal ini dapat dipahami jika melihat ciri kewirausahaan sosial tersebut; pertama, melihat intervensi sumber daya sebagai investasi yang digerakkan oleh suatu kelompok sosial tertentu. Kedua, konsekuensi dari investasi tersebut menghasilkan bentuk upaya produktif lebih berkelanjutan dan tumbuh berkembang dengan sendirinya tanpa tergantung pada kucuran dana terus menerus.

Ketiga, investasi yang dilakukan pada awal tersebut tidak akan hilang, dapat digunakan untuk diinvestasikan kembali dalam bentuk upaya ekonomi yang sama atau yang berbeda. Keempat, kewirausahaan sosial mendorong kelompok target untuk meningkatkan kapasitas diri guna menjawab masalah-masalah sosial melalui upaya ekonomi yang sedang dijalankannya. Dalam format ini kelompok masyarakat spesifik diposisikan sebagai pemeran utama dalam aktivitas ekonomi, sementara itu negara dapat memosisikan diri sebagai pihak yang berinvestasi secara sosial.

Dalam konteks Indonesia, salah satu alternatif solusi bagi pengentasan kemiskinan adalah melalui kewirausahaan sosial. Namun, dibutuhkan strategi yang bisa memperkuat konsep tersebut dalam konteks sosial budaya Indonesia. Ada beberapa strategi yang teridentifikasi, di antaranya: Pertama, pendekatan kewirausahaan sosial sebagai bentuk investasi kepada kelompok sosial tertentu, dalam hal pengentasan kemiskinan ini maka kelompok masyarakat miskin yang menjadi sasaran. Investasi disalurkan melalui modal produktif dalam berbagai wujud sumber daya finansial kepada masyarakat miskin.

Kedua, penguatan jaringan (networking) dengan kelompok lain yang dapat memberikan ruang bagi kelompok masyarakat miskin guna mendistribusikan atau menjual produk yang dihasilkan dari aktivitas kelompoknya. Ketiga, penguatan kapasitas kelompok masyarakat miskin dalam aspek manajemen ekonomi produktif, sehingga dalam jangka panjang masyarakat miskin dapat melipatgandakan usaha produktifnya dan sekaligus meningkatkan pendapatan serta keuntungan yang mereka peroleh.

Keempat, pembangunan kepercayaan (trust building) sebagai awal dari keseluruhan proses tersebut, hal ini bermanfaat bagi peningkatan moral masyarakat miskin sehingga merasa lebih dihargai dan diberi kesempatan secara aktif untuk keluar dari kemiskinannya.

Keempat strategi tersebut merupakan perspektif kewirausahaan yang masuk ke dalam kelompok sosial spesifik, menggunakan pendekatan sosial (dalam wujud penguatan trust) dan bertujuan untuk mengatasi permasalahan sosial. Melalui strategi itu diharapkan ruang sosial terbangun secara praktis. Hal tersebut sebenarnya sudah menjadi bagian dalam beberapa program pemberdayaan masyarakat, tapi belum signifikansi pengaruh aplikasi prinsip tersebut terhadap pengentasan kemiskinan. Pertanyaan yang muncul adalah, kenapa itu terjadi?.

Ada beberapa identifikasi dari program yang berusaha mengadopsi prinsip tersebut. Pertama, faktor internal, yaitu komitmen dan determinasi, kepemimpinan, toleransi pada risiko, ambiguitas, dan ketidakpastian, serta kreativitas, keandalan, dan daya adaptasi. Faktor ini merupakan bagian internal dari kapasitas kelompok sosial spesifik sasaran program. Perubahan dalam bentuk peran dan kesempatan ekonomi produktif bagi kelompok tersebut, semestinya diiringi dengan perubahan yang menyeluruh dalam cara pandang terhadap diri dan orang lain, sehingga mereka mampu untuk berakselerasi dengan aktivitas ekonomi yang lebih dahulu berjalan.

Faktor eksternal, yaitu kendala atau hambatan dari struktur yang mengitari aktivitas usaha-usaha sosial tersebut. Seperti misalnya struktur birokrasi, struktur pasar dan lingkungan politik. Faktor ini merupakan ruang yang tidak mudah untuk dihadapi atau diantisipasi pengaruhnya terhadap pergerakan kelompok masyarakat tersebut dalam aktivitas ekonomi produktifnya. Jika faktor ini kontraproduktif terhadap gerakan yang hendak melakukan perubahan secara berkelanjutan tersebut, perubahan peran dan posisi kelompok masyarakat itu tidak menyeluruh. Karena itu, tetap diperlukan pengawalan dari negara agar gerakan ekonomi berbasis kelompok sosial ini dapat secara konsisten berjalan.

1 comment: