Jika kita kilas balik pada realita pilpres yang lalu, dapat dicermati gejala memudarnya dominasi partai politik yang tumbuh dan besar dengan supporting system kebijaksanaan penguasa yang merupakan bagian rezim sejak reformasi. Dominasi yang tumbuh selama masa Orde Baru dan berlanjut dengan variasi kemasan pada rezim selanjutnya mengalami pembalikan ketika saluran politik antara elite dan rakyat dibuka langsung.
Dalam realita tersebut sikap platonik yang sebelumnya dimiliki para elite politik terhadap demokrasi itu sendiri mengalami guncangan dengan fakta yang mengungkapkan mesin politik tidak lagi menunjukkan signifikansinya dengan kuantitas dan kualitas dukungan masyarakat.
Keadaan tersebut juga menunjukkan marketing faktor psikologi-sosial dan komunikasi politik yang baik bisa memberikan pengaruh yang sangat fenomenal. Faktor psikologi-sosial dengan bentuk pencitraan yang baik dan komunikasi politik yang simpatik merupakan dua hal yang menjadi kunci pada pemilu kali ini.
Pengelolaan kedua hal tersebutlah yang menjadi latar belakang pencapaian kursi presiden oleh SBY sekaligus menjadi awal dari berubahnya pola berpikir praktek politik yang selama ini bersifat tradisional dengan landasan mesin politik dan basis massa yang dianggap pasif dalam menentukan pilihan politiknya. Serta sekaligus juga sebagai faktor sebab akibat munculnya gejala apical dominance dalam konteks politik.
Mengadaptasi istilah dalam ilmu botani, apical dominance dalam konteks politik dapat didentifikasi sebagai sebuah gejala tumbuhnya secara signifikan dinamika politik pada lapisan akar rumput masyarakat dengan cara memangkas hegemoni institusi politik yang selama ini cenderung membiaskan fungsi-fungsi politiknya kepada akar rumput tersebut. Kondisi yang dimulai ketika pemilih mulai mengidentifikasi partai politik sebagai aktor yang mendestruktifikasi pola kebijakan penguasa, sehingga cenderung menguntungkan kepentingan pribadi dan golongannya.
Saat itulah masyarakat sebagai kesatuan politik mulai memangkas hegemoni mereka dengan menyatakan ketidakpercayaannya kepada suatu partai politik bahkan kepada seluruh partai politik yang ada. Wujud konkret kondisi inilah yang kemudian terwujud sebagai sikap otonom mereka dalam menentukan pilihan politiknya.
Karena didasari suatu bentuk kesadaran personel (self consiousness), apical dominance dalam konteks tersebut dapat merangsang proses pendidikan politik secara luas. Dan juga dapat memacu tumbuhnya tunas-tunas lateral dalam konteks partisipasi politik.
Sehingga pendidikan politik dalam kondisi tersebut tidak hanya termonopolikan di lingkup primer lingkaran elite politik, tapi juga pada lingkup sekunder, di mana ada lembaga-lembaga penyeimbang dan pengkritisi, tapi selama ini tidak mendapatkan porsi yang layak untuk berkembang menjadi sebuah gerakan politik yang substantif. Dengan demikian, mereka tidak lagi berada di garis luar praktek politik.
Jika kita analogikan dengan kerindangan pohon, makin banyak tunas, ranting, dan daun yang tumbuh pada seluruh buku-buku lapisan pohon tersebut, makin rindanglah serta makin indahlah pohon tersebut. Memberikan kesempatan kepada buku-buku lapisan di luar elite politik ikut serta merupakan sebuah usaha mewujudkan hal tersebut.
Demokrasi harus dipahami sebagai proses on going yang selalu memerlukan tempat di mana saja untuk tumbuh dan berkembang. Pendidikan politik dalam wujud prakteknya harus menjadi bagian pembelajaran bersama tanpa ada kecuali.
Gejala ini sebenarnya dapat kembali muncul secara nyata dalam momen pilkada langsung yang rencananya dilaksanakan 2005 nanti. Gejala ini akan muncul dengan latar kebijakan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kebijakan melaksanakan pilkada tinggal menunggu peraturan-peraturan yang menjadi pedoman untuk melaksanakannya. Beberapa kalangan mengemukakan substansi pilkada langsung yang menjadi bagian revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 itu terbukti dipengaruhi konteks visi dan misi kepentingan politik tertentu.
Cacat-cacat yang menjadi perdebatan dalam kebijakan itu merupakan bukti pembahasan revisi kebijakan itu bermanuver bersamaan dengan manuver yang terjadi dalam jalannya proses politik pasca-Pemilu 2004.
Meskipun sebenarnya pilkada kehilangan potensi memunculkan gejala apical dominance pada tingkat yang lebih unik dengan bobot yang juga berbeda ketimbang pilpres lalu. Walaupun pilkada diwarnai kerancuan-kerancuan, misalnya dalam hal dalam hal proses rekrutmen calon-calon kepala daerahnya dan dalam hal power discrection KPUD, gejala apical dominance tetap akan muncul.
Dengan syarat harus tetap ada upaya mengampanyekan pendidikan politik dalam pelaksanaan pilkada langsung nantinya. Masih ada upaya yang sekiranya mampu memunculkan apical dominance secara signifikan.
Bukan hanya kepada akan adanya kelompok golongan putih dengan berbagai latar belakang yang biasanya akan selalu ada sebagai pilihan alternatif dalam setiap pemilihan di mana pun dan dalam hal apa pun, tapi mekanisme-mekanisme seperti konvensi pun dapat menjadi ruang agar mampu menjadi daya tarik dari pilkada itu.
Sebenarnya naif jika kita melihat konvensi sebagai sebuah mekanisme partai politik untuk merekrut calon pemimpin dalam pilkada nanti menghasilkan calon-calon pemimpin di luar lingkaran elite partai politik tersebut. Kalaupun ada mereka juga harus berkompromi dengan parpol tersebut yang juga terkadang berarti mengompromikan substansi komitmen mereka terhadap kepentingan masyarakat lokal.
Hal ini didasarkan kenyataan dalam realita politik praktis kita yang menunjukkan setiap dukungan selalu mempunyai harga dan berapa harga (cost) yang dimiliki akan menentukan kuantitas dan kualitas dukungan kepada orang yang mencalonkan diri tadi. Hal inilah yang memberikan asumsi pilkada nanti hanya diikuti para politisi yang memiliki modal yang besar untuk menjalani proses yang tidak lebih dari sebuah dagang sapi pada tingkat lokal.
Lalu apa yang harus kita lakukan bersama untuk meretaskan keadaan tersebut? Apical dominance selalu membutuhkan media agar dia dapat tumbuh menjadi sebuah gejala yang signifikan.
Permasalahannya, ketika media primer kurang mampu menjamin tumbuhnya apical dominance, media sekunder menjadi alternatif. Sebab itu, ketika mekanisme-mekanisme formal tidak dapat menjamin hadirnya sebuah pendidikan yang substantif bagi proses politik, saluran di luar tersebut, meskipun menjadi sebuah alternatif yang dikampanyekan bersama.
Gerakan politik kelompok buku-buku lapisan sekunder melalui transaksi politik dengan kontrak moral yang menjamin tersalurkan aspirasi masyarakat lokal harus ditransaksikan kepada partai politik tertentu yang masih memiliki naluri bersikap responsif terhadap konstituennya.
Meskipun sedikit dan memiliki porsi yang minoritas dalam konfigurasi politik lokal, partai politik ini akan memiliki potensi dukungan yang besar karena masyarakat ikni memiliki landasan moral yang kuat di balik keputusan memilihnya. Singkatnya masyarakat lokal selayaknya mau dan berani bertransaksi dengan partai politik untuk memberi kesempatan munculnya calon-calon alternatif yang berasal dari lapisan sekunder.
Sederhananya, kalau suatu parpol mengerti dan mengikuti kemauan masyarakat lokal tersebut, proses marketing mereka akan lebih memiliki daya tarik namun kalau parpol tersebut justru menjauhi dari kehendak masyarakat lokal, mereka kemungkinan menghadapi konsekuensi sebagaimana yang terjadi dalam pilpres lalu.
Setiap individu masyarakat yang memiliki modal kuat untuk ikut bertransaksi dalam proses tersebut, mereka dapat memberdayakan prinsip politiknya dalam media pemilihan dengan tingkat keunikan yang berbeda. Sebab itu, transaksi politik tersebut akan memiliki karakteristik yang berbeda pada tingkatan tertentu, di satu kabupaten dengan karakteristik yang tradisional, sangat mungkin jika transaksi politik dilakukan dengan substansi yang sederhana meskipun tanpa meningggalkan esensi aspirasi konkret masyarakat tersebut.
Sementara pada kota dengan karakteristik masyarakat yang lebih moderat dan derajat kualitas pendekatan politik tertentu, transaksi politik mungkin dapat lebih kompleks bahkan memberikan fenomena yang menarik nantinya.
Dalam proses tersebut akan terjadi tukar-menukar pandangan antara masyarakat lokal dan calon hingga pada tingkat yang spesifik. Catatannya, yang perlu dilakukan bukan sekadar menyelenggarakan mekanisme yang bersifat menanti, apalagi menjaring aspirasi dengan hanya menjaring calon-calon kepala daerah.
Yang terpenting adalah bersikap proaktif menemukan dan memahami bentuk-bentuk keinginan yang ada dari bawah. Wujud konkret yang mungkin diperlukan dalam konteks ini adalah forum publik pada tingkatan lokal yang mesti diselenggarakan dengan kuatitas dan kualitas yang tertata dengan baik.
Forum publik dengan segala macam variasinya serta melalui berbagai saluran sebagai bentuk partisipasi dalam setiap tahap menjelang pilkada perlu digagaskan dengan segera mengingat pemahaman mengenai apa, mengapa, dan bagaimana pilkada ini belum terserap secara meluas di kalangan masyarakat lokal.
Akhirnya, transaksi politik antara rakyat dan partai politik sekiranya mampu menjadi medium perantara dari kesenjangan antara buku-buku lapisan masyarakat sekunder dan buku-buku lapisan elite politik. Transaksi dalam konteks ini merupakan medium perantara yang dapat menumbuhkan tunas-tunas baru dalam bentuk kesadaran politik yang akhirnya dapat menyuburkan apical dominance dalam kehidupan demokrasi lokal.
Rakyat adalah pembeli dan pembeli adalah raja yang mesti menjadi daya dorong menggerakkan pemikiran-pemikiran politik kita dalam sebuah kesatuan pembelajaran politik bagi seluruh lapisan. Apakah pilkada nanti akan menggejalakan hal itu? Kita lihat saja. Mungkin ya, mungkin juga tidak.
* artikel ini dimuat di Lampung Post tanggal 9 Desember 2004
No comments:
Post a Comment