Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung muncul berbagai kekhawatiran yang dapat muncul di saat proses pemilihan nanti. Salah satunya adalah terhadap peran birokrasi dalam menghadapi godaan pesta politik pada tingkat lokal tersebut. Sebagai sebuah pesta yang akan diikuti oleh seluruh elemen masyarakat tentu saja akan ada kesemarakan, daya pikat dan pesona namun untuk merasakan semua itu perlu pengorbanan. Maka dapat disimpulkan bahwa semua adalah pilihan. Memilih ikut serta di dalam pesta maka akan ada pengorbanan demikian juga ketika memilih tidak ikut pesta maka akan ada pengorbanan juga. Pertanyaannya kemudian, apakah hal yang sama juga berlaku bagi birokrasi?
Birokrasi sebagai sebuah intitusi yang terdiri dari individu-individu pada dasarnya mempunyai naluri politik karena setiap individu yang tergabung di dalamnya merupakan makhluk politik yang memang mempunyai hak politik yang sama. Namun bila dikaitkan birokrasi sebagai sebuah pelembagaan peran maka naluri politik yang dimiliki oleh masing-masing personal dalam birokrasi itu menjadi berbeda. Meskipun pada diri setiap individu yang melembagakan dirinya ke dalam berbagai institusi publik terdapat naluri sosial politik yang melekat namun peran “nir laba” mereka kemudian menimbulkan dikotomi pilihan di dalam realita praktiknya. Birokrasi sebagai salah satu pelembagaan penting dalam bernegara mengalami dikotomi pilihan yang kemudian menimbulkan dilema nilai yang harus diacu untuk menentukan pilihan.
Birokrasi memang senantiasa berada pada dilema nilai-nilai yang harus dipilih namun juga mesti dimaksimalisasi. Nilai-nilai yang dalam interpretasinya terkadang tergantung kepada konteks dimana ia berada yang kemudian memberikan efek tertentu kepada birokrasi sehingga terkadang ia memerlukan intervensi berupa faktor-faktor eksternal dari luar tubuh birokrasi itu sendiri. Birokrasi terkadang memerlukan dorongan yang bersifat politis supaya mampu mengatasi hal-hal yang baru dan berdimensi luas dalam konteks sebagai bagian dari sistem bernegara. Birokrasi juga memerlukan dukungan atau tentangan dari masyarakat untuk memberikan cara pandang dan gaya bertindak yang terwujud di dalam kinerjanya sehari-hari.
Dalam konteks menentukan pilihan nilai-nilai itu birokrasi senantiasa mempunyai ruang-ruang untuk memutuskan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan mereka. Meski tergantung pada konteksnya namun terkadang birokrasi lebih rentan untuk memilih bersikap status quo terhadap segala intrusi yang dapat mengganggu eksistensi mereka. Birokrasi sebagai kesatuan organisasi manusia yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan mulai menciptakan pola-pola dan mekanisme-mekanisme tersendiri dalam rangka mengatasi hal tersebut. Termasuk ketika berhadapan dengan intrusi politik, mereka akan mengidentifikasi apakah intrusi itu mengganggu atau tidak. Cara untuk mengidentifikasikan hal itulah yang memerlukan pilihan nilai.
Intrusi politik ke dalam tubuh birokrasi melibatkan suatu rantai psikologis yang merupakan salah satu mekanisme terselubung yang dijalin oleh birokrasi yang umumnya diciptakan oleh kepentingan para elitnya dan terjalin melalui sebuah proses yang lama berdasarkan kepada rasa saling percaya (trust) dengan latar belakang persamaan kepentingan. Maka itu di dalam ketika politik mengintrusi birokrasi bukan hanya satu atau dua elit birokrasi level tertentu yang menjadi motor penggerak namun juga beberapa bahkan mungkin secara tidak disadari juga melibatkan keseluruhan rentang kendali birokrasi yang pada dasarnya memiliki keterkaitan satu dengan lainnya.
Birokrasi secara keseluruhan mungkin tidak menghendaki adanya intrusi politik namun elit-elit birokrasi yang memiliki posisi untuk memengaruhi cara pikir dan cara pandang anggota birokrasi (PNS) secara psikologis mengakibatkan mereka juga masuk menjadi bagian dari pendukung gerilya tersebut. Intrusi politik yang terjadi pada birokrasi tidak pernah tampak dengan nyata dan terdeteksi dengan jelas. Ia selalu terjadi secara samar namun terasakan, sama seperti halnya dengan korupsi. Karena hal itulah maka intrusi politik ke dalam birokrasi juga digerakkan oleh semangat “power tends to corrupt”. Yang corrupt adalah ketika terjadi pengabaian peran dan lebih mengedepankan hasrat kepentingan individu. Karenanya meskipun sudah ada kebijakan yang mengatur tentang netralitas peran aparatur birokrasi dalam politik praktis seperti UU No. 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan PP No. 30/80 tentang Disiplin PNS serta UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah namun gejala ini akan selalu berusaha memanfaatkan ruang-ruang psikologis di dalam tiap interaksi anggota birokrasi (PNS) sebagai mahluk sosial.
Berkenaan dengan hal ini memang tidak dengan mudah kita dapat melihat intervensi-intervensi yang terjadi dengan berbagai bentuknya karena persoalan dalam konteks ini pada umumnya hanya melibatkan lingkaran elit birokrasi dan juga elit politik yang memiliki hubungan erat dengan birokrasi itu sendiri. Jarak persinggungan antara birokrat dengan politisi pada saat sekarang ini semakin tipis, birokrat menjadi sangat akrab dengan politisi mengingat peran mereka yang saling mendukung dalam konteks peran dan fungsi di lembaga pemerintahan. Berbeda dengan konteks yang terjadi pada Orde Baru yang mendistorsikan paham monoloyalitas yang mengintrusi birokrasi untuk kepentingan tunggal kelompok tertentu. Dalam konteks ini intrusi terjadi ke lingkup internal sebagai efek yang terjadi ketika birokrat mulai akrab dengan kalkulasi-kalkulasi ala politisi dan daya pikat politik mulai menggoda mereka untuk mencari dan mengelola sumber daya politiknya, termasuk adalah dengan memanfaatkan jajaran organisasinya.
Dalam kadar yang berbeda hal itu mungkin dapat terjadi juga di dalam pemilihan kepala daerah nanti karena kelompok birokrat merupakan kelompok yang akan diuntungkan selain kelompok pengusaha dengan tipe pemilihan yang mengedepankan popularitas subjektif dan dukungan sumber daya tertentu sebagai modal politiknya. Birokrasi di dalam momen tersebut merupakan kelompok yang potensial untuk menjadi salah satu sumber daya penggerak politik di tengah masyarakat sementara elit-elit birokrasi dengan latar belakang yang berbeda juga memiliki kepentingan tertentu terhadap beberapa calon kepala daerah yang dianggap lebih mampu mengakomodasi kepentingan mereka.
Dalam konteks inilah kemudian birokrasi dapat muncul menjadi bagian dari pembentukan dukungan politik (political back up). Potensi birokrasi yang ada hingga kepada tingkat terdekat dengan masyarakat menjadikan ia sebagai instrumen potensial yang diharapkan dapat memberikan efek politis kepada masyarakat yang dinaunginya. Yang berbahaya bila gejala itu kemudian terjadi adalah akan muncul kecenderungan terjadinya fragmentasi di dalam tubuh birokrasi. Birokrasi menjadi terkotak-kotak berdasarkan afiliasi politik yang dipilih secara berbeda oleh beberapa elit birokrasi. Sehingga implikasinya kemudian adalah terganggunya fungsi birokrasi itu sendiri, yaitu pelayanan dan penyelenggaraan pembangunan.
Pelayanan yang diberikan akan menjadi terhambat bila terjadi friksi yang hebat antara kepentingan-kepentingan para birokrat. Demikian juga fungsi pembangunan akan menjadi tidak tersinergi dengan baik karena konsentrasi terpakai untuk mengurusi isu-isu politik yang berkembang dalam rangka menunjang strategi politik yang dikelola. Situasi politik yang seperti ini misalnya sudah dirasakan di beberapa daerah. Di beberapa Kabupaten misalnya, menjelang pemilihan bupati dan wakil bupati ini muncul indikasi bahwa kinerja pegawai negeri sipil (PNS) nampak mulai terganggu. Mereka mulai menciptakan kubu-kubu yang memiliki kepentingan untuk mendukung calon tertentu.
Karena hal itulah maka birokrasi sebagai aktor yang potensial untuk terjebak di dalam politik praktis mesti diwaspadai. Birokrasi harus menjaga dan dijaga jaraknya terhadap arus politisasi yang mendorong mereka untuk menginterpretasikan politik sebagai sebuah oportunisme yang dianggap dapat menjamin keberlanjutan eksistensi mereka. Birokrasi tanpa harus terjebak di dalam oportunisme pun sebenarnya sudah memiliki posisi yang menentukan di dalam kancah bernegara mengingat eksistensi mereka sebagai infrastruktur dalam rangka mengimplementasi fungsi-fungsi negara. Kesuksesan bagi mereka ada pada terselenggaranya dengan baik pelayanan dan pembangunan bukan dengan menempatkan diri sebagai agen-agen suara yang hanya akan memunculkan free rider yang dapat merusak hakikat birokrasi itu sendiri.
Birokrasi sebagai sebuah organisasi juga harus menyadari bahwa hubungan antara anggota birokrasi (PNS) dengan elit adalah hubungan yang proporsional. Proporsional yang dimaksud bukan sekedar merujuk kepada profesionalitas namun juga kepada kemampuan untuk menempatkan diri. Ada porsi dimana elit kita pandang secara struktural namun juga tetap ada ruang persepsi personal yang tidak dapat dipengaruhi. Untuk bisa mempersepsikan hal ini dalam realitanya memang tergantung kepada derajat ketergantungan psikologis antara atasan dan bawahan yang terjadi di dalam organisasi itu sendiri. Dimensi psikologis dalam hal ini terbentuk dengan daya dukungan lingkungan di mana organisasi itu berada. Jadi ketika lingkungannya sangat primordial maka pembentukan psikologi organisasi akan menjadi sangat primordial. Hal ini yang kemudian akan dimanfaatkan untuk mengarahkan pola pikir birokrasi menjadi sangat suportif terhadap primordialisme yang oportunistik.
Dalam menghadapi pilkada nanti akan kita lihat bagaimana birokrasi lokal menentukan pilihan di antara dilema-dilema nilai yang ada dan pilihan itulah yang kemudian akan membentuk karakter birokrasi di masa yang datang. Sementara masyarakat sebagai bagian yang ikut membentuk birokrasi juga punya kewajiban moral untuk mewaspadai terjadinya intrusi politik ke dalam birokrasi. Selain penerapan kebijakan-kebijakan yang dapat menjaga netralitas aparatur, sikap kritis juga merupakan usaha yang mampu mengarahkan birokrasi dalam rangka melakukan pilihan terhadap nilai-nilai tersebut dan menjauhkan mereka untuk terjebak memilih nilai yang dianggap negatif.
Akhirnya, birokrasilah yang harus menunjukkan bahwa mereka punya kemauan untuk mulai berubah menjadi organisasi yang cerdas tanpa harus terseret ke dalam bentuk-bentuk intrusi politik yang akan sangat berbahaya bila menjadi budaya dalam keseharian mereka. Birokrasi sebagai organisasi yang cerdas bukan sekedar menjadi organisasi yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi administrasi dan manajemen dalam variabel pelayanan publik dan pembangunan secara baik namun juga mampu menjadi organisasi yang dapat melihat dan mengidentifikasi gejala-gejala intervensi politis dari beberapa kepentingan elitnya dan merespon dengan menyatakan sikap yang netral. Bukan berarti apolitis namun sebagai salah satu pilar pembentuk negara wajar bila hak berpolitik tersebut dikembalikan secara cerdas kepada ruang privasi yang berharga.
* artikel ini di muat di SKH Lampung Post tanggal 17 Maret 2005
Birokrasi sebagai sebuah intitusi yang terdiri dari individu-individu pada dasarnya mempunyai naluri politik karena setiap individu yang tergabung di dalamnya merupakan makhluk politik yang memang mempunyai hak politik yang sama. Namun bila dikaitkan birokrasi sebagai sebuah pelembagaan peran maka naluri politik yang dimiliki oleh masing-masing personal dalam birokrasi itu menjadi berbeda. Meskipun pada diri setiap individu yang melembagakan dirinya ke dalam berbagai institusi publik terdapat naluri sosial politik yang melekat namun peran “nir laba” mereka kemudian menimbulkan dikotomi pilihan di dalam realita praktiknya. Birokrasi sebagai salah satu pelembagaan penting dalam bernegara mengalami dikotomi pilihan yang kemudian menimbulkan dilema nilai yang harus diacu untuk menentukan pilihan.
Birokrasi memang senantiasa berada pada dilema nilai-nilai yang harus dipilih namun juga mesti dimaksimalisasi. Nilai-nilai yang dalam interpretasinya terkadang tergantung kepada konteks dimana ia berada yang kemudian memberikan efek tertentu kepada birokrasi sehingga terkadang ia memerlukan intervensi berupa faktor-faktor eksternal dari luar tubuh birokrasi itu sendiri. Birokrasi terkadang memerlukan dorongan yang bersifat politis supaya mampu mengatasi hal-hal yang baru dan berdimensi luas dalam konteks sebagai bagian dari sistem bernegara. Birokrasi juga memerlukan dukungan atau tentangan dari masyarakat untuk memberikan cara pandang dan gaya bertindak yang terwujud di dalam kinerjanya sehari-hari.
Dalam konteks menentukan pilihan nilai-nilai itu birokrasi senantiasa mempunyai ruang-ruang untuk memutuskan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan mereka. Meski tergantung pada konteksnya namun terkadang birokrasi lebih rentan untuk memilih bersikap status quo terhadap segala intrusi yang dapat mengganggu eksistensi mereka. Birokrasi sebagai kesatuan organisasi manusia yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan mulai menciptakan pola-pola dan mekanisme-mekanisme tersendiri dalam rangka mengatasi hal tersebut. Termasuk ketika berhadapan dengan intrusi politik, mereka akan mengidentifikasi apakah intrusi itu mengganggu atau tidak. Cara untuk mengidentifikasikan hal itulah yang memerlukan pilihan nilai.
Intrusi politik ke dalam tubuh birokrasi melibatkan suatu rantai psikologis yang merupakan salah satu mekanisme terselubung yang dijalin oleh birokrasi yang umumnya diciptakan oleh kepentingan para elitnya dan terjalin melalui sebuah proses yang lama berdasarkan kepada rasa saling percaya (trust) dengan latar belakang persamaan kepentingan. Maka itu di dalam ketika politik mengintrusi birokrasi bukan hanya satu atau dua elit birokrasi level tertentu yang menjadi motor penggerak namun juga beberapa bahkan mungkin secara tidak disadari juga melibatkan keseluruhan rentang kendali birokrasi yang pada dasarnya memiliki keterkaitan satu dengan lainnya.
Birokrasi secara keseluruhan mungkin tidak menghendaki adanya intrusi politik namun elit-elit birokrasi yang memiliki posisi untuk memengaruhi cara pikir dan cara pandang anggota birokrasi (PNS) secara psikologis mengakibatkan mereka juga masuk menjadi bagian dari pendukung gerilya tersebut. Intrusi politik yang terjadi pada birokrasi tidak pernah tampak dengan nyata dan terdeteksi dengan jelas. Ia selalu terjadi secara samar namun terasakan, sama seperti halnya dengan korupsi. Karena hal itulah maka intrusi politik ke dalam birokrasi juga digerakkan oleh semangat “power tends to corrupt”. Yang corrupt adalah ketika terjadi pengabaian peran dan lebih mengedepankan hasrat kepentingan individu. Karenanya meskipun sudah ada kebijakan yang mengatur tentang netralitas peran aparatur birokrasi dalam politik praktis seperti UU No. 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan PP No. 30/80 tentang Disiplin PNS serta UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah namun gejala ini akan selalu berusaha memanfaatkan ruang-ruang psikologis di dalam tiap interaksi anggota birokrasi (PNS) sebagai mahluk sosial.
Berkenaan dengan hal ini memang tidak dengan mudah kita dapat melihat intervensi-intervensi yang terjadi dengan berbagai bentuknya karena persoalan dalam konteks ini pada umumnya hanya melibatkan lingkaran elit birokrasi dan juga elit politik yang memiliki hubungan erat dengan birokrasi itu sendiri. Jarak persinggungan antara birokrat dengan politisi pada saat sekarang ini semakin tipis, birokrat menjadi sangat akrab dengan politisi mengingat peran mereka yang saling mendukung dalam konteks peran dan fungsi di lembaga pemerintahan. Berbeda dengan konteks yang terjadi pada Orde Baru yang mendistorsikan paham monoloyalitas yang mengintrusi birokrasi untuk kepentingan tunggal kelompok tertentu. Dalam konteks ini intrusi terjadi ke lingkup internal sebagai efek yang terjadi ketika birokrat mulai akrab dengan kalkulasi-kalkulasi ala politisi dan daya pikat politik mulai menggoda mereka untuk mencari dan mengelola sumber daya politiknya, termasuk adalah dengan memanfaatkan jajaran organisasinya.
Dalam kadar yang berbeda hal itu mungkin dapat terjadi juga di dalam pemilihan kepala daerah nanti karena kelompok birokrat merupakan kelompok yang akan diuntungkan selain kelompok pengusaha dengan tipe pemilihan yang mengedepankan popularitas subjektif dan dukungan sumber daya tertentu sebagai modal politiknya. Birokrasi di dalam momen tersebut merupakan kelompok yang potensial untuk menjadi salah satu sumber daya penggerak politik di tengah masyarakat sementara elit-elit birokrasi dengan latar belakang yang berbeda juga memiliki kepentingan tertentu terhadap beberapa calon kepala daerah yang dianggap lebih mampu mengakomodasi kepentingan mereka.
Dalam konteks inilah kemudian birokrasi dapat muncul menjadi bagian dari pembentukan dukungan politik (political back up). Potensi birokrasi yang ada hingga kepada tingkat terdekat dengan masyarakat menjadikan ia sebagai instrumen potensial yang diharapkan dapat memberikan efek politis kepada masyarakat yang dinaunginya. Yang berbahaya bila gejala itu kemudian terjadi adalah akan muncul kecenderungan terjadinya fragmentasi di dalam tubuh birokrasi. Birokrasi menjadi terkotak-kotak berdasarkan afiliasi politik yang dipilih secara berbeda oleh beberapa elit birokrasi. Sehingga implikasinya kemudian adalah terganggunya fungsi birokrasi itu sendiri, yaitu pelayanan dan penyelenggaraan pembangunan.
Pelayanan yang diberikan akan menjadi terhambat bila terjadi friksi yang hebat antara kepentingan-kepentingan para birokrat. Demikian juga fungsi pembangunan akan menjadi tidak tersinergi dengan baik karena konsentrasi terpakai untuk mengurusi isu-isu politik yang berkembang dalam rangka menunjang strategi politik yang dikelola. Situasi politik yang seperti ini misalnya sudah dirasakan di beberapa daerah. Di beberapa Kabupaten misalnya, menjelang pemilihan bupati dan wakil bupati ini muncul indikasi bahwa kinerja pegawai negeri sipil (PNS) nampak mulai terganggu. Mereka mulai menciptakan kubu-kubu yang memiliki kepentingan untuk mendukung calon tertentu.
Karena hal itulah maka birokrasi sebagai aktor yang potensial untuk terjebak di dalam politik praktis mesti diwaspadai. Birokrasi harus menjaga dan dijaga jaraknya terhadap arus politisasi yang mendorong mereka untuk menginterpretasikan politik sebagai sebuah oportunisme yang dianggap dapat menjamin keberlanjutan eksistensi mereka. Birokrasi tanpa harus terjebak di dalam oportunisme pun sebenarnya sudah memiliki posisi yang menentukan di dalam kancah bernegara mengingat eksistensi mereka sebagai infrastruktur dalam rangka mengimplementasi fungsi-fungsi negara. Kesuksesan bagi mereka ada pada terselenggaranya dengan baik pelayanan dan pembangunan bukan dengan menempatkan diri sebagai agen-agen suara yang hanya akan memunculkan free rider yang dapat merusak hakikat birokrasi itu sendiri.
Birokrasi sebagai sebuah organisasi juga harus menyadari bahwa hubungan antara anggota birokrasi (PNS) dengan elit adalah hubungan yang proporsional. Proporsional yang dimaksud bukan sekedar merujuk kepada profesionalitas namun juga kepada kemampuan untuk menempatkan diri. Ada porsi dimana elit kita pandang secara struktural namun juga tetap ada ruang persepsi personal yang tidak dapat dipengaruhi. Untuk bisa mempersepsikan hal ini dalam realitanya memang tergantung kepada derajat ketergantungan psikologis antara atasan dan bawahan yang terjadi di dalam organisasi itu sendiri. Dimensi psikologis dalam hal ini terbentuk dengan daya dukungan lingkungan di mana organisasi itu berada. Jadi ketika lingkungannya sangat primordial maka pembentukan psikologi organisasi akan menjadi sangat primordial. Hal ini yang kemudian akan dimanfaatkan untuk mengarahkan pola pikir birokrasi menjadi sangat suportif terhadap primordialisme yang oportunistik.
Dalam menghadapi pilkada nanti akan kita lihat bagaimana birokrasi lokal menentukan pilihan di antara dilema-dilema nilai yang ada dan pilihan itulah yang kemudian akan membentuk karakter birokrasi di masa yang datang. Sementara masyarakat sebagai bagian yang ikut membentuk birokrasi juga punya kewajiban moral untuk mewaspadai terjadinya intrusi politik ke dalam birokrasi. Selain penerapan kebijakan-kebijakan yang dapat menjaga netralitas aparatur, sikap kritis juga merupakan usaha yang mampu mengarahkan birokrasi dalam rangka melakukan pilihan terhadap nilai-nilai tersebut dan menjauhkan mereka untuk terjebak memilih nilai yang dianggap negatif.
Akhirnya, birokrasilah yang harus menunjukkan bahwa mereka punya kemauan untuk mulai berubah menjadi organisasi yang cerdas tanpa harus terseret ke dalam bentuk-bentuk intrusi politik yang akan sangat berbahaya bila menjadi budaya dalam keseharian mereka. Birokrasi sebagai organisasi yang cerdas bukan sekedar menjadi organisasi yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi administrasi dan manajemen dalam variabel pelayanan publik dan pembangunan secara baik namun juga mampu menjadi organisasi yang dapat melihat dan mengidentifikasi gejala-gejala intervensi politis dari beberapa kepentingan elitnya dan merespon dengan menyatakan sikap yang netral. Bukan berarti apolitis namun sebagai salah satu pilar pembentuk negara wajar bila hak berpolitik tersebut dikembalikan secara cerdas kepada ruang privasi yang berharga.
* artikel ini di muat di SKH Lampung Post tanggal 17 Maret 2005
No comments:
Post a Comment