03 January 2007

Mengurai Fenomena PKL

Di antara sekian masalah perkotaan, keberadaan pedagang kaki lima (PKL) selalu dianggap sebagai salah satu masalah yang urgen. Hampir seluruh kota di Indonesia, baik yang sudah atau yang mulai berkembang selalu menghadapi tantangan berat dalam mengatasi keberadaan mereka. Begitu juga di Kota Bandar Lampung, fenomena PKL merupakan salah satu isu yang menjadi prioritas kerja pemerintah daerah.

Hal ini tampak dari intensifnya pemerintah kota melakukan penertiban terhadap mereka. Usaha tersebut terangkai melalui berbagai kebijakan teknis pemerintah kota. Dari yang bersifat represif melalui pembongkaran lapak-lapak hingga yang lebih kompromis seperti relokasi pedagang.

Namun yang selalu terjadi adalah tidak efektifnya kebijakan-kebijakan teknis tersebut secara berkelanjutan. Efek yang diciptakan dari kebijakan hanya periodik dan cenderung tidak popular sebagai solusi yang komprehensif. PKL dalam posisinya sebagai objek tadi seolah menciptakan reaksi yang resisten bahkan melawan kebijakan pemerintah. Keberadaan mereka yang tidak pernah surut dan bahkan hadir dalam kuantitas yang lebih banyak merupakan bentuk perlawanan yang dilakukan.

Perlawanan dalam hal tersebut sebagai akibat dari terjadinya disjungsi peran dan kepentingan di antara masing-masing pihak. Sebagai kesatuan aktor pembangunan kota, elemen masyarakat dan pemerintah kota dapat menjadi konstruksi penggerak yang efektif jika keduanya memiliki peran saling melengkapi dan kepentingan yang saling mengisi. Namun di dalam dinamika sosial politik meniscayakan hal tersebut dapat terjadi dengan mudah adalah suatu kenaifan. Hampir pasti akan selalu ada perbedaan persepsi yang dapat menjadi stimulan bagi terjadinya konflik. Potensi konflik inilah yang kemudian muncul dalam wujud-wujud pemberontakan mereka terhadap peran yang seharusnya dijalankan.

Dalam kerangka tersebut dapat dicermati adanya tiga polarisasi peran dan kepentingan yang berkonfrontasi sebagai akibat dari disjungsi tadi. Pertama, dalam hal ini kita dapat mencermati bagaimana PKL melihat dirinya sendiri. PKL hadir sebagai manifestasi dari ketidakmampuan kapasitas kelembagaan kota untuk mengakomodasi pertumbuhan kota yang berakselerasi. Pertumbuhan kota hanya dimaknai sebagai distribusi dan redistribusi ruang fisik, namun tidak dimaknai sebagai sebuah distribusi dan redistribusi ruang sosial ekonomi bagi berbagai stratifikasi masyarakat. Maka kehadiran mereka merupakan wujud dari protes sosial kepada pemerintah yang memiliki peran distribusi dan redistribusi tersebut.

Kedua, kita cermati bagaimana PKL di mata masyarakat. Posisi PKL bagi masyarakat yang menjalankan interaksi ekonomi dipandang sebagai suatu alternatif saluran untuk terciptanya efisiensi bagi konsumsi warga kota. Ketika pertumbuhan kota menciptakan kompensasi yang lebih tinggi untuk memperoleh barang dan jasa maka kehadiran PKL dengan nilai kompensasi yang lebih transaksional bagi sebagian warga jadi sangat dibutuhkan. PKL dalam struktur pembangunan kota merupakan bentuk eksternalitas dari timpangnya antara kebutuhan konsumtif dengan ketidak mampuan mayoritas warga untuk memberikan kompensasi dalam rangka memperoleh kebutuhan tersebut dan PKL itu lebih mampu memberikan efisiensi bagi warga kelas menengah ke bawah.

Ketiga, bagaimana PKL di mata pemerintah daerah. Kehadiran PKL dianggap sebagai elemen masyarakat kota yang memiliki sisi dilematis bagi mereka. Dilema ini digambarkan jelas pada Lampung Post, Minggu 30 Juli 2006. Pemerintah kota sebenarnya menyadari pada satu sisi mereka pada posisi untuk memfasilitasi proses distribusi sumber ekonomi baru dengan cara memberi kesempatan bagi siapa pun untuk berusaha di dalam lingkup kota tersebut. Namun, pada sisi lain mereka juga harus memfasilitasi terjaminnya stabilisasi kebutuhan ruang bagi pihak lainnya. Secara normatif pemerintah kota harus memfasilitasi kedua kepentingan tersebut meski dalam implementasi kebijakan teknisnya salah satu kepentingan tersebut harus diprioritaskan.

Dengan demikian, harus diakui PKL tidak dapat dianggap secara negatif. Kehadiran mereka tidak semestinya hanya dilihat sebagai pihak yang tidak toleran terhadap stabilisasi ruang di perkotaan. Karena mereka hadir sebagai akibat dari tidak seimbangnya kapasitas-kapasitas elemen yang bertransaksi dalam kehidupan perkotaan, maka solusi yang digagaskan bertujuan untuk memperbaiki keseimbangan tersebut.

Paling tidak ada dua solusi yang bisa ditawarkan untuk menangani masalah PKL tadi. Pertama, adanya mekanisme pajak dan subsidi bagi PKL. Pajak dalam hal ini merupakan mekanisme yang digunakan untuk membatasi perilaku yang muncul agar tidak berkelanjutan. Pada sisi lain digunakan mekanisme subsidi untuk menstimulasi agar terjadi perubahan perilaku dari kelompok yang menjadi sasaran. Caranya dapat dengan memberikan ruang legal bagi mereka dengan mempertimbangkan aspek ekonomis yang akan mereka dapatkan. Dalam hal lapak-lapak misalnya, mereka diberikan subsidi modal dengan kategorisasi target dan mekanisme pengembalian yang jelas. Faktor penting yang mendukung hal tersebut adalah tidak diabaikannya budaya konsumsi warga yang tidak menginginkan adanya perubahan dalam biaya transaksi. Jadi kalau dipilih kebijakan relokasi maka lokasi yang baru tersebut tidak memberikan dampak perubahan itu.

Kedua, melalui kontrol kebijakan. Jika fenomena PKL itu diatasi melalui beberapa kebijakan maka kontrol terhadap daya implementasi kebijakan tersebut harus terjaga. Pada prinsipnya solusi ini menghendaki tidak adanya dualisme normatif atau pun diversi antara norma legal dengan praktiknya. Kontrol kebijakan ini dilakukan dengan mekanisme pengawasan yang kuat terhadap sistem implementasi untuk setiap kebijakan atau antar kebijakan-kebijakan sebagai sebuah rangkaian intervensi pemerintah yang komprehensif. Secara jangka panjang kontrol kebijakan ini dapat menjadi unsur pemicu perubahan budaya transaksi yang terjadi dalam ruang kota karena elemen-elemen perkotaan yang ada akan merasa lebih terjamin eksistensinya.

* artikel ini dimuat di SKH Lampung Post 8 Agustus 2006

No comments: