28 January 2007
Irasionalitas Kota
Sudah 20 an tahun aku hidup di Kota ini, kota yang disebut sebagai pintu gerbangnya pulau sumatera, kota yang disebut sebagai Tanah Lada, Gudangnya Gula, Sekolah Gajah & Negeri Sang Bumi Ruwa Jurai. Aku lahir dari sebuah kota di tepi pantai yang sangat sejuk, Teluk Betung, beberapa tempatnya masih memiliki simbol-simbol arsitektur kolonialis Belanda tempo dulu. Ruang jalan yang membentuk blok-blok dan lingkar luar disekitarnya hampir mengingatkanku dengan tata kota dibeberapa kota yang memang didesain oleh Belanda, Seperti Malang & Bandung. Bedanya adalah kalau dikota-kota tersebut desain itu masih menunjukkan eksistensinya dan menjadi trademark hingga kini bagi mereka maka kota ini kehilangannya.
Tempat ku menghirup udara pertama itu kini menjadi daerah industri yang nyaris mati. Puluhan bahkan ratusan toko sudah tutup, ruang-ruang publik yang lain juga tak bisa lagi dirasakan. Hanya di tempat ibadah dan sekolah saja mungkin orang-orang dengan latar belakang yang berbeda dapat berkenalan dan bercengkerama. Itupun dengan tingkat intensitas yang berbeda tentunya.
Meski demikian aku tidak begitu mengenal kota itu karena di kota yang lain aku tumbuh dari kecambah menjadi pepohonan muda, di pusat pemerintahan Kota Bandar Lampung: Tanjung Karang. Kota ini berkembang secara berlawanan dengan Teluk Betung, kalau Teluk Betung terlihat monoton dalam pembangunannya maka kota yang ini justru penuh dengan kejutan. Contohnya, Tanjung Karang Timur, tempatku tinggal. Dahulu kota ini bisa dibilang seperti desa yang besar, jalanan tidak terlalu padat dan bising. Untuk mengendarai kendaraan dengan kecepatan yang sedang masih sangat leluasa. Aktivitas juga terasa mengalir begitu perlahan namun pasti, aku bahkan pada saat itu pulang sekolah bersama teman-teman dengan berjalan kaki, masih sejuk saat itu. Kota ini di waktu malam jalanan sudah sepi sejak pukul 10, terkadang sepi itu karena lampu sedang mati (ini yang mungkin gak berubah dari dulu..). Di waktu pagi belum ada kepadatan di jalan-jalan yang memang tidak dirancang untuk kota yang dinamikanya penuh kejutan. Untuk menyeberang jalan pada saat itu tidak terlalu sulit. Jalan Antasari yang dahulu masih persawahan dan kalau sehabis panen menjadi tempat favorit anak-anak termasuk diriku untuk main bola, kini menjadi jejeran ruko yang rapi seperti pagar bagus yang menyambut hasrat konsumsi warganya.
Kotaku kini berkembang tidak rasional, orang-orang mulai menjajah bukit, langit dan dirinya sendiri. Demikan lucunya membangun perumahan di atas bukit yang struktur tanahnya adalah kapur hanya dengan asumsi view yang indah, pemandangan apa lagi yang bisa dilihat kalau tempat yg seharusnya menjadi view itu justru dibabat dan dikapling. Aku kadang rindu juga dengan view yang dahulu biasa ku lihat saat fajar datang di teras depan rumahku. Yang tidak rasional lagi adalah ketika kita bilang bahwa bangsa barat lebih egois dan individualis ketimbang kita, hah.., munafik sekali kita ini. Orientasi kita yang indvidualis sebenarnya nampak saat mau mengorbankan segalanya demi kebutuhan yang namanya privasi. Lucu kalau melihat transportasi publik justru gak laku & orang beramai-ramai ingin memiliki kendaraan pribadi bahkan menambah kuantitasnya. Padahal seperti di negara-negara eropa (Perancis, Jerman & Inggris) mereka lebih memilih fasilitas publik ketimbang pribadi. Fasilitas publik di sana lebih dihargai sebagai ruang interaksi, ruang sosialisasi, meski latar belakang sebenarnya pajak kendaraan di sana sangat tinggi. Kota ini juga jadi irasional ketika gengsi warganya yang semakin lama semakin menjajah diri sampai harus berhutang, mengorbankan harga diri & dikejar-kejar oleh kolektor menjadikan kita budak kota yang materialis. Aku termasuk di antara warga yg kini harus terbiasa kalau di malam hari ada orang-orang yang berteriak memanggil nama tetanggaku yang sudah tiga bulan belum membayar cicilan mobilnya, atau kolektor dari dealer motor yang menanyakan nama tetanggaku yang menunggak cicilan motornya dan akan ditarik oleh mereka. Aku semakin kehilangan akal saat tahu kalau orang itu berani mengambil motor dahulu dengan DP dari dana BLT.
Entahlah aku yang gila atau mereka. Ya.. mungkin kadang-kadang irasionalitas itu bisa jadi bumbu dari kekonyolannya realita hidup ini. Memang terkadang diri ini terusik kalau ada yang membandingkan dengan kota-kota besar yang lainnya. Hah.. buat apa pula kota dibandingkan dengan alasan yang subjektif. Aku yakin mereka melihat yang mereka miliki sebagai yang paling bagus, butuh kejujuran dan keberanian untuk bilang bahwa yang dimilikinya tidak sebagus apa yang dikira. Aku bukannya tidak tahu kota-kota lain di negara ini, beberapa kota pernah kujejaki, toh sama saja, semakin lama semakin irasional.
BDL/051006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment