Diterbitkannya PP No 37 Tahun 2006 sontak menimbulkan kontroversi pada masyarakat. Hadirnya kebijakan ini kontraposisi dengan kebijakan pedoman pengelolaan keuangan daerah lainnya. Secara sederhana apabila dicermati dari beberapa pasalnya maka dapat disimpulkan besaran pendapatan pimpinan dewan dan anggota dewan jadi berkali-kali lipat dari sebelumnya (lihat pasal 10 sampai 14 B PP No 37 Tahun 2006). Logikanya adalah tersedotnya dana daerah secara masif untuk membiayai kerja masing-masing anggota dewan yang sering diragukan produktifitasnya.
Hadirnya PP No 37 Tahun 2006 ini memang mengherankan jika dibandingkan dengan kebijakan sejenis seperti PP No 58 tahun 2005 dan Permendagri No 26 Tahun 2006 yang secara jelas mengamanatkan komitmen redistribusi pembangunan dalam berbagai aspek. Komitmen yang sepertinya berusaha merespon kondisi bangsa yang sedang dihantam berbagai kemunduran dan memerlukan ekstra energi untuk melakukan penataan ulang secara keseluruhan. Meski demikian ekstra energi yang dimaksudkan tidak semestinya menjadi justifikasi untuk melegalkan penyedotan dana daerah bagi kepentingan tertentu yang disisipkan sebagai hidden agenda para politisi parlemen dan eksekutif. Ya, kalau pemerintah tidak melakukan revisi terhadap PP ini maka tidak salah jika kita menuding ada tujuan tersembunyi dari implementasi kebijakan ini. Mungkin saja sebagai pundi-pundi untuk menghadapi 2009.
Anggaran dalam konteks pemerintahan memang identik dengan ruang politik yang diskretif. Namun ruang yang diskretif tersebut memiliki konsekuensi yang muncul sebagai kesepakatan dari interaksi antara aktor pemerintahan sebagai kesatuan dalam konstruksi sektor publik. Dimensi inilah yang sebenarnya mengalami perubahan demikian destruktif bagi tatanan sektor publik tersebut.
Praktik anggaran di daerah dalam rentang periode ini memunculkan beberapa fenomena bad practices yang diakibatkan dari interpretasi yang tidak tepat terhadap hubungan antara eksekutif dan legislatif. Interpretasi yang tidak tepat ini menciptakan bentuk-bentuk akomodasi dan fasilitasi yang disediakan oleh eksekutif kepada legislatif sebagai kompensasi politis atas kemitraan yang dijalankan dalam periode kepemimpinan kepala daerah. Fakta yang terjadi dalam interaksi eksekutif dan legislatif di daerah memang berbiaya tinggi karena karakter politik daerah yang lebih pragmatis dan oportunis.
Alasan yang hendak penulis ajukan dapat dicermati dari kontroversi yang terjadi setiap tahun anggaran. Dalam anggaran daerah setiap tahunnya selalu ditemukan kejanggalan yang tidak beralasan atau beralasan yang tidak layak pada pos-pos yang diperuntukan bagi Anggota DPRD. Memang pada pos-pos lain juga selalu ditemukan kejanggalan, termasuk di dalam proyek pembangunan. Namun yang menjadikan anggaran untuk anggota DPRD tidak layak adalah ketika dibandingkan dengan output dan outcome yang dihasilkan oleh masing-masing anggota DPRD. Harus diakui bahwa kinerja DPRD itu lebih bersifat abstrak dan kualitatif. Kinerja anggota DPRD tidak bisa hanya diukur dengan jumlah Perda, interpelasi atau voting yang dihasilkan namun juga kepada derajat kemampuan perda, interpelasi dan voting yang mereka lakukan terhadap perbaikan riil kehidupan masyarakat. Saat pengangguran meningkat 9,67% maka kinerja sebagai mitra strategis eksekutif juga mengalami kegagalan dalam mengawal implementasi kebijakan sektor tenaga kerja. Saat 785.041 rumah tangga miskin di Lampung terancam mengkonsumsi nasi aking maka kontribusi DPRD dalam kebijakan pangan patut dipertanyakan.
Situasi destruktif dalam politik anggaran daerah ini juga terjadi karena minimnya inovasi dan kreativitas anggaran yang disusun oleh eksekutif dan legislatif untuk menciptakan program-program yang memiliki efek jangka panjang secara radial. Jika eksekutif mampu menghasilkan program-program yang seperti itu dan mencapai keberhasilan maka dimungkinkan jika pada suatu ketika dilakukan efisiensi terhadap anggaran-anggaran akomodatif yang dirancang. Menciptakan anggaran yang seperti ini dan mampu memfasilitasi seluruh aspirasi kebutuhan daerah membutuhkan proses pembelajaran yang serius.
Dalam implementasinya kebijakan-kebijakan keuangan daerah yang ada tersebut sebenarnya selalu mensyaratkan kapasitas fiskal daerah untuk menentukan besaran anggaran yang layak. Artinya selalu ada ruang pilihan bagi aktor di daerah untuk melakukan perhitungan komposisi anggaran sehingga tidak menyedot dana daerah yang sesungguhnya bisa lebih memberi kontribusi strategis jika dialokasikan untuk pembangunan daerah. Hanya saja pilihan yang terbuka itu selalu di dominasi oleh kepentingan partikular pragmatis ketimbang kebutuhan kolektif strategis lingkup daerahnya. Belum dewasanya konsep dan pola politik di daerah tidak memberi ruang yang cukup relevan bagi publik non partisan untuk mengkontrol dan melakukan perubahan dalam alokasi anggaran daerah.
Berkembangnya tiran-tiran kecil yang menggerogoti kepemilikan publik di dalam proses pemerintahan ini adalah bukti yang diramalkan saat otonomi daerah diwacanakan. Bukan bermaksud menyalahkan otonomi daerah namun sepertinya dalam keleluasaan ini elite lebih mampu belajar untuk mencari celah atau terobosan untuk menjustifikasi tindakan yang oportunistik ketimbang belajar menangani masalah sosial ekonomi yang selalu muncul dan tidak pernah secara efektif tertangani. Alangkah ironis ketika masyarakat miskin berbagi nasi aking untuk bertahan hidup sementara perumus kebijakannya berbagi limpahan rejeki yang tidak menghasilkan kinerja berkualitas untuk menangani masalah tersebut.
No comments:
Post a Comment