28 January 2007

YANG SAKIT, YANG MISKIN

Rasanya bukan lagi sebuah kejutan ketika Tim Peneliti dari Erasmus University di Belanda mengungkapkan hasil risetnya bahwa sekitar 78 juta orang Asia berpotensi untuk hidup dalam kemiskinan diakibatkan oleh tingginya biaya perawatan medis. Dikatakan bahwa hampir 60 persen dari total biaya perawatan kesehatan di negara-negara tersebut tidak terjangkau. Riset yang dilakukan di negara-negara Asia itu juga mengungkapkan bahwa hampir 4 persen penduduk jatuh ke bawah garis penghasilan 1 dolar per hari setelah biaya yang tidak terjangkau diperhitungkan (Republika, 13 Oktober 2006).

Bagaimana dengan Indonesia?. Data dari BPS menunjukkan peningkatan jumlah penduduk miskin dari tahun 2005 dengan jumlah 35,10 juta dengan tahun 2006 yang berjumlah 39,05 juta, artinya terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 3,95 juta. Memang untuk menganalisis korelasi antara biaya medis dengan peningkatan jumlah penduduk miskin itu perlu tinjauan lebih lanjut. Namun, secara logis argumen bahwa tingkat perubahan jumlah penduduk miskin tersebut salah satunya diakibatkan juga oleh variabel biaya medis yang tinggi. Kesehatan saat ini sudah menjadi kebutuhan dasar (basic needs) bagi seluruh lapisan sosial, karenanya BPS juga memasukkan kesehatan sebagai salah satu variabel dari komoditi bukan makanan sebagai bagian dari perhitungan garis kemiskinan. Artinya, jumlah penduduk miskin yang meningkat tersebut juga dapat diakibatkan oleh tingginya biaya medis.

Fakta yang sering terekspose oleh kita memang menunjukkan betapa ironisnya penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Negara ini. Sering kita mendengar penduduk miskin yang ditolak oleh rumah sakit atau warga yang akhirnya harus menjual barang-barangnya bahkan berhutang sangat besar demi membiayai biaya medis selama perawatan mereka di institusi kesehatan. Demikian komersilnya penyelenggaraan kesehatan sehingga yang semakin bertumbuh adalah institusi-institusi kesehatan yang menjadikan kelompok masyarakat menengah ke atas sebagai target pasar mereka. Begitu banyak rumah sakit baru dengan kelas VIP dan VVIP dibangun, sementara kelompok masyarakat miskin yang tidak mampu untuk menerima layanan tersebut harus menerima konsekuensi minimnya kualitas pelayanan atas biaya standar yang mereka terima di institusi kesehatan yang seadanya. Entah sejak kapan kesehatan di negara ini menjadi sebuah komoditas yang mahal.

Padahal Pasal 34 UUD 1945 yang merupakan konstitusi tertinggi di Negara ini mengamanatkan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan layanan kesehatan. Tanggung jawab negara di dalam konstitusi itu memberikan konsekuensi bagi pemerintah untuk menjamin tersedianya layanan kesehatan yang mampu dijangkau oleh setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Tanggung jawab layanan kesehatan itu bukan hanya menyangkut kuantitas produk kesehatan namun juga mencakup kualitas layanan yang menjadi faktor penyumbang terbesar terjadinya pengecualian-pengecualian dalam menikmati layanan kesehatan bagi kelompok masyarakat tertentu. Tanggung jawab negara dalam konstitusi itu menunjukkan bahwa kesehatan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia tidak pantas dianggap sebagai komoditas komersial.

Pemerintah selaku pihak yang paling dituntut tanggung jawabnya memang sudah mengambil beberapa kebijakan yang berusaha menekan tingginya biaya kesehatan, terakhir adalah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan No. 720/ Menkes/ SK/IX/2006 yang mengumumkan penurunan harga obat generik terhitung mulai 1 Oktober 2006. Melalui kebijakan ini maka sebanyak 157 item obat generik mengalami penurunan harga antara 0.01% s.d. 70,82%, umumnya 20-30 % dibanding harga lama yang tercantum dalam Kepmenkes No. 336/Menkes/SK/V/2006 tanggal 15 Mei 2006 (depkes.go.id). Dengan adanya kebijakan ini maka kontribusi harga obat di dalam total biaya medis yang sebesar 50-60% diharapkan oleh pemerintah dapat menekan biaya medis bagi masyarakat luas. Yang patut menjadi catatan dalam hal obat sebagai komponen biaya kesehatan adalah jaminan persediaan dan distribusi obat.

Dalam hal jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin juga telah difasilitasi pemerintah melalui subsidi program, seperti melalui Program Jaring Pengaman Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) yang merupakan bagian dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) dengan cakupan kegiatan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin antara lain: (1) Kegiatan pelayanan di Puskesmas, (2). Kegiatan pelayanan Rumah Sakit kelas III, (3). Pelayanan Penunjang. Sementara dalam hal subsidi program seperti JPKMM yang menjadi catatan adalah efektivitas cakupan kelompok sasaran. Dalam hal ini persoalan data seharusnya di perbaharui secara periodik mengingat kelompok sasarannya selalu mengalami fluktuasi ditambah juga pendataan terhadap mereka yang belum terdata sebelumnya.

Selain itu, yang perlu dilakukan oleh Pemerintah adalah penataan dan pengawasan terhadap institusi kesehatan. Institusi kesehatan seperti Rumah Sakit yang menjadi ujung tombak tersedianya jaminan pelayanan kesehatan justru sering menjadi tombak masalah dengan kebijakannya masing-masing yang tidak responsif. Dalam hal biaya-biaya pelayanan yang dikenakan kepada beragam kelompok masyarakat, perlu dilakukan tinjauan. Pengawasan terhadap institusi yang menginterpretasikan dan melaksanakan fungsi pelayanan sosial ini menjadi tanggung jawab pemerintah yang belum dilaksanakan secara optimal.

Dalam tataran makro, perlu adanya penyerapan paradigma yang memandang masalah kesehatan bukan sebagai komoditas. Masalah kesehatan juga berarti potensi yang hilang (lost potential) bagi negara karena mempengaruhi produktivitas bangsa dalam berkinerja. Secara terpisah, kemiskinan dan kesehatan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas bangsa, jadi ketika keduanya menjadi faktor yang berkontribusi secara korelatif maka potensi yang hilang jadi berganda. Implikasinya adalah kalau penduduk miskin bertambah karena biaya medis yang tinggi maka opportunity cost bangsa yang bisa diperoleh dari kondisi yang sebaliknya jadi sangat berkurang. Karenanya peran pemerintah selalu diperlukan untuk mengintervensi dan menyediakan kebijakan-kebijakan yang mengarahkan kesehatan sebagai modal bagi pencapaian prestasi bangsa.


Dimuat Di Lampung Post, Selasa, 17 Oktober 2006

No comments: