28 January 2007

ILUSI DALAM KEPEMIMPINAN

Seperti permainan sepakbola, konflik kepemimpinan antar elit terus berpindah dari kaki ke kaki. Arah bola semakin tidak menentu dan segala kemungkinan selalu terbuka. Pihak-pihak yang terlibat menyusun strategi dan taktik agar dapat menciptakan peluang dan unggul terlebih dahulu. Bahkan terkadang mereka harus siap menghadapi hal-hal yang tidak terduga. Sebagai sebuah permainan masal, tentu saja suasana di lapangan selalu ramai. Penuh sorak dan gemuruh dukungan, bahkan terkadang menghina pihak lawan. Tapi yang mengherankan dalam permainan kali ini, kenapa penonton tidak ikut-ikutan dalam keramaian?. Kenapa tidak ada gemuruh dukungan pada level warga masyarakat?. Kenapa mayoritas penduduk lebih memilih untuk sibuk dengan rutinitas masing-masing?.

Kondisi itu seolah menyimpulkan bahwa ketika para elit pemimpin berkonflik maka belum tentu warga lokal ikut-ikutan di dalam konflik tersebut. Hipotesis yang mengatakan bahwa pemimpin merupakan refleksi dari kondisi mayoritas organisasinya, sehingga jika pemimpin kacau maka organisasi dan juga anggotanya kacau terbantahkan dalam kasus ini. Di saat pemimpinnya merasakan kondisi yang tidak nyaman karena harus selalu siaga terhadap situasi yang berkembang dan dikembangkannya justru warga mayoritas tetap saja berada di mal-mal bercengkrama penuh canda dengan orang tercinta dan para pengguna jalan raya tetap bisa bertoleransi satu sama lain di tengah kemacetan kota yang semakin parah. Mereka dan mungkin juga kita tidak ikut-ikutan di dalam konflik itu. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya terjadi di balik kondisi ini?.

Kalau kita melihat esensi kepemimpinan sebagai pelaksanaan fungsi pengaruh dari pemimpin kepada yang dipimpin maka pengaruh yang terjadi antara elit pemerintahan dengan warga masyarakat patut dipertanyakan. Benarkah sudah terjadi proses kepemimpinan?. Atau yang sebenarnya terjadi adalah kepemimpinan para elit itu pada saat ini sedang mengalami ilusi. Meskipun secara formal pemimpin itu ada namun secara substantif mereka tidak memimpin.

Ilusi kepemimpinan terjadi karena fungsi pengaruh dalam dialektik memimpin tidak berkorelasi dengan gerak aktivitas warga. Pemimpin asyik dengan dirinya sendiri demikian juga masyarakat yang dipimpin asyik dengan dirinya sendiri. Masing-masing sibuk dengan kepentingannya dan membiarkan peluang yang mungkin berkembang dari hubungan yang nyata di antara keduanya teracuhkan. Dalam ilusi itu proses kepemimpinan tidak terjadi dengan pola yang biimplikatif. Kondisi dimana ketika pemimpin bersikap maka akan segera diikuti oleh pihak yang dipimpin, begitu juga sebaliknya ketika warga masyarakat bersikap maka akan diikuti oleh pemimpin. Kepemimpinan justru hanya menjadi titik-titik yang terpisah dan selanjutnya titik-titik itu tidak membentuk jaring-jaring yang kokoh sehingga tidak mampu menjadi medium yang baik di dalam menjalankan proses kepemimpinan.
Merujuk pandangan Freud dan Senett, kondisi yang dapat terjadi dari ilusi kepemimpinan ini adalah terperangkapnya kita pada keadaan mentalitas yang narsis. Mentalitas narsis ditambah dengan egoisme menghasilkan dua tipe kepribadian dalam kehidupan sosial. Pada satu sisi, terdapat para profesional yang aktif dalam kehidupan publik, yaitu para pembuat kebijakan, para ahli dan manajer publik yang mendominasi kehidupan publik dan mampu melakukan manipulasi secara langsung kepada masyarakat.

Pada sisi yang lain terdapat masa yang pasif. Mereka disebut sebagai para penggembira karena tidak mengambil bagian di dalam kehidupan publik, menunjukkan perilaku pasif dan memandang bahwa tidak ada yang berarti diluar kegiatan rutin dan keluarga mereka sendiri. Mereka ini bahkan sangat benci dengan politik, namun mereka tidak pernah menghakimi para profesional, mengkritik dan mengklaim suatu hal kepada mereka. Apabila keadaan ini terjadi pada sebuah kesatuan komunitas maka telah terjadi patologi dalam sosio-psychical dan moral pada komunitas tersebut.

Padahal kehidupan publik itu dirancang dengan dinamika dan interaksi yang tinggi sehingga kepemimpinan dalam sektor publik adalah proses yang saling tanggap, biimplikatif dan simbiosis antara profesional dan warga. Pemimpin dalam sektor publik belum menjadi pemimpin ketika mereka tidak mampu merentangkan jejaring pengaruh kepada warga masyarakat. Mereka sekedar menjadi komandan atau bos bagi para anggota dalam rentang hirarki komandonya namun tidak bisa menggerakkan motivasi warga masyarakat secara natural untuk mencapai suatu visi. Pada sisi yang lain warga masyarakat yang tidak merasa menjadi bagian dari proses kepemimpinan itu mencari bentuk aktualisasi yang lain dalam kehidupan publik.

Ilusi kepemimpinan terjadi karena orientasi kepemimpinan yang tidak jelas, tidak diarahkan pada misi yang berkesinambungan. Orientasi pemimpin sektor publik, termasuk juga pada tingkat lokal yang lebih dominan adalah untuk mempertahankan dan melanjutkan periode kepemimpinan dan masyarakat adalah sumber daya yang harus dipengaruhi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Mereka tidak dianggap secara kualitatif sebagai potensi daya yang dapat mendorong seorang pemimpin untuk menjalankan proses kepemimpinan secara energik dan nyaman melalui misi yang dimilikinya. Karenanya hubungan yang terbentuk di antara keduanya hanya bersifat sementara.

Ilusi kepemimpinan ini dapat kita atasi dengan menata kembali orientasi kepemimpinan itu. Bahwa kepemimpinan yang baik itu dipimpin oleh misi bukan oleh individu pemimpin. Pete Smith bahkan mengemukakan bahwa misi itu lebih penting dari pada pemimpin itu sendiri. Misi yang kuat dan terukur sehingga dapat dirasakan oleh orang lain merefleksikan kualitas pemimpin yang sebenarnya. Misi dapat menjadi perajut hubungan antara warga dengan pemimpinnya karena misi itu diadopsi dari kondisi nyata warga sebagai suatu sistematika usaha reaktif dari kondisi warga masyarakat.

Masalahnya adalah seringkali misi yang dimiliki seorang pemimpin itu tidak memiliki integritas yang baik. Misi lebih sering dijadikan prasyarat untuk menjalankan dan mempertahankan kekuasaan, makanya meski pada saat ini banyak pemimpin yang bisa merumuskan misi dengan metode dan teknologi yang canggih tapi misi itu seringkali dilupakan dan diingkarinya sendiri. Akhirnya kita yang jadi benar-benar mabok.

No comments: