Meski DPR RI sudah membatalkan proyek pengadaan Laptop namun ternyata tidak serta merta diikuti oleh beberapa parlemen daerah di negeri ini. Beberapa daerah bahkan lebih kuat pendiriannya untuk tetap memiliki instrumen teknologi tersebut dengan argumentasi peningkatan kinerja. Bener-bener ndeso, katro... laptop kok jadi ukuran peningkatan kinerja. Padahal sudah sejak bertahun-tahun lalu ada komputer PC yang fungsinya sama dengan laptop. Yang membedakan laptop dengan PC itu kan hanya dua, pertama kepraktisan yang dimiliki laptop sehingga bisa membantu mobilitas kerja. Kedua, prestisenya yang dianggap lebih tinggi ketimbang PC, laptop di Indonesia masih dianggap barang yang tidak semua orang memilikinya, hanya eksekutif yang mapan dianggap pantas memilikinya.
Kalau alasan pertama yang mendorong anggota dewan untuk memilikinya maka kita mesti bersyukur memiliki anggota dewan yang lebih aktif, aspiratif dan responsif terhadap kondisi masyarakat sebagai konstituennya. Tapi fakta evaluatif yang ada justru bertolak belakang dengan harapan itu, meski rejim berganti namun perilaku anggota dewan tidak banyak berubah, anggota dewan masih mewarisi semangat elitis dan oportunis yang menjadi karakter anggota dewan pada rejim sebelumnya. Lihat saja persekongkolan mereka yang biasanya aktif kalau menyuarakan kepentingan masing-masing partai yang saling bertolak belakang dalam pemerintahan tapi mendadak diam dan seolah membiarkan saat hendak digelontorkan dana tunjangan yang besarnya selangit (masih ingat polemik PP 37/2006).
Kalau argumen kedua yang menjadi pendorong mereka untuk memiliki laptop maka hal tersebut semakin menegaskan bahwa parlemen di Indonesia tetap menjadi kepompong bagi pembentukan elit-elit baru yang cenderung menjadi oportunistik. Latar belakang kondisi aktual merupakan faktor yang menjadikan kepentingan mereka untuk memiliki laptop menjadi tidak beralasan. Kalau memang peningkatan kinerja yang dikehendaki utnuk lebih baik maka yang semestinya di perbaiki adalah kemampuan mereka untuk menyerap aspirasi, mengolah aspirasi sehingga dapat menjadi agenda parlemen dan melakukan penyelesaian masalah-masalah melalui perumusan kebijakan-kebijakan yang konsisten. Beberapa keputusan mahkamah konstitusi (MK) yang melihat ketidaksinkronan antar substansi perundang-undangan di negeri ini menjadi dasar untuk mempertanyakan kapasitas anggota dewan dalam perumusan kebijakan. Sepertinya untuk melakukan hal itu tidak tergantung kepada adanya laptop atau tidak namun kepada kemampuan mereka untuk berpikir lebih dalam dan luas, nah inilah yang nyata-nyata tidak akan mampu dilakukan oleh laptop, lah wong laptop aja nurut waktu dipake untuk membodohi tukul kok, jadi mending yang ditingkatkan itu kemampuan pikir plus moral anggota dewan untuk bersikap yang elegan. Kalau anggota dewannya bagus mah ntar kita masyarakat bisa aja sumbangan untuk membelikan kalian laptop, tapi yang murah aja ya, soalnya kan cuma untuk gengsi aja toh, iya toh, hahaha.... bercanda loh pak, jangan marah ya, maklum agak ndeso nih.
Kalau alasan pertama yang mendorong anggota dewan untuk memilikinya maka kita mesti bersyukur memiliki anggota dewan yang lebih aktif, aspiratif dan responsif terhadap kondisi masyarakat sebagai konstituennya. Tapi fakta evaluatif yang ada justru bertolak belakang dengan harapan itu, meski rejim berganti namun perilaku anggota dewan tidak banyak berubah, anggota dewan masih mewarisi semangat elitis dan oportunis yang menjadi karakter anggota dewan pada rejim sebelumnya. Lihat saja persekongkolan mereka yang biasanya aktif kalau menyuarakan kepentingan masing-masing partai yang saling bertolak belakang dalam pemerintahan tapi mendadak diam dan seolah membiarkan saat hendak digelontorkan dana tunjangan yang besarnya selangit (masih ingat polemik PP 37/2006).
Kalau argumen kedua yang menjadi pendorong mereka untuk memiliki laptop maka hal tersebut semakin menegaskan bahwa parlemen di Indonesia tetap menjadi kepompong bagi pembentukan elit-elit baru yang cenderung menjadi oportunistik. Latar belakang kondisi aktual merupakan faktor yang menjadikan kepentingan mereka untuk memiliki laptop menjadi tidak beralasan. Kalau memang peningkatan kinerja yang dikehendaki utnuk lebih baik maka yang semestinya di perbaiki adalah kemampuan mereka untuk menyerap aspirasi, mengolah aspirasi sehingga dapat menjadi agenda parlemen dan melakukan penyelesaian masalah-masalah melalui perumusan kebijakan-kebijakan yang konsisten. Beberapa keputusan mahkamah konstitusi (MK) yang melihat ketidaksinkronan antar substansi perundang-undangan di negeri ini menjadi dasar untuk mempertanyakan kapasitas anggota dewan dalam perumusan kebijakan. Sepertinya untuk melakukan hal itu tidak tergantung kepada adanya laptop atau tidak namun kepada kemampuan mereka untuk berpikir lebih dalam dan luas, nah inilah yang nyata-nyata tidak akan mampu dilakukan oleh laptop, lah wong laptop aja nurut waktu dipake untuk membodohi tukul kok, jadi mending yang ditingkatkan itu kemampuan pikir plus moral anggota dewan untuk bersikap yang elegan. Kalau anggota dewannya bagus mah ntar kita masyarakat bisa aja sumbangan untuk membelikan kalian laptop, tapi yang murah aja ya, soalnya kan cuma untuk gengsi aja toh, iya toh, hahaha.... bercanda loh pak, jangan marah ya, maklum agak ndeso nih.
No comments:
Post a Comment