Dalam konstruksi good public governance saat ini masih terjadi ketidakseimbangan di antara komponen pembentuk interaksi negara. Konstruksi publik dengan elemen pemerintah, swasta dan masyarakat dalam sektor pelayanan publik seolah masih di hegemoni oleh kepentingan elitis dan mendelusi kepentingan riil publik melalui eufinisme dan rasionalisasi argumen dalam komunikasi kebijakannya.
Kenaikan tarif pelayanan publik dalam bentuk barang & jasa publik misalnya selalu di argumentasi oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan, mengatasi kelangkaan investasi atau untuk meningkatkan daya saing produk yg notabene adalah public goods. Padahal secara faktual, dalam beberapa lingkup barang & jasa publik itu, kenaikan tarif tidak begitu dominan mempengaruhi kualitas pelayanan atau meningkatkan daya saing produk yg sudah terlisensi secara monopolistik.
Masyarakat selalu menjadi pihak yg mau tidak mau harus rela menerima kebijakan itu. Bukan hanya dikarenakan tidak punya pilihan lain namun sudah terakumulasinya pesimisme publik terhadap responsivitas provider dan operator layanan sektor publik atas masalah yang terjadi sudah terstigmatisasi dalam periode yang lama. Hubungan interaksionis yang mestinya muncul dalam konteks itu tidak berlangsung secara mutualism. Pada suatu ketika masyarakat dihadapkan pada fakta ketidakberdayaan untuk meminta bahkan memaksa pemerintah untuk memberikan peningkatan konsekuensi atas kerelaan mereka yg derajatnya seimbang.
Banyak contoh BUMN yg relevan menghadapi hal tersebut. PLN misalnya, institusi monopoli ini selalu mengkomunikasikan buruknya manajemen layanan mereka dengan memaksakan apologi dari publik, meminta pengertian dari masyarakat atas pemadaman yang sering terjadi & bersikap sebagai patron yang melihat pengguna jasa sebagai cliente yang lebih dahulu harus berkorban untuk efisiensi. Publik yang sebenarnya mengalami kerugian dari buruknya layanan itu tidak diakomodasi atas lost potential yang mereka terima. Begitu juga dengan pengelolaan layanan dalam bidang perhubungan. Departemen terkait & PT. KAI selaku pengelola jasa perhubungan darat kurang mampu menerapkan manajemen pelayanan yang antisipatif. Kecelakaan yg diakibatkan usia rel yang sudah sangat tua menjadi fakta yang sangat miris bagi sektor pelayanan transportasi publik di negeri ini..
Tidak hanya BUMN pusat sebagai operator layanan, pada tingkat daerah bahkan lebih parah. Jasa air minum nyaris tidak lagi ada di kota ini karena ketersediaan produk layanan yang tidak bisa dinikmati secara memuaskan oleh seluruh pengguna jasa. PDAM tidak lagi populer sebagai pelayan publik yang baik, kalah dengan jasa pembuatan sumur bor atau air kemasan. Bandingkan antara PDAM dan Perusahaan Air Kemasan yang sama-sama memproduksi air bersih namun yang satu terus merugi dan semakin menurun kapasitasnya dengan perusahaan yang semakin dipercaya dan mampu meningkatkan kapasitas pelayanannya secara bertanggung jawab. Gaya manajemen yang cenderung birokratis sebenarnya menjadi faktor utama yang mengakibatkan perusahaan daerah tidak mampu menjadi operator layanan yang efisien, responsif dan antisipatif. Padahal dalam dinamika publik modern, penguasaan atas ketiga prinsip itu menjadi prasyarat majunya perusahaan publik.
Kasus-kasus tersebut merupakan kenyataan yang kita alami sendiri. Mungkin juga kita tidak sadar jika sedang mengalah kepada keinginan elit yang terkadang tidak jujur kepada kita. Ada ruang manipulasi yang seringkali dirasionalkan oleh penguasa untuk menciptakan stabilitas dan merasionalkan kegagalan pemerintah dalam menciptakan framework layanan publik yang baik.
Catatan-catatan tersebut yang nampaknya belum diakomodasi di dalam RUU Pelayanan Publik yang sudah memasuki tahap pembahasan di Komisi I DPR. Jika kita cermati RUU tersebut nampak bahwa persoalan seperti yang dijabarkan diawal, belum memiliki akomodasi solusi yang cukup kuat. Pelaksanaan tanggung jawab pelayanan memang dapat dilakukan melalui mekanisme administratif seperti yang telah di akomodasi mekanisme pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik (Pasal 33, 34, 35 dan 39) bahkan lebih jauhnya diakomodasi juga penyelesaian sengketa pelayanan publik (Pasal 40) yang dapat dilakukan melalui PTUN.
Namun yang menjadi catatan adalah daya jangkau dan daya cakup mekanisme yang dikelola tersebut untuk memberikan kekuatan jaminan keadilan substantif bagi pengguna layanan. Mekanisme pengawasan yang sangat birokratis terasa masih kental, padahal dengan mekanisme yang seperti itu pengguna layanan dapat mengalami kelelahan yang kemudian memperkuat sikap permisif terhadap adanya penyelewengan yang terjadi. Selain itu mekanisme penyelesaian sengketa melalui PTUN juga sering dianggap kurang memiliki daya eksekusi yang kuat. Dalam posisi yang demikian, masyarakat yang mengalami kerugian berpotensi untuk tidak memperoleh hak yang sesuai dengan keputusan pengadilan tersebut, masyarakat masih mungkin untuk bertoleransi atas dasar argumentasi dari pemberi layanan.
Penulis melihat ada faktor ketidaksiapan institusi dan aparatur pelayanan publik apabila mekanisme tersebut diselenggarakan secara lebih kuat dan jelas. Persoalan kultur yang memang membutuhkan transisi lebih panjang untuk mewujudkan kapasitas tanggung jawab profesional dalam penyelenggaraan pelayanan publik disadari dapat menjadi faktor resistensi untuk menerapkan mekanisme yang lebih kuat. Namun penerapan sebuah terobosan legal formal yang memiliki daya solusi yang kuat bias memberikan implikasi kultural dalam konteks tersebut. Karenanya RUU ini setidaknya mengakomodasi proses pengawasan yang lebih ramah dan efektif, selain itu juga terobosan penyelesaian sengketa pelayanan publik melalui mekanisme umum untuk memberikan implikasi kultural juga diperlukan.
Kenaikan tarif pelayanan publik dalam bentuk barang & jasa publik misalnya selalu di argumentasi oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan, mengatasi kelangkaan investasi atau untuk meningkatkan daya saing produk yg notabene adalah public goods. Padahal secara faktual, dalam beberapa lingkup barang & jasa publik itu, kenaikan tarif tidak begitu dominan mempengaruhi kualitas pelayanan atau meningkatkan daya saing produk yg sudah terlisensi secara monopolistik.
Masyarakat selalu menjadi pihak yg mau tidak mau harus rela menerima kebijakan itu. Bukan hanya dikarenakan tidak punya pilihan lain namun sudah terakumulasinya pesimisme publik terhadap responsivitas provider dan operator layanan sektor publik atas masalah yang terjadi sudah terstigmatisasi dalam periode yang lama. Hubungan interaksionis yang mestinya muncul dalam konteks itu tidak berlangsung secara mutualism. Pada suatu ketika masyarakat dihadapkan pada fakta ketidakberdayaan untuk meminta bahkan memaksa pemerintah untuk memberikan peningkatan konsekuensi atas kerelaan mereka yg derajatnya seimbang.
Banyak contoh BUMN yg relevan menghadapi hal tersebut. PLN misalnya, institusi monopoli ini selalu mengkomunikasikan buruknya manajemen layanan mereka dengan memaksakan apologi dari publik, meminta pengertian dari masyarakat atas pemadaman yang sering terjadi & bersikap sebagai patron yang melihat pengguna jasa sebagai cliente yang lebih dahulu harus berkorban untuk efisiensi. Publik yang sebenarnya mengalami kerugian dari buruknya layanan itu tidak diakomodasi atas lost potential yang mereka terima. Begitu juga dengan pengelolaan layanan dalam bidang perhubungan. Departemen terkait & PT. KAI selaku pengelola jasa perhubungan darat kurang mampu menerapkan manajemen pelayanan yang antisipatif. Kecelakaan yg diakibatkan usia rel yang sudah sangat tua menjadi fakta yang sangat miris bagi sektor pelayanan transportasi publik di negeri ini..
Tidak hanya BUMN pusat sebagai operator layanan, pada tingkat daerah bahkan lebih parah. Jasa air minum nyaris tidak lagi ada di kota ini karena ketersediaan produk layanan yang tidak bisa dinikmati secara memuaskan oleh seluruh pengguna jasa. PDAM tidak lagi populer sebagai pelayan publik yang baik, kalah dengan jasa pembuatan sumur bor atau air kemasan. Bandingkan antara PDAM dan Perusahaan Air Kemasan yang sama-sama memproduksi air bersih namun yang satu terus merugi dan semakin menurun kapasitasnya dengan perusahaan yang semakin dipercaya dan mampu meningkatkan kapasitas pelayanannya secara bertanggung jawab. Gaya manajemen yang cenderung birokratis sebenarnya menjadi faktor utama yang mengakibatkan perusahaan daerah tidak mampu menjadi operator layanan yang efisien, responsif dan antisipatif. Padahal dalam dinamika publik modern, penguasaan atas ketiga prinsip itu menjadi prasyarat majunya perusahaan publik.
Kasus-kasus tersebut merupakan kenyataan yang kita alami sendiri. Mungkin juga kita tidak sadar jika sedang mengalah kepada keinginan elit yang terkadang tidak jujur kepada kita. Ada ruang manipulasi yang seringkali dirasionalkan oleh penguasa untuk menciptakan stabilitas dan merasionalkan kegagalan pemerintah dalam menciptakan framework layanan publik yang baik.
Catatan-catatan tersebut yang nampaknya belum diakomodasi di dalam RUU Pelayanan Publik yang sudah memasuki tahap pembahasan di Komisi I DPR. Jika kita cermati RUU tersebut nampak bahwa persoalan seperti yang dijabarkan diawal, belum memiliki akomodasi solusi yang cukup kuat. Pelaksanaan tanggung jawab pelayanan memang dapat dilakukan melalui mekanisme administratif seperti yang telah di akomodasi mekanisme pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik (Pasal 33, 34, 35 dan 39) bahkan lebih jauhnya diakomodasi juga penyelesaian sengketa pelayanan publik (Pasal 40) yang dapat dilakukan melalui PTUN.
Namun yang menjadi catatan adalah daya jangkau dan daya cakup mekanisme yang dikelola tersebut untuk memberikan kekuatan jaminan keadilan substantif bagi pengguna layanan. Mekanisme pengawasan yang sangat birokratis terasa masih kental, padahal dengan mekanisme yang seperti itu pengguna layanan dapat mengalami kelelahan yang kemudian memperkuat sikap permisif terhadap adanya penyelewengan yang terjadi. Selain itu mekanisme penyelesaian sengketa melalui PTUN juga sering dianggap kurang memiliki daya eksekusi yang kuat. Dalam posisi yang demikian, masyarakat yang mengalami kerugian berpotensi untuk tidak memperoleh hak yang sesuai dengan keputusan pengadilan tersebut, masyarakat masih mungkin untuk bertoleransi atas dasar argumentasi dari pemberi layanan.
Penulis melihat ada faktor ketidaksiapan institusi dan aparatur pelayanan publik apabila mekanisme tersebut diselenggarakan secara lebih kuat dan jelas. Persoalan kultur yang memang membutuhkan transisi lebih panjang untuk mewujudkan kapasitas tanggung jawab profesional dalam penyelenggaraan pelayanan publik disadari dapat menjadi faktor resistensi untuk menerapkan mekanisme yang lebih kuat. Namun penerapan sebuah terobosan legal formal yang memiliki daya solusi yang kuat bias memberikan implikasi kultural dalam konteks tersebut. Karenanya RUU ini setidaknya mengakomodasi proses pengawasan yang lebih ramah dan efektif, selain itu juga terobosan penyelesaian sengketa pelayanan publik melalui mekanisme umum untuk memberikan implikasi kultural juga diperlukan.
No comments:
Post a Comment