Seorang bocah meninggal sehabis operasi pemasangan pin untuk patah tulang di sebuah rumah sakit di Ambon, diduga bocah tersebut meninggal karena mal praktek.
Berita seperti ini terasa memilukan karena sering kali terjadi di negeri ini. Posisi pasien masih dianggap sebagai penderita yang wajib mengikuti seluruh instruksi dokter dan aparatur kesehatan yang terkadang tidak melihat pasien sebagai konsumen. Apa bedanya pasien dan konsumen?. Bila melihat konteks pelayanan kesehatan di Indonesia maka saya dapat melihat bahwa, posisi pasien merupakan bentuk dari interpretasi ”patient” (sabar), pasien merupakan pengguna jasa yang harus menerima secara pasif seluruh tindakan pemberi layanan dan untuk efektivitas proses tersebut maka ruang dialog yang terjadi hanya pada aspek penyebab (apa yang diderita?, kenapa itu terjadi?) sementara aspek pilihan dan akibat (apa saja jalan keluarnya?, bagaimana jika solusi 1, 2 dan 3 dipilih?) dari proses pelayanan kesehatan tersebut seringkali diabaikan, terutama jika yang dihadapinya adalah kelompok masyarakat miskin yang secara mudah bisa diidentifikasi (dengan askeskin misalnya). Yang kemudian terjadi adalah diskriminasi, dimulai dari kultur pelayanan (sikap dan perilaku), pilihan atas tindakan jasa kesehatan dan kompensasi atas biaya jasa kesehatan tersebut.
Hal ini akan berbeda jika pengguna layanan tersebut dilihat sebagai konsumen. Dalam konsep ilmu ekonomi, konsumen merupakan aktor pembentuk interaksi ekonomi. Tanpa adanya konsumen maka tidak terjadi produksi dan tidak terbentuk juga pasar diantaranya. Konsep konsumen memiliki implikasi adanya proses asosiasi dan transaksi sebelum terjadinya proses konsumsi. Mekanisme harga pun terbentuk melalui kesepakatan di dalam proses transaksi tersebut. Memang untuk menjamin terjadinya proses yang sehat ini mensyaratkan adanya trust, informasi yang sempurna dan mekanisme pasar yang adil.
Jika pengguna layanan kesehatan di Indonesia lebih dilihat sebagai konsumen maka kultur pelayanan (sikap dan perilaku) yang dibentuk akan lebih beradab, proses yang terbuka terhadap dialog mengenai tindakan-tindakan jasa pelayanan yang bisa dipilih beserta akibat yang dapat ditimbulkan olehnya dan juga diskusi terhadap pengenaan kompensasi atas jasa layanan yang mereka terima. Kenapa orang-orang lebih melihat rumah sakit di Singapure sebagai tempat pengobatan, karena mereka lebih mampu untuk melihat pengguna jasanya sebagai konsumen ketimbang sekedar pasien. Kenapa banyak bocah miskin yang mati mengenaskan karena dioper dari rumah sakit ke rumah sakit lain, karena mereka dilihat sebagai pasien yang tidak berduit.
Ironis memang ketika institusi yang menyandang predikat kemanusiaan justru menjadi tidak manusiawi. Memang, di negeri ini sudah ada Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Kesehatan yang menjadi garda dan pedoman dalam pelayanan kesehatan. Namun kebijakan tersebut nampaknya belum mampu mendudukkan pengguna layanannya sebagai konsumen yang diperlakukan secara adil. Toh dalam faktanya praktik diskriminatif dan malpraktek masih terjadi dan sulit sekali untuk dimintakan pertanggung jawaban. Nah inilah yang harus menjadi agenda pemerintah; pembuatan kebijakan kesehatan yang secara nyata menjamin terpenuhinya hak pengguna jasa sebagai konsumen yang adil tanpa diskriminasi. Kenapa perlu? Karena kesehatan adalah modal bagi pembangunan sumber daya manusia yang berdampak kepada pembangunan sektor lainnya. Kalau bangsa sendiri saja sudah dipecundangi oleh bangsanya sendiri maka yang tertawa adalah bangsa asing melihat ketololan kita.
Penulis juga tetap yakin akan adanya pioner-pioner institusi kesehatan yang muncul sebagai panutan dalam aspek ini. Rumah Sakit panutan yang memberikan pelayanan secara adil dan memberikan kesan pada masyarakatnya sehingga kemudian akan dikenal secara luas dan memperoleh penghargaan berupa promosi sebagai rumah sakit terbaik di Indonesia, bahkan dunia. Semoga.
Berita seperti ini terasa memilukan karena sering kali terjadi di negeri ini. Posisi pasien masih dianggap sebagai penderita yang wajib mengikuti seluruh instruksi dokter dan aparatur kesehatan yang terkadang tidak melihat pasien sebagai konsumen. Apa bedanya pasien dan konsumen?. Bila melihat konteks pelayanan kesehatan di Indonesia maka saya dapat melihat bahwa, posisi pasien merupakan bentuk dari interpretasi ”patient” (sabar), pasien merupakan pengguna jasa yang harus menerima secara pasif seluruh tindakan pemberi layanan dan untuk efektivitas proses tersebut maka ruang dialog yang terjadi hanya pada aspek penyebab (apa yang diderita?, kenapa itu terjadi?) sementara aspek pilihan dan akibat (apa saja jalan keluarnya?, bagaimana jika solusi 1, 2 dan 3 dipilih?) dari proses pelayanan kesehatan tersebut seringkali diabaikan, terutama jika yang dihadapinya adalah kelompok masyarakat miskin yang secara mudah bisa diidentifikasi (dengan askeskin misalnya). Yang kemudian terjadi adalah diskriminasi, dimulai dari kultur pelayanan (sikap dan perilaku), pilihan atas tindakan jasa kesehatan dan kompensasi atas biaya jasa kesehatan tersebut.
Hal ini akan berbeda jika pengguna layanan tersebut dilihat sebagai konsumen. Dalam konsep ilmu ekonomi, konsumen merupakan aktor pembentuk interaksi ekonomi. Tanpa adanya konsumen maka tidak terjadi produksi dan tidak terbentuk juga pasar diantaranya. Konsep konsumen memiliki implikasi adanya proses asosiasi dan transaksi sebelum terjadinya proses konsumsi. Mekanisme harga pun terbentuk melalui kesepakatan di dalam proses transaksi tersebut. Memang untuk menjamin terjadinya proses yang sehat ini mensyaratkan adanya trust, informasi yang sempurna dan mekanisme pasar yang adil.
Jika pengguna layanan kesehatan di Indonesia lebih dilihat sebagai konsumen maka kultur pelayanan (sikap dan perilaku) yang dibentuk akan lebih beradab, proses yang terbuka terhadap dialog mengenai tindakan-tindakan jasa pelayanan yang bisa dipilih beserta akibat yang dapat ditimbulkan olehnya dan juga diskusi terhadap pengenaan kompensasi atas jasa layanan yang mereka terima. Kenapa orang-orang lebih melihat rumah sakit di Singapure sebagai tempat pengobatan, karena mereka lebih mampu untuk melihat pengguna jasanya sebagai konsumen ketimbang sekedar pasien. Kenapa banyak bocah miskin yang mati mengenaskan karena dioper dari rumah sakit ke rumah sakit lain, karena mereka dilihat sebagai pasien yang tidak berduit.
Ironis memang ketika institusi yang menyandang predikat kemanusiaan justru menjadi tidak manusiawi. Memang, di negeri ini sudah ada Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Kesehatan yang menjadi garda dan pedoman dalam pelayanan kesehatan. Namun kebijakan tersebut nampaknya belum mampu mendudukkan pengguna layanannya sebagai konsumen yang diperlakukan secara adil. Toh dalam faktanya praktik diskriminatif dan malpraktek masih terjadi dan sulit sekali untuk dimintakan pertanggung jawaban. Nah inilah yang harus menjadi agenda pemerintah; pembuatan kebijakan kesehatan yang secara nyata menjamin terpenuhinya hak pengguna jasa sebagai konsumen yang adil tanpa diskriminasi. Kenapa perlu? Karena kesehatan adalah modal bagi pembangunan sumber daya manusia yang berdampak kepada pembangunan sektor lainnya. Kalau bangsa sendiri saja sudah dipecundangi oleh bangsanya sendiri maka yang tertawa adalah bangsa asing melihat ketololan kita.
Penulis juga tetap yakin akan adanya pioner-pioner institusi kesehatan yang muncul sebagai panutan dalam aspek ini. Rumah Sakit panutan yang memberikan pelayanan secara adil dan memberikan kesan pada masyarakatnya sehingga kemudian akan dikenal secara luas dan memperoleh penghargaan berupa promosi sebagai rumah sakit terbaik di Indonesia, bahkan dunia. Semoga.
BDL, 1 April 2007
Foto From: http://www.ipai.info/_borders/pic01.jpg
No comments:
Post a Comment