Artikel ini dimuat di SKH Lampung Post Tgl 14 Mei 2007
Indonesia termasuk negara yang sangat ekspansif dalam pembentukan daerah-daerah baru. Dalam rentang waktu dari tahun 1999 hingga tahun 2006 sudah terbentuk 165 daerah otonom baru, yang terdiri dari 7 (tujuh) provinsi, 129 (seratus dua puluh sembilan) Kabupaten dan 29 (dua puluh sembilan) kota, sehingga pada tahun 2006 jumlah keseluruhan Daerah Otonom adalah 484 yang terdiri dari 33 provinsi dan 451 kabupaten/kota (Bappenas, 2007). Padahal menurut Wakil Ketua Komisi DPR RI Priyo Budi Santoso bahwa sebanyak 76 persen daerah baru hasil pemekaran kabupaten/kota tersebut mengalami kemunduran (declining) dibanding sebelum pemekaran (Waspada Online: 4 Mei 2007). Analisis yang dikemukakan oleh Priyo tersebut berdasarkan kepada indikator kemiskinan yang menyimpulkan bahwa sejak tahun 2005 jumlah penduduk miskin meningkat di seluruh Indonesia dari 16,7 persen (36 juta) menjadi 17,7 persen (39 juta).
Memang fakta ini masih bisa diperdebatkan, namun analisis ini sekaligus memunculkan kembali ingatan kita terhadap kontroversi yang muncul di dalam proses pemekaran daerah yang menjadi salah satu tema populer dalam pelaksanaan desentralisasi.
Semangat desentralisasi ditafsirkan sebagai bentuk upper down pusat pengelolaan pemerintahan daerah, jika bisa diturunkan maka turunkanlah pusat pemerintahan itu. Asas ini yang kemudian menjadi salah satu prinsip dalam implementasi otonomi daerah. Namun, implementasi tafsir terhadap prinsip itu cenderung menjadi mendua (ambivalen). Pada satu sisi berkembang semangat upper down melalui pendekatan inovasi institusi yang mengintensifikasi dan mendiversifikasi cara-cara pengelolaan pemerintahan, termasuk adalah dalam proses pelayanan untuk masyarakat. Pada sisi yang lain, berkembang tafsir terhadap prinsip upper down itu dalam bentuk ekstensifikasi pusat-pusat pemerintahan daerah yang baru. Asumsinya bahwa untuk mendekatkan diri dengan masyarakat maka pusat pemerintahan itu juga harus dekat. Asumsi ini lebih fatal lagi ketika menafsirkan makna kedekatan tersebut hanya secara geografis. Sehingga penyimpulan tindakannya adalah membentuk daerah baru.
Padahal prinsip ini dalam konsep administrasi publik sesungguhnya lebih mengedepankan kepada aspek dinamika interaksi antara pemerintah dengan masyarakat yang sebenarnya dapat berinovasi melalui berbagai media perantara, meski berjarak secara geografis namun belum tentu jauh untuk menikmati jasa-jasa publik. Yang diperlukan sebanarnya adalah reformasi terhadap tatanan birokrasi menjadi lebih antisipatif dan profesional melalui penerapan berbagai teknologi kerja yang mampu memberikan keterjangkauan layanan publik secara lebih efektif.
Selama ini di dalam proses pemekaran daerah pada beberapa wilayah muncul beberapa mitos yang menjadi dasar justifikasi bagi pembentukan daerahbaru tersebut. Mitos yang salah tentang pemekaran daerah, diantaranya; Pertama, bahwa pemekaran tersebut akan memperpendek rentang kendali dan rantai birokrasi pelayanan. Mari kita lihat makna rentang kendali dan rantai birokrasi itu sebagai dua hal yang berbeda, pertama, rentang kendali dan rantai birokrasi sebagai lingkup struktur pada geografis tertentu, kedua, rentang kendali dan rantai birokrasi sebagai lingkup struktur organisasi yang membentuk sebuah jejaring sistemik. Jika makna pertama yang dimaksudkan maka benar jika pemekaran daerah akan lebih memperkecil lingkup geografis pelayanan publik. Namun jika makna kedua yang dimaksudkan maka pemekaran daerah justru akan menciptakan rentang kendali dan rantai birokrasi yang baru. Tidak akan ada yang berubah secara signifikan dari pemekaran daerah tersebut, karena rentang kendali dan rantai birokrasi yang sama juga akan terbentuk pada daerah yang baru. Kecuali jika rentang kendali dan rantai birokrasi itu mampu memiliki kapasitas dan karakter yang berbeda dari birokrasi asalnya.
Kedua, bahwa sumber daya yang diperlukan bagi calon daerah tersebut dapat dilihat dari kondisi retrospektif yang ada di lingkup geografis daerah tersebut. Sumber daya yang diperhitungkan dapat menunjang penyelenggaraan pemerintahan di daerah tersebut nantinya akan dapat diperoleh dari sumber-sumber yang sudah ada. Misalnya, melihat ukuran sumber daya pendapatan dari luasnya kebun, sawah dan pabrik-pabrik yang berdiri di daerah tersebut. Padahal ketika daerah tersebut terbentuk maka dinamika ekonomi pun akan berputar secara dinamis pada daerah tersebut. Jika sumber pendapatan hanya di dasarkan pada sumber-sumber retrospektif maka yang terjadi adalah pembebanan terhadap sumber-sumber tersebut dan pada suatu saat akan mencapaii titik jenuh yang bisa berwujud berkurangnya nilai yang dihasilkan sumber itu atau bahkan hilangnya sumber-sumber tersebut dengan dasar perhitungan keunggulan komparatif, misalnya pabrik-pabrik yang akan mengalihkan aset dan operasinya pada daerah lain yang beban fiskalnya (pajak dan retribusi) lebih rendah. Yang sebenarnya perlu untuk menjadi pertimbangan adalah sumber daya prospektif yang mencakup potensi materiil dan potensi sosial. Potensi materiil berkaitan dengan sumber daya yang sudah ada dan juga yang memiliki kemungkinan untuk menjadi faktor penarik bagi pembangunan daerah. Sementara, potensi sosial yang dimaksud tidak hanya yang bersifat institusional formal, namun juga mencakup kultur sosial untuk bekerja dan kondisi psikososial masyarakat yang mampu menjadi faktor pendorong bagi pembangunan daerah.
Ketiga, bahwa pemekaran daerah itu akan berkorelasi secara langsung dengan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Asumsi ini yang menjadi pamungkas dalam rangka membentuk daerah baru. Ketika daerah tersebut memiliki pusat pemerintahan daerah yang lebih dekat dan memiliki kewenangan otonom untuk mengatur dan mengelola daerahnya maka porsi pengelolaan sumber-sumber ekonomi akan lebih dirasakan oleh masyarakat dalam daerah baru tersebut. Padahal usaha di dalam proses pembangunan tersebut membutuhkan pengembangan strategi, taktis dan teknis yang juga harus ditopang oleh daya dukung kapasitas elemen daerah sehingga mampu membentuk sebuah jaringan kerjasama yang menghasilkan output dan outcome secara radial kepada seluruh elemen daerah tanpa adanya deviasi. Yang sering terjadi di daerah pada proses ini adalah munculnya kelompok elit-elit baru yang mendominasi proses dan terkadang tidak mau memberikan peluang bagi kelompok yang memiliki kapasitas dan kesempatan yang di bawah mereka untuk lebih berperan. Sehingga dalam kondisi yang demikian, pemekaran juga dapat menghasilkan ketimpangan baru yang terdesentralisasi.
Pemekaran daerah baru akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat lokal ketika landasan pembentukan daerah itu tidak bermotif politik semata, ketika usulan pembentukan daerah baru tersebut tidak ditunggangi oleh kelompok-kelompok yang menjalin kesepakatan dalam rangka memperoleh sumber daya politik yang di ilusikan dalam asumsi-asumsi yang kurang mendalam dan tidak memiliki dasar orientasi pengembangan yang jelas. Jika pemekaran dilandasi oleh semangat ini maka kita bersama bisa sepakat bahwa pemekaran daerah bukanlah keharusan, tapi yang lebih dahulu menjadi keharusan adalah membenahi mental politik dan melakukan perbaikan birokrasi pemerintahan sehingga masyarakat tidak sekedar menjadi kelompok yang termanipulasi dan pada sisi yang lain tetap mampu menikmati layanan publik secara lebih baik.
No comments:
Post a Comment