Wacana calon independen di dalam proses politik kepemimpinan agaknya belum berani untuk memanas sebagai sebuah issue nasional, sekedar muncul di saat pendahuluan pilkada DKI Jakarta, berbentuk tuntutan hukum dari beberapa orang/ kelompok yang merasakan dirugikan oleh kebijakan negara kepada Mahkamah Konstitusi. Setelah itu issue yang bisa menjadi bola panas di kancah politik nasional itu meredup lagi, dikalahkan oleh issue-issue lain yang muncul kemudian. Sementara, pada tingkat lokal, yaitu di Propinsi Lampung yang sedang menggelinding agenda pemilihan gubernur pada tahun 2008 nanti, tiba-tiba muncul wacana calon independen yang bisa saja di laksanakan dalam Pemilihan Gubernur itu nantinya jika putusan MK membuka kesempatan itu. Adalah rekan-rekan dan sahabat saya yang juga sesama pendidik muda yang menggelindingkan wacana tersebut di Surat Kabar Lokal. Munculnya diskusi pro dan kontra dari mereka membuat saya mengerti bahwa wacana yang digelontorkan ini memang sesuatu yang bermata dua, hanya saja kita belum tahu mata mana yang lebih tajam dan mana yang belum..
Saya mencoba menafsirkan substansi wacana yang dikemukakan tersebut secara lain. Kita semua bisa sepakat jika dikatakan bahwa politik adalah persoalan interpretasi dan aplikasi prinsip. Seseorang memutuskan sebuah pilihan pasti berdasarkan suatu dorongan motivasi spesifik. Demikian juga ketika seseorang memutuskan untuk tidak memilih pasti didorong oleh sebuah motivasi spesifik. Dorongan ini yang jika terakumulasi maka akan menentukan bobot dari prinsip yang dimiliki oleh sebuah proses politik dalam suatu cakupan tertentu. Jika motivasi didorong oleh alasan materiil manipulatif (uang, jabatan dan materi lainnya) maka bobot kualitas dari prinsip proses tersebut juga sangat materiil. Konsekuensinya kemudian adalah proses pilihan di dalam politik akan ditentutan oleh kalkulasi materiil semata. Inilah yang nampaknya menjadi keluhan warga negara ketika mereka melihat proses politik yang dilakukan oleh partai politik menjadi sangat materiil. Seorang politisi masuk partai karena didasari peluang materiil yang bisa diperolehnya, karenanya tidak heran jika tiba-tiba seorang politisi keluar dari sebuah partai dan kemudian masuk ke partai yang lain atau mendirikan partai baru. Paling tidak partai baru juga akan kebagian dana dari berbagai pihak menjelang pemilu nanti. Memang tidak semua partai politik bobrok seperti itu, toh masih ada partai politik yang mau berkubangan dengan sawah dan membina masyarakat agar bisa bertani dan berdagang lebih baik.
Pertanyaannya sekarang adalah apa yang mendorong kontekstualitas seperti itu?. Jika kita membedah keinginan masyarakat yang ingin harga minyak goreng turun, ganti rugi tanah dan rumah diselesaikan dengan cash and carry, atau tarif listrik tidak naik maka bisakah kita katakan bahwa masyarakat kita juga semakin materiil sehingga kemudian mendorong pelaku politik jadi super materiil seperti itu?. Saya tidak tahu pasti kalau orang lain, hanya kalau bagi saya maka keinginanan itu karena saya dan keluarga ingin tetap bisa menjaga prinsip hidup ini, antara lain prinsip tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, prinsip ingin menjaga kelangsungan hidup secara baik-baik, dan lainnya yang sebenarnya merupakan outcome sosial ketimbang sebagai sebuah outcome politis. Dalam konteks luas bisa dicontohkan ketika seorang warga memilih seorang calon bupati dia tidak akan berpikir bahwa si calon harus bertahan dua periode atau cukup satu periode saja, tapi yang dipikirkan adalah jika si calon di pilih maka harapannya untuk menikmati gedung sekolah anaknya yang lebih pantas akan lebih bisa terwujud.
Sebenarnya ada hubungan yang bermakna dari pemaparan tersebut jika diletakkan pada wacana calon independen dalam proses kepemimpinan daerah. Yaitu bahwa secara prinsipil masyarakat memilih karena outcome yang diharapkannya lebih berkeinginan pada aspek sosial ketimbang politik. Dalam kampanye, calon yang lebih menjanjikan kebutuhan sosial pasti akan lebih unggul ketimbang yang menjanjikan tujuan-tujuan politis. Inilah point yang sebenarnya mendorong terjadinya kekecewaan warga terhadap proses politik, khususnya politik. Hasil (output) dan lanjutan (outcome) yang dihasilkan dari proses politik yang dimotori oleh partai politik terkesan tidak paralel dengan kepercayaan dan keinginan warga pemilih (voter). Pada satu sisi warga pemilih menginginkan hasil dan lanjutan yang lebih berdimensi sosial namun hasil dari proses politik yang terjadi selama ini justru lebih berdimensi politis internal, kepada pemikiran untuk menghimpun kekuatan koalisi menjelang pemilu akan datang, kepada gerakan untuk menghimpun dana partai, kepada tindakan kompetisi politis untuk memiliki citra yang branded dalam pilkada dan sebagainya.
Secara nyata argumen ini didukung oleh hasil riset DEMOS pada tahun 2003-2005 yang hasilnya mengemukakan bahwa semenjak reformasi berlangsung salah satu gejala yang terjadi dalam proses politik adalah tidak adanya hubungan antara gerakan sosial dengan gerakan politik. Yang melatarbelakangi terjadinya kondisi itu adalah mekanisme politik yang memang tidak menempatkan potensi sosial sebagai prasyarat utama untuk menghasilkan masukan dan keluaran di dalam proses politik namun menempatkan potensi politis materiil sebagai sumber utama di dalam proses tersebut. Di dalam proses pilkada misalnya, praktik politik-uang bukan hanya terjadi saat pemilihan akan tetapi sudah dimulai sejak proses pencalonan. Meskipun bervariasi jumlahnya, para calon kepala daerah umumnya harus “membeli” kendaraan politik itu (dukungan partai) untuk dapat ikut dalam proses pemilihan.
Benarlah yang dikatakan oleh mantan Perdana Mentri Inggris, Tony Blair (2007) saat memberi reaksi atas tanggapan masyarakat terhadap perkembangan serta hasil kinerja partai politik di seluruh dunia yang mengatakan bahwa partai politik harus mengubah modus operandinya secara radikal. Berlawanan dengan mitos yang berkembang, partai politik tidak sedang sekarat; minat masyarakat terhadap politik masih intens seperti sebelumnya. Sajikan perlombaan yang sesungguhnya ke hadapan masyarakat, maka mereka pasti akan keluar memberikan suaranya.
Dalam hal tersebut, saya sepakat dengan seorang sahabat yang mengatakan bahwa partai politik harus berubah menjadi pelaku (actor) yang menyambungkan lagi gerakan sosial masyarakat dengan gerakan politik itu. Gerakan sosial sebagai sebuah jejaring warga pada dasarnya tidak menginginkan sebuah kekuasaan (power) namun lebih kepada wujud-wujud outcome yang muncul di dalam kebijakan-kebijakan hasil gerakan politik yang mencari kekuasaan. Dengan menguatkan jembatan ini maka partai politik benar-benar dapat tetap menjadi saluran utama bagi gairah politik di dalam sebuah negara. Masyarakat yang sebenarnya memiliki kebebasan memilih (free to choose) dan secara konstitusional dijamin oleh Undang-Undang Dasar mungkin akan sangat puas dan percaya kepada partai politik dan tidak akan melihat calon independen sebagai kemestian. Sebaliknya, ketika masyarakat tidak puas dan percaya kepada partai politik maka kehadiran calon independen sebagai sebuah alternatif yang masih relevan dengan prinsip kebebasan memilih (free to choose) itu adalah sebuah kemestian yang harus didukung. Karena prinsipnya bahwa partai politik adalah instrumen yang dibentuk oleh warga dan bukan sebaliknya maka tidaklah salah jika warga mencari alternatif instrumen lain untuk kebutuhannya.
Oleh: Simon S. Hutagalung (soemandjaja): Juli 2007
1 comment:
Jadi inget kampanye "Green Party" di US tiap jelang pemilu. Green Party bentukan Ralph Nader ngga berambisi menang, tapi cuman penyadaran politis ke warga kalo selalu ada "pilihan" atau alternatif (ngga mulu cuman Demo atau Rep). Saya pikir kasusnya juga mirip sama urgensi calon independen.
Post a Comment