Artikelku ini dimuat di SKH Lampung Post, Rabu 31 Oktober 2007
Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 telah menghasilkan berbagai inisiatif progresif tentang berdirinya sebuah bangsa yang kuat dengan cara menempatkan semangat universalitas nasionalisme di atas semangat primordialisme yang terbukti kurang mampu mengatasi masalah perjuangan bangsa dalam melawan kekuatan disintegratif. Sumpah Pemuda merupakan salah satu tonggak bangsa dan negara yang kemudian sangat bangga dengan kemerdekaan yang diperoleh dengan perjuangan keras.
Dalam lintasan sejarah setelah Sumpah Pemuda, gerakan universalitas nasionalisme tersebut muncul di seluruh wilayah Indonesia dengan dimotori oleh berbagai tokoh pemuda. Bahkan jika kita cermati di dalam sejarah Indonesia, hampir sebagian besar pahlawan bangsa, pejuang kemerdekaan adalah kaum pemuda.
Setelah proklamasi, pemuda juga mampu menjadi pendobrak dan penggerak yang efektif dalam beberapa momentum perubahan bangsa. Sebut saja angkatan 65/66, peristiwa Malari dan reformasi 1998 yang menghasilkan banyak tokoh panutan hingga saat ini, meskipun kemudian tidak banyak dari tokoh tersebut yang mampu masuk ke dalam lingkaran politik institusi negara.
Dalam beberapa kasus, gerakan pemuda tersebut justru dilanjutkan oleh pihak lain yang menangkap gagasan-gagasan mereka sebagai sebuah isu politik. Lihat saja reformasi 98 yang sangat indah memuat gagasan-gagasan tentang negara yang demokratis dan maju tetapi kemudian justru diempaskan arus politisasi yang tidak indah dan menjenuhkan. Yang lebih parah lagi adalah transfer ide besar (grand idea) tentang Indonesia Baru dari para pemuda dan mahasiswa kemudian mudah dilupakan bahkan dianggap angin lalu.
Ambil saja kasus penembakan mahasiswa dalam gelombang gerakan mahasiswa yang nampak masih sumir kejelasan pertanggungjawabannya meski kemudian penguasa yang berganti merupakan produk dari gerakan pemuda itu sendiri. Nasib gerakan pemuda saat ini seperti kacang yang dilupakan kulitnya, seperti ibu yang didurhakai anaknya.
Kenapa pemuda hanya menjadi pembawa tongkat estafet separuh jalan? Apakah tidak bisa jika pemuda kemudian bergerak secara total ke dalam seluruh gerakan perubahan? Apakah tidak bisa jika pemuda menjadi pemimpin? Pemuda sebagai sebuah elemen bangsa juga memiliki tanggung jawab yang sama dengan elemen lainnya. Dalam seluruh aspek berbangsa, pemuda memiliki kewajiban dan hak yang substansinya sama dengan golongan tua.
Karena itu, pemuda juga bisa, bahkan harus menjadi pemimpin kalau ingin melihat cita-cita pergerakannya tercapai. Pemuda tidak harus lagi memilih mentransfer gagasan mereka kepada kelompok tua untuk diolah dan diwujudkan dalam berbagai kebijakan negara, kaum pemuda itu sendirilah yang harus menjadi pemimpin dan sekaligus pembuat kebijakan publik.
Kita masih bisa bangga kalau melihat beberapa organisasi nasional dan daerah yang dipimpin oleh pemuda. Di Lampung misalnya, masih ada tokoh pemuda yang berhasil menjadi wakil bupati, pada daerah lain bahkan ada pemuda yang bisa meraih kepemimpinan pada tingkat provinsi.
Fakta tersebut memang masih dapat diperdebatkan jika melihat peran dan kontribusi tokoh pemuda tersebut yang kurang terasa saat sudah mencapai kursi kepemimpinan. Terasa bahwa nilai kepemudaannya harus direduksi oleh nilai-nilai politis yang mungkin lebih kuat.
Ada banyak nilai positif yang dimiliki oleh pemuda jika dikaitkan dengan kepemimpinan. Pertama, pemuda memiliki semangat progresivitas kerja yang tinggi. Faktor usia dan motivasi diri yang masih sangat tinggi menjadikan kaum ini mampu berkinerja secara total dan produktif. Terlebih lagi jika dihadapkan kepada kondisi lingkup kepemimpinan yang penuh dengan banyak tantangan perbaikan atau perubahan, pemuda akan lebih memiliki daya tahan yang tinggi untuk berusaha mengimplementasikan gagasannya ke dalam wujud nyata.
Jika kita lihat konteks kepemimpinan modern, dapat disimpulkan bahwa pemimpin bukan sekadar koordinator, pengarah, pembimbing atau penanggung jawab melainkan juga harus mampu menjadi pelaksana langsung (implementor).
Maksudnya, pemimpin modern dituntut memahami permasalahan secara rinci, mampu menghasilkan peta solusi sendiri dan menghasilkan alternatif-alternatif kebijakan dari pemikirannnya sendiri, bukan dari asistennya.
Kedua, pemuda memiliki kejernihan dan kekuatan ide-ide yang juga dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas suatu wilayah kepemimpinan. Meski dihadapkan kepada suatu kondisi yang sudah cukup baik, tetapi kemampuan mereka dalam berpikir kreatif dan inovatif dapat memberikan sentuhan yang berbeda dan memiliki prospek baik bagi kemajuan wilayah tersebut.
Sebuah lingkup kepemimpinan itu pada dasarnya unik, berbeda dengan lingkup di tempat yang lain. Karena itu, nilai lebih dari sebuah produk kepemimpinan adalah adanya keunikan positif yang dihasilkan, sementara untuk menghasikan itu diperlukan ide-ide yang jernih dan kuat untuk ditindaklanjuti. Ide yang jernih dan kuat merupakan hasil dari kemampuan untuk melihat prospek dan potensi yang bisa dikelola dan diarahkan secara fokus.
Ketiga, pemuda memiliki sensitivitas yang tinggi. Perlu dipahami bahwa kepemimpinan merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. Proses kepemimpinan tidak usai ketika kursi pemimpin itu telah diperoleh, begitu juga tidak usai ketika kursi kepemimpinan tidak lagi dimiliki.
Proses kepemimpinan merupakan proses sosial yang juga mencakup rentang implikasi-implikasi atau dampak yang dihasilkan dari sebuah periode kepemimpinan. Sehingga, meskipun seorang pemimpin daerah sudah tidak lagi menjabat tetapi kalau pada periodenya dia menghasilkan kebijakan yang baik dan memberikan implikasi terasakan yang juga baik maka dia tetap akan menjadi tokoh yang berpengaruh di dalam proses kepemimpinan.
Karena itu, seorang pemimpin dalam menjalankan proses kepemimpinannya harus berusaha untuk memiliki sifat yang sensitif terhadap kebutuhan lingkup kepimpinannya. Seorang pemimpin harus bisa mengetahui keinginan masyarakatnya pada saat mereka belum berbicara, harus bisa memahami dengan mata sendiri dan harus bisa bertindak tanpa harus bicara banyak.
Nilai lebih ketiga hal yang dimiliki oleh pemuda bukan berarti tidak dimiliki oleh kaum tua. Masih ditemui juga kaum tua yang memiliki ketiga nilai lebih itu. Selain itu, kaum tua juga memiliki nilai lebih dalam hal pengalaman, tetapi pengalaman masa lalu juga akan sangat berbenturan ketika dihadapkan kepada kondisi, kebutuhan dan instrumen yang sangat jauh berbeda dari zamannya.
Jika hanya bermodal pengalaman tanpa gagasan besar yang kuat, konsisten dan semangat tinggi untuk mewujudkannya niscaya siklus kepemimpinan tidak akan memunculkan sebuah perbedaan yang lebih baik. Pemimpin boleh berganti nama tapi tidak dengan situasi dan arah kepemimpinan yang tercipta. Dengan demikian posisi pemuda dalam kepemimpinan tidak lagi harus menjadi pelengkap atau penggembira semata, kaum muda harus mampu maju dan menjadi tokoh utama dalam setiap momentum kepemimpinan.
Akhirnya, jika melihat momentum Sumpah Pemuda tahun ini yang berada di dalam nuansa kontestasi kepemimpinan daerah di Lampung saat ini, semestinya peran pemuda harus disegarkan kembali. Karena itu juga harus diserukan kepada kaum pemuda untuk berani maju bersaing dengan tokoh-tokoh lainnya. Maju, bergerak dan raihlah posisi bupati dan gubernur di provinsi ini. Buktikan bahwa seperti dalam narasi sejarah bangsa Indonesia, kaum pemuda mampu memimpin secara lebih serius dan konsisten menuju kondisi yang semakin baik. Hidup Pemuda!
*ditulis oleh Simon S. Hutagalung (Staf Pengajar FISIP Universitas Lampung)
1 comment:
Sudah Saatnya pemuda memimpin bangsa!!!!!!!!!
Post a Comment