20 September 2007

Belajar dari Konversi Minyak Tanah

Artikel saya ini dimuat di SKH Lampung Post 1 September 2007

Rencana pemerintah untuk mengonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kiloliter (kl) minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton liquefied petroleum gas (LPG) hingga tahun 2010 mendatang yang dimulai dengan satu juta kl minyak tanah pada 2007 bergulir dengan banyak kontroversi.

Padahal, jika melihat latar belakang ditempuhnya kebijakan ini yang antara lain bertujuan untuk menghemat anggaran sebesar Rp30 triliun yang dikeluarkan untuk subsidi minyak tanah setiap tahun sehingga anggaran tersebut bisa digunakan untuk keperluan lain, seperti pembangunan pendidikan dan infrastruktur, merupakan sebuah kebijakan dengan kandungan tujuan yang sangat baik.

Kontroversi terjadi dalam implementasi kebijakan ini kepada kelompok sasaran (target group) yang dikehendaki terjadi dalam bentuk penolakan terhadap arahan kebijakan yang digulirkan telebih dahulu pada wilayah Jabodetabek. Ada masyarakat yang sejak awal sudah menolak dan ada juga yang awalnya menerima kebijakan ini, dalam wujud menerima kompor dan tabung gas 3 liter, tetapi kemudian beralih kembali menggunakan minyak tanah.--lengkapnya klik judul--

Puncaknya adalah terjadinya unjuk rasa ribuan warga Jabodetabek yang menolak konversi minyak tanah ke gas di depan Kantor Pertamina Pemasaran Unit II Depot Plumpang, Jakarta Utara, pada tanggal 6 Agustus 2007.

Memang pada awalnya kebijakan ini baru dilaksanakan di wilayah tersebut, tetapi melihat niat pemerintah untuk melaksanakan penghematan anggaran belanja negara secara sungguh-sungguh maka kebijakan ini juga akan dilaksanakan pada daerah lain di wilayah Indonesia, termasuk Lampung.

Kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji yang pada tahap awal ini dilakukan di wilayah Jabodetabek tersebut merupakan sebuah kasus kebijakan yang menunjukkan bahwa implementasi sebuah kebijakan sangat bergantung kepada setting sosial, politik dan kultur kelompok masyarakat yang menjadi target sasarannya.

Sebuah kebijakan tidak akan berjalan atau mengalami hambatan yang besar jika tidak sejalan atau tidak mampu memahami setting yang menjadi konteks dari tujuan kebijakan tersebut. Kebijakan yang menurut pembuat kebijakannya memiliki kandungan isi dan tujuan yang baik tetap tidak akan diterjemahkan yang sama oleh kelompok sasaran jika mengabaikan aspek kontekstual dari lokasi kebijakan tersebut.

Dalam kasus kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji ini, paling tidak terdapat tiga situasi yang muncul dari setting sosial, politik dan kultural masyarakat miskin yang menjadi sasaran dari kebijakan ini. Pertama, situasi dari setting sosial. Kehidupan sosial adalah interaksi yang selalu dinamik.

Satu kelompok masyarakat akan selalu berusaha untuk mencari cara dalam mempertahankan eksistensinya. Suatu kelompok masyarakat akan menempuh berbagai pilihan strategi hingga pada rentang waktu tertentu akan memilih suatu pilihan tersebut. Sehingga bisa dijelaskan bahwa dalam kelompok masyarakat yang berbeda akan lebih kental memegang posisi yang menyukai perubahan atau pada posisi yang anti terhadap perubahan.

Masyarakat dihadapkan kepada situasi sosial yang rentan terhadap perubahan akan membiasakan dirinya berada dalam posisi yang resisten terhadap perubahan. Pengalaman sosial mereka yang selalu dihadapkan kepada opini tentang perubahan yang penuh dengan risiko menjadikan kelompok ini selalu pesimis terhadap usaha-usaha yang berusaha untuk merubah kebiasaannya.

Sehingga, meskipun diarahkan oleh kebijakan yang berusaha untuk melakukan perubahan tetapi persepsi sosial mereka mendorong untuk tidak langsung setuju dan ikut serta di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.

Kedua, situasi dari setting politik. Setiap kelompok masyarakat tentu akan memiliki pandangan yang berbeda terhadap pemerintah yang berkuasa. Jika melihat masyarakat sebagai sebuah himpunan individu maka persepsi tersebut tidak terbentuk secara spontan atau dalam derajat waktu yang singkat. Persepsi masyarakat sebagai sebuah himpunan individu terbentuk dalam rentang waktu yang terregenerasi melalui berbagai proses pembelajaran.

Dalam kasus kebijakan ini, kelompok masyarakat miskin yang menjadi target sasaran kebijakan ini sepertinya memiliki cara pandang tersendiri terhadap pemerintah dalam menangani masyarakat miskin. Pengalaman yang mereka miliki tampaknya selalu dihadapkan kepada inkonsistensi dan ambivalensi pemerintah dalam mengakselerasi sebuah kebijakan kemiskinan.

Yang sering terjadi adalah kondisi dimana saat sebuah kebijakan kemiskinan dilaksanakan, tiba-tiba muncul kebijakan turunan atau kebijakan dalam sektor-sektor lain yang bersinggungan dengan kebijakan utama tadi, ternyata tidak sejalan dengan pencapaian tujuan kebijakan utama yang sudah dirancang.

Pada beberapa kasus juga mereka mengalami beberapa kebijakan penanggulangan kemiskinan yang belum secara langsung memberikan implikasi terhadap taraf kemiskinan itu sendiri. Pengalaman-pengalaman tersebut menjadikan mereka sebagai pihak yang pesimis atau bahkan antipati terhadap upaya-upaya dari pemerintah untuk menangani kehidupan mereka.

Ketiga, situasi dari setting kultural. Dalam kasus konversi minyak tanah ini, beberapa kelompok masyarakat miskin tampak sangat melekatkan identitas kelasnya dengan asosiasi minyak tanah. Minyak tanah sebagai sebuah media konsumsi yang sudah digunakan secara turun temurun sangat melekat dengan identitas kelas masyarakat miskin.

Ketika ada sebuah rumah tangga pada lingkungan masyarakat miskin yang menggunakan gas elpiji, maka anggapan kelompok masyarakat tersebut adalah rumah tangga tersebut sudah tidak lagi masuk ke dalam kelas masyarakat miskin. Namun sudah berpindah ke kelas masyarakat yang lebih tinggi lagi.

Identitas minyak tanah sebagai kelas masyarakat miskin ini sebenarnya juga dibentuk oleh kebiasaan mereka untuk mengonsumsi minyak tanah dalam kadar kuantitas yang minim. Bukan dengan membeli dalam skala kuantitas yang banyak. Kelompok masyarakat ini memilih minyak tanah sebagai pilihan identitasnya karena secara nyata lebih bisa memberikan efisiensi dalam kuantitas penggunaannya di rumah tangga.

Pilihan identitas ini pada dasarnya juga dipengaruhi oleh setting sosial dan setting politik yang juga terwarisi di dalam sistem masyarakat dan sistem pemerintahan kita hingga akhirnya menjadi bagian yang sangat melekat dengan kehidupan mereka yang sulit untuk diintervensi melalui sebuah kebijakan tunggal.

Solusi yang dapat ditawarkan terhadap masalah ini adalah dengan komunikasi kebijakan yang intensif dan mendalam. Komunikasi kebijakan yang melibatkan perubahan sosial, politik dan kultural tersebut tidak dapat dilakukan dengan cara yang singkat apalagi sekadar insidental.

Dengan pola yang seperti itu justru yang akan ditafsirkan adalah adanya unsur represif yang hendak dimunculkan di dalam implementasi sebuah kebijakan. Selain itu, komunikasi kebijakan juga tidak dapat dilakukan hanya dengan bentuk intervensi stimulan berupa kompor dan tabung elpiji gratis, karena intervensi seperti itu juga hanya akan dimaknai secara materiil oleh kelompok ini.

Karena, komunikasi kebijakan adalah persoalan persepsi, soal daya serap pikiran yang kemudian menghasilkan sikap dan tindakan maka arus informasi perlu dikelola terhadap hal-hal yang berkaitan dengan transfer kebiasaan kelompok masyarakat tersebut. Pemerintah perlu memberi penjelasan yang utuh dalam dimensi sosial, politik dan kultural yang bersinggungan dengan kebijakan konversi ini dalam bahasa yang dapat diterima oleh mereka.

Termasuk di dalamnya adalah memberikan gambaran tentang betapa urgennya tujuan kebijakan ini dan juga jaminan terhadap kebiasaan baru yang pada dasarnya perlu untuk dikenal jika melihat situasi global yang menuntut adanya pengalihan sumber daya energi.

Melalui komunikasi kebijakan ini, dapat dilihat itikad pemerintah dalam menempatkan kelompok masyarakat miskin, apakah sebagai penerima pasif kebijakan yang sekadar mengikuti kebijakan? Ataukah pada derajat yang lebih tinggi sebagai penerima dan sasaran antara yang kemudian akan melakukan penyesuaian terhadap tranformasi seperti yang dikandung oleh kebijakan tersebut?

Kita tentu berharap agar kasus kebijakan seperti yang terjadi tersebut dapat diperbaiki dengan mengemas kebijakan tersebut sebagai sebuah paket yang indah dan nyaman bagi masyarakat di wilayah negeri ini. Semoga saja.

No comments: