Showing posts with label kebijakan. Show all posts
Showing posts with label kebijakan. Show all posts

21 October 2008

MASALAH KEBIJAKAN DAN KEBIJAKAN BERMASALAH

Artikelku dimuat SKH Lampung Post, tanggal 21 Oktober 2008

Pada suatu saat, muncul dua persoalan ditengah kehidupan sebuah negara. Persoalan yang pertama adalah keinginan untuk memperpanjang masa jabatan seorang pejabat yudikatif. Berbagai argumen kemudian berkembang melalui media massa, antara yang pro dan kontra terhadap keinginan tersebut. Hingga akhirnya dalam beberapa rentang waktu yang tidak lama, opini tersebut sampai pada para pembuat keputusan, ditafsirkan sebagai sebuah masalah dan menjadi agenda pembahasan yang urgen. Sebagai sebuah masalah, opini yang awalnya hanya menjadi issu berubah menjadi masalah bersama dan menjadi input dari proses pembahasan hingga kemudian menghasilkan output keputusan bersama.

Pada saat yang lain, muncul keluhan dari para guru mengenai sulitnya menikmati janji kesejahteraan, meskipun telah menunggu sekian lama dan baru beberapa tahun ini diberi peluang melalui sertifikasi profesi. Guru yang sudah lulus sertifikasi kemudian harus menunggu lama untuk bisa mendapatkan hak yang menjadi implikasi dari uji sertifikasi tersebut. Sudah harus menunggu bertahun-tahun dan ketika kesempatan terbuka, masih saja diperlambat. Masalah birokratisasi yang tidak efisien dan berlarut-larut dalam program kesejahteraan guru tersebut tidak serta merta sampai pada para pembuat keputusan, tidak dianggap sebagai masalah urgen apalagi menjadi agenda pembahasan yang diharapkan akan menghasilkan keputusan bersama yang dapat menjadi solusi berjangka panjang bagi persoalan tersebut.

Apa yang bisa kita identifikasi dari fakta proses penyelenggaraan negara dalam kedua kasus tersebut?. Ada beberapa hal yang bisa muncul menjadi ulasan menarik, namun penulis hendak melihatnya sebagai sebuah permasalahan proses kebijakan. Dikatakan demikian karena ada persoalan yang timpang di dalam kedua kasus tersebut. Jika kita cermati, kasus pertama merupakan sebuah persoalan bersifat elitis, karena menyangkut kepentingan terhadap posisi jabatan tertentu. Persoalan power sharing dan akomodasi kepentingan ternyata menjadi dasar penguat dari urgensitas isu tersebut untuk berubah menjadi masalah dan ditindaklanjuti sebagai sebuah agenda kebijakan. Sementara itu, kasus kedua merupakan sebuah persoalan yang sangat mendasar. Siapa pun tahu jika pendidikan yang berkualitas membutuhkan daya dukung kapasitas yang memadai, termasuk adalah kesejahteraan pendidik secara nyata. Lalu mengapa kasus pertama lebih cepat menjadi agenda pembahasan dari pengambil keputusan dan menghasilkan sebuah keputusan bersama, ketimbang kasus kedua yang tetap berlarut larut tanpa ada suatu solusi efektif yang berjangka panjang. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kuatnya pengaruh konteks politik terhadap sebuah isu kebijakan akan menentukan berlanjutnya isu tersebut menjadi masalah kebijakan yang kemudian masuk ke dalam ruang formatif proses kebijakan.

Kedua kasus tersebut hanya contoh dari beberapa persoalan kebijakan pada Pemerintahan di Indonesia. Dikatakan sebagai persoalan kebijakan karena persoalan tersebut merupakan bagian dari dinamika formatif proses kebijakan dalam penyelenggaran pemerintahan. Kebijakan sebagai instrumen pengelolaan pemerintahan merupakan mata rantai utama dalam operasionalisasi fungsi kepemerintahan (governance). Sebagai mata rantai utama, maka jika kebijakan itu keliru atau tidak tepat dalam menangani persoalan di dalam negara, konsekuensinya adalah kegagalan pemerintah dalam fungsi implementatifnya. Permasalahan kebijakan yang terjadi umumnya baru dirasakan saat sebuah kebijakan tersebut dilaksanakan, para pembuat kebijakan (policy maker) atau pelaksana (implementor) baru menjerit dan sadar akan kesalahannya ketika terjadi kondisi implementasi yang buruk (bad implementation). Dalam kondisi yang teramat sulit, kebijakan tersebut justru akan menghasilkan penolakan atau pengabaian oleh elemen-elemen yang secara legal terlibat di dalamnya. Dalam konteks ini, pemerintah telah bertindak sangat tidak efektif karena telah mengeluarkan demikian banyak energi untuk suatu kebijakan yang tidak mampu diimplementasikan, apalagi mampu mengatasi masalah kebijakan secara tuntas.

Ada persoalan proses kebijakan yang paling pokok terjadi, yaitu sesuatu yang disebut sebagai kesalahan tipe ketiga; memecahkan masalah yang salah. Kesalahan ini apabila diibaratkan maka akan sama seperti seorang dokter yang salah melakukan diagnosa dari keluhan seorang pasien. Seorang dokter yang terlalu cepat menyimpulkan penyakit pasien, kemudian memberikan obat yang tidak tepat, karena pasien tersebut ternyata menderita penyakit lain, maka akibatnya fatal bagi si pasien. Kesalahan ini terjadi karena penyederhanaan yang berlebihan terhadap proses yang kompleks. Rasionalitas yang dikembangkan terhadap sebuah isu kebijakan dilakukan dengan pilihan yang tidak disadari, tidak kritis serta justru sering mengacaukan secara serius konseptualisasi masalah substantif dan solusinya yang potensial (Hoss, Tribe: 1972). Hadirnya isu kebijakan dari opini dalam masyarakat bersifat kompleks karena menyangkut berbagai faktor yang menjadi latar belakang. Kemampuan untuk mengidentifikasi dan melihat gambaran besar dari faktor tersebut menjadi awal yang menentukan proses selanjutnya.

Seperti dalam kedua kasus yang menjadi contoh. Dalam kasus tersebut dapat muncul banyak pertanyaan, diantaranya; seberapa luas lingkup dan cakupan yang menjadi latar dari munculnya isu tersebut?, Apakah penting meningkatkan isu tersebut menjadi sebuah masalah yang mendesak untuk diselesaikan?, Apakah isu tersebut adalah memiliki implikasi yang sangat kuat dalam mengatasi persoalan yang melatarbelakanginya secara siginifikan?. Melalui pertanyaan itu dapat ditentukan pentingnya isu menjadi masalah dan menjalani proses kebijakan selanjutnya.

Dengan demikian kemampuan analisis kebijakan publik memiliki peran yang sangat menentukan. Kemampuan rasionalitas erotetik dalam mengelola issu, meta masalah dan masalah formal dalam proses kebijakan merupakan penentu utama dalam efektifnya desain sebuah rumusan masalah yang menjadi input dalam proses kebijakan. Melihat banyaknya kebijakan yang bermasalah, maka sudah sepantasnya jika sebagai pelaku kebijakan, pemerintah pusat, daerah dan stakeholder yang lainnya memiliki perhatian yang lebih baik dalam konteks ini. Kemampuan untuk memahami masalah sebagai bagian besar dari mengatasi keseluruhan persoalan merupakan modal untuk menciptakan kebijakan publik yang lebih baik.

Tidak perlu berhenti untuk belajar tentang hal ini, karena negara sehebat Amerika Serikat pun bisa mengalami kegagalan menganalisis isu dan masalah, sehingga pengabaian terhadap identifikasi terjadinya subprime mortgage yang beberapa tahun lalu dilakukan akhirnya mengakibatkan krisis finansial yang mengguncang. Saya rasa kita bisa memahami tentang pentingnya studi kebijakan publik, khususnya dalam kemampuan untuk memahami masalah kebijakan, sebelum semakin banyak kebijakan yang bermasalah.

31 May 2008

BLT Bukan Solusi Kemiskinan

Artikelku ini dimuat di SKH Radar Lampung, Senin 26 Mei 2008.

Sebagai paket kebijakan, pemerintah menggelontorkan BLT kepada kelompok masyarakat miskin yang diidentifikasi akan menderita akibat kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebenarnya dua kebijakan tersebut, yaitu menaikan harga BBM dan kompensasi terhadap kelompok masyarakat miskin merupakan dua kebijakan yang tidak terintegasi secara langsung. Kenaikan BBM dan program kompensasi atas kenaikan harga BBM tidak membentuk hubungan yang solutif. Dalam kata lain kebijakan kompensasi atas kenaikan harga BBM tersebut tidak lebih sebagai tindakan impulsif dari pemerintah untuk meredam efek politis yang timbul akibat pilihan tidak populer. Setidaknya terdapat beberapa logika yang mengarahkan simpulan kepada hal tersebut.

Pertama, program kompensasi dengan bentuk dan model yang sudah ada, terbukti memiliki ketidakefektivan. Sering diketemukan terjadinya ketidaktepatan sasaran (misstargeting), tidak tepat jumlah (missquantity) dan tidak tepat waktu penyaluran (missdelivery) serta beberapa persoalan penyaluran yang lainnya. Bentuk-bentuk penyaluran yang seperti ini memiliki kerentanan tidak hanya kepada diterimanya subsidi tersebut kepada kelompok sasaran sehingga mereka bisa mengatasi secara efektif tingginya kebutuhan hidup akibat kenaikan BBM. Namun juga, bentuk program yang demikian memiliki kerentanan untuk menghasilkan konflik horizontal pada tingkat masyarakat. Adanya kesenjangan kapasitas antara birokrasi penyaluran pada tingkat atas dan pada tingkat terendah menjadikan pengelolaan subsidi ini rentan untuk mengalami distrorsi. Bukan hanya kerentanan akan adanya penyelewengan yang nyata, namun ekspektasi yang tinggi dari masyarakat terhadap penyaluran program itu yang tidak sebanding dengan kapasitas penyaluran tersebut menimbulkan tuntutan yang tidak terimplementasi secara baik oleh implementor, sehingga akhirnya menimbulkan konflik horizontal yang menghasilkan kerugian sosial ekonomi.

Kedua, bentuk program cash transfer dalam model tersebut (membagikan secara langsung) terbukti tidak berkorelasi langsung dengan pemanfaatan konsumsi yang efektif bagi kelompok sasaran yang dimaksud. Fakta yang sering dijumpai adalah dana yang diperoleh oleh masyarakat tersebut digunakan secara bervariasi sesuai dengan keinginan penerimanya. Padahal maksud dari rumusan program ini agar dana tersbeut digunakan secara efektif untuk menutupi selisih biaya hidup yang semakin berjarak dengan kenaikan BBM. Artinya, program dalam format ini justru tidak mampu memberikan solusi jangka panjang yang dapat menggerakkkan kelompok masyarakat miskin agar mampu bergerak dari garis kemiskinan yang semakin menurun akibat implikasi dari kenaikan komoditas konsumsi sebagai bagian dari efek domino kenaikan BBM. Dengan demikian, program-program dalam bentuk seperti ini sebenarnya tidak berkorelasi langsung sebagai bentuk tindakan untuk menangani kemiskinan akibat kenaikan BBM sebagaimana yang dimaksud oleh pemerintah.

Ketiga, format subsidi yang diperuntukkan bagi kelompok terkategori masyarakat miskin yang teridentifikasi sebagai kelompok penderita kenaikan BBM justru akan menciptakan pergeseran kelas yang semakin melebar pada kategori masyarakat miskin tersebut. Dalam kata lain, masyarakat miskin justru akan semakin meningkat. Kenapa?. Jika dilihat secara terkelompok, klasifikasi kategori masyarakat miskin sebagai penerima kompensasi tersebut akan memberikan peluang untuk menambah insentif bagi selisih biaya hidup yang harus ditanggung oleh masing-masing rumah tangga. Sementara itu, terdapat kelompok masyarakat yang berada di luar dari kategori masyarakat miskin tersebut namun tidak tercover oleh subsidi kompensasi ini justru memiliki kerentanan yang juga meningkat. Desakan untuk mengatasi selisih biaya hidup tersebut yang menjadikan kelompok masyarakat menengah ini untuk bergerak masuk ke dalam kategori masyarakat miskin yang nantinya akan menerima kompensasi. Jadi, kebijakan menaikkan BBM dan memberikan kompensasi kepada satu kelompok terendah justru akan menimbulkan efek meningkatknya kuantitas masyarakat miskin dan kemudian berimplikasi terhadap meningkatnya nilai kompensasi yang harus diberikan kepada kelompok tersebut.

Ketiga alur pikir tersebut menunjukkan bahwa kebijakan untuk menyalurkan program-program kompensasi kepada kelompok masyarakat miskin sebagai paket dari kebijakan menaikkan harga BBM bukan merupakan kebijakan yang secara strategis akan mampu mengatasi masalah sosial ekonomi yang timbul akibat tingginya biaya hidup karena meningkatknya harga BBM. Jika menafsirkan bantuan yang diberikan dari program dalam model seperti itu akan meningkatkan akumulasi dana bagi masing-masing kepala keluarga maka bisa dikatakan benar, namun jika mengartikan program-program tadi kemudian akan mampu mengakomodasi kebutuhan hidup keluarga miskin yang jugaakan meningkat secara jangka panjang maka jawabannya adalah tidak tepat.

Jika yang diinginkan adalah menggerakkan masyarakat miskin agar mampu mengatasi masalah ekonomi sebagai akibat dari kenaikan BBM maka dimensi produktivitas kelompok merupakan langkah yang lebih solutif. Menjadikan kelompok masyarakat miskin agar lebih produktif sehingga mereka memiliki kemampuan yang lebih baik untuk meningkatkan daya dukung atas biaya hidup mereka merupakan langkah yang lebih tepat. Memfasilitasi akan lapangan kerja baru dan mengakomodasi kelompok-kelompok dengan keahlian yang minimal dalam kompetisi kerja merupakan langkah stimulasi makro yang dapat lebih menjawab permasalahan akibat masalah kenaikan BBM tersebut. Program-program dalam bentuk ini tidak saja akan mengatasi masalah kesejahteraan ekonomi bagi kelompok masyarakat miskin, namun juga lebih memiliki resiko sosial dalam bentuk konflik horizontal dan vertikal yang minimal. Sehingga implikasi yang dapat dimunculkan kemudian adalah terciptakan pergerakan kelompok sosial yang lebih dinamis dan produktif. Hanya saja, program dalam wujud seperti ini memang tidak akan nampak perubahannya dalam jangka pendek, hal inilah yang menjadikannya berbeda dengan program-program cash transfer yang lebih nampak wujud implementasi dan perubahannya.

Akhirnya, kebijakan adalah persoalan pilihan, dan pilihan dalam aktivitas pemerintahan adalah keputusan politik. Dengan demikian pilihan pemerintah atas dua jenis keputusan ini, menaikkan harga BBM dan program kompensasi bagi kelompok masyarakat miskin merupakan dua pilihan politis yang mencerminkan resiko dan potensi pada masa datang. (ditulis oleh: Simon S. Hutagalung- Dosen FISIP Universitas Lampung).

06 April 2008

Kota dan Konsistensi

Ini salah satu kebingungan saya kepada pemerintah kota (Bandar Lampung). Masih teringat di memory saya kalau pembatas median jalan itu dulu dibangun antara lain untuk mengatasi masalah disiplin pengguna jalan. Supaya penyebrang jalan menggunakan jembatan penyebrangan ketimbang melintas langsung yang dapat membahayakan. Selain itu juga ditujukan agar ada ketertiban antara angkutan kota dengan kendaraan pribadi yang sama-sama menggunakan ruas jalan itu. Pembatas median jalan yang menggunakan bahan besi itu dibangun dari depan pintu sebuah Pusat Perbelanjaan hingga ke depan sebuah toko di ruas jalan Raden Intan. Konon pembangunan itu sendiri memakan biaya Miliaran rupiah. Nah yang mengherankan itu setelah bersusah payah membangunnya, kenapa sekarang justru di potong habis. Sungguh nampak seperti kegiatan yang mubazir, miliaran sudah habis tapi akhirnya dihilangkan nilainya. Kalau saya boleh berpandangan, inilah bentuk nyata pemerintah yang tidak konsisten.
Pemerintah Kota seolah dijalankan tidak dengan komitmen atas suatu prinsip kebijakan, sehingga di satu saat kebijakannya seperti itu namun di saat yang lain kebijakannya justru bertolak belakang dari yang awal. Pemerintah yang bimbang seperti ini yang mengakibatkan kota menjadi semerawut. O ya, tiba-tiba saya jadi teringat tentang tata ruang kota yang menurut seorang teman dari NGO juga menunjukkan gejala yang sama: tidak punya visi dan tidak konsisten. Bahwa kemudian terjadi pola-pola dan fenomena yang tidak berhasil dikelola, seberanya merupakan hasil dari konsistensi kebijakan yang dipilih oleh mereka sendiri. Inilah point yang bisa kita rekomendasikan kepada pengambil kebijakan pada tingkat kota bandar lampung. Ya sudah, mari kita sama-sama saling mengingatkan dan belajar lebih baik. Wassalam.

20 September 2007

Belajar dari Konversi Minyak Tanah

Artikel saya ini dimuat di SKH Lampung Post 1 September 2007

Rencana pemerintah untuk mengonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kiloliter (kl) minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton liquefied petroleum gas (LPG) hingga tahun 2010 mendatang yang dimulai dengan satu juta kl minyak tanah pada 2007 bergulir dengan banyak kontroversi.

Padahal, jika melihat latar belakang ditempuhnya kebijakan ini yang antara lain bertujuan untuk menghemat anggaran sebesar Rp30 triliun yang dikeluarkan untuk subsidi minyak tanah setiap tahun sehingga anggaran tersebut bisa digunakan untuk keperluan lain, seperti pembangunan pendidikan dan infrastruktur, merupakan sebuah kebijakan dengan kandungan tujuan yang sangat baik.

Kontroversi terjadi dalam implementasi kebijakan ini kepada kelompok sasaran (target group) yang dikehendaki terjadi dalam bentuk penolakan terhadap arahan kebijakan yang digulirkan telebih dahulu pada wilayah Jabodetabek. Ada masyarakat yang sejak awal sudah menolak dan ada juga yang awalnya menerima kebijakan ini, dalam wujud menerima kompor dan tabung gas 3 liter, tetapi kemudian beralih kembali menggunakan minyak tanah.--lengkapnya klik judul--

Puncaknya adalah terjadinya unjuk rasa ribuan warga Jabodetabek yang menolak konversi minyak tanah ke gas di depan Kantor Pertamina Pemasaran Unit II Depot Plumpang, Jakarta Utara, pada tanggal 6 Agustus 2007.

Memang pada awalnya kebijakan ini baru dilaksanakan di wilayah tersebut, tetapi melihat niat pemerintah untuk melaksanakan penghematan anggaran belanja negara secara sungguh-sungguh maka kebijakan ini juga akan dilaksanakan pada daerah lain di wilayah Indonesia, termasuk Lampung.

Kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji yang pada tahap awal ini dilakukan di wilayah Jabodetabek tersebut merupakan sebuah kasus kebijakan yang menunjukkan bahwa implementasi sebuah kebijakan sangat bergantung kepada setting sosial, politik dan kultur kelompok masyarakat yang menjadi target sasarannya.

Sebuah kebijakan tidak akan berjalan atau mengalami hambatan yang besar jika tidak sejalan atau tidak mampu memahami setting yang menjadi konteks dari tujuan kebijakan tersebut. Kebijakan yang menurut pembuat kebijakannya memiliki kandungan isi dan tujuan yang baik tetap tidak akan diterjemahkan yang sama oleh kelompok sasaran jika mengabaikan aspek kontekstual dari lokasi kebijakan tersebut.

Dalam kasus kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji ini, paling tidak terdapat tiga situasi yang muncul dari setting sosial, politik dan kultural masyarakat miskin yang menjadi sasaran dari kebijakan ini. Pertama, situasi dari setting sosial. Kehidupan sosial adalah interaksi yang selalu dinamik.

Satu kelompok masyarakat akan selalu berusaha untuk mencari cara dalam mempertahankan eksistensinya. Suatu kelompok masyarakat akan menempuh berbagai pilihan strategi hingga pada rentang waktu tertentu akan memilih suatu pilihan tersebut. Sehingga bisa dijelaskan bahwa dalam kelompok masyarakat yang berbeda akan lebih kental memegang posisi yang menyukai perubahan atau pada posisi yang anti terhadap perubahan.

Masyarakat dihadapkan kepada situasi sosial yang rentan terhadap perubahan akan membiasakan dirinya berada dalam posisi yang resisten terhadap perubahan. Pengalaman sosial mereka yang selalu dihadapkan kepada opini tentang perubahan yang penuh dengan risiko menjadikan kelompok ini selalu pesimis terhadap usaha-usaha yang berusaha untuk merubah kebiasaannya.

Sehingga, meskipun diarahkan oleh kebijakan yang berusaha untuk melakukan perubahan tetapi persepsi sosial mereka mendorong untuk tidak langsung setuju dan ikut serta di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.

Kedua, situasi dari setting politik. Setiap kelompok masyarakat tentu akan memiliki pandangan yang berbeda terhadap pemerintah yang berkuasa. Jika melihat masyarakat sebagai sebuah himpunan individu maka persepsi tersebut tidak terbentuk secara spontan atau dalam derajat waktu yang singkat. Persepsi masyarakat sebagai sebuah himpunan individu terbentuk dalam rentang waktu yang terregenerasi melalui berbagai proses pembelajaran.

Dalam kasus kebijakan ini, kelompok masyarakat miskin yang menjadi target sasaran kebijakan ini sepertinya memiliki cara pandang tersendiri terhadap pemerintah dalam menangani masyarakat miskin. Pengalaman yang mereka miliki tampaknya selalu dihadapkan kepada inkonsistensi dan ambivalensi pemerintah dalam mengakselerasi sebuah kebijakan kemiskinan.

Yang sering terjadi adalah kondisi dimana saat sebuah kebijakan kemiskinan dilaksanakan, tiba-tiba muncul kebijakan turunan atau kebijakan dalam sektor-sektor lain yang bersinggungan dengan kebijakan utama tadi, ternyata tidak sejalan dengan pencapaian tujuan kebijakan utama yang sudah dirancang.

Pada beberapa kasus juga mereka mengalami beberapa kebijakan penanggulangan kemiskinan yang belum secara langsung memberikan implikasi terhadap taraf kemiskinan itu sendiri. Pengalaman-pengalaman tersebut menjadikan mereka sebagai pihak yang pesimis atau bahkan antipati terhadap upaya-upaya dari pemerintah untuk menangani kehidupan mereka.

Ketiga, situasi dari setting kultural. Dalam kasus konversi minyak tanah ini, beberapa kelompok masyarakat miskin tampak sangat melekatkan identitas kelasnya dengan asosiasi minyak tanah. Minyak tanah sebagai sebuah media konsumsi yang sudah digunakan secara turun temurun sangat melekat dengan identitas kelas masyarakat miskin.

Ketika ada sebuah rumah tangga pada lingkungan masyarakat miskin yang menggunakan gas elpiji, maka anggapan kelompok masyarakat tersebut adalah rumah tangga tersebut sudah tidak lagi masuk ke dalam kelas masyarakat miskin. Namun sudah berpindah ke kelas masyarakat yang lebih tinggi lagi.

Identitas minyak tanah sebagai kelas masyarakat miskin ini sebenarnya juga dibentuk oleh kebiasaan mereka untuk mengonsumsi minyak tanah dalam kadar kuantitas yang minim. Bukan dengan membeli dalam skala kuantitas yang banyak. Kelompok masyarakat ini memilih minyak tanah sebagai pilihan identitasnya karena secara nyata lebih bisa memberikan efisiensi dalam kuantitas penggunaannya di rumah tangga.

Pilihan identitas ini pada dasarnya juga dipengaruhi oleh setting sosial dan setting politik yang juga terwarisi di dalam sistem masyarakat dan sistem pemerintahan kita hingga akhirnya menjadi bagian yang sangat melekat dengan kehidupan mereka yang sulit untuk diintervensi melalui sebuah kebijakan tunggal.

Solusi yang dapat ditawarkan terhadap masalah ini adalah dengan komunikasi kebijakan yang intensif dan mendalam. Komunikasi kebijakan yang melibatkan perubahan sosial, politik dan kultural tersebut tidak dapat dilakukan dengan cara yang singkat apalagi sekadar insidental.

Dengan pola yang seperti itu justru yang akan ditafsirkan adalah adanya unsur represif yang hendak dimunculkan di dalam implementasi sebuah kebijakan. Selain itu, komunikasi kebijakan juga tidak dapat dilakukan hanya dengan bentuk intervensi stimulan berupa kompor dan tabung elpiji gratis, karena intervensi seperti itu juga hanya akan dimaknai secara materiil oleh kelompok ini.

Karena, komunikasi kebijakan adalah persoalan persepsi, soal daya serap pikiran yang kemudian menghasilkan sikap dan tindakan maka arus informasi perlu dikelola terhadap hal-hal yang berkaitan dengan transfer kebiasaan kelompok masyarakat tersebut. Pemerintah perlu memberi penjelasan yang utuh dalam dimensi sosial, politik dan kultural yang bersinggungan dengan kebijakan konversi ini dalam bahasa yang dapat diterima oleh mereka.

Termasuk di dalamnya adalah memberikan gambaran tentang betapa urgennya tujuan kebijakan ini dan juga jaminan terhadap kebiasaan baru yang pada dasarnya perlu untuk dikenal jika melihat situasi global yang menuntut adanya pengalihan sumber daya energi.

Melalui komunikasi kebijakan ini, dapat dilihat itikad pemerintah dalam menempatkan kelompok masyarakat miskin, apakah sebagai penerima pasif kebijakan yang sekadar mengikuti kebijakan? Ataukah pada derajat yang lebih tinggi sebagai penerima dan sasaran antara yang kemudian akan melakukan penyesuaian terhadap tranformasi seperti yang dikandung oleh kebijakan tersebut?

Kita tentu berharap agar kasus kebijakan seperti yang terjadi tersebut dapat diperbaiki dengan mengemas kebijakan tersebut sebagai sebuah paket yang indah dan nyaman bagi masyarakat di wilayah negeri ini. Semoga saja.