Showing posts with label sertifikasi guru. Show all posts
Showing posts with label sertifikasi guru. Show all posts

21 October 2008

MASALAH KEBIJAKAN DAN KEBIJAKAN BERMASALAH

Artikelku dimuat SKH Lampung Post, tanggal 21 Oktober 2008

Pada suatu saat, muncul dua persoalan ditengah kehidupan sebuah negara. Persoalan yang pertama adalah keinginan untuk memperpanjang masa jabatan seorang pejabat yudikatif. Berbagai argumen kemudian berkembang melalui media massa, antara yang pro dan kontra terhadap keinginan tersebut. Hingga akhirnya dalam beberapa rentang waktu yang tidak lama, opini tersebut sampai pada para pembuat keputusan, ditafsirkan sebagai sebuah masalah dan menjadi agenda pembahasan yang urgen. Sebagai sebuah masalah, opini yang awalnya hanya menjadi issu berubah menjadi masalah bersama dan menjadi input dari proses pembahasan hingga kemudian menghasilkan output keputusan bersama.

Pada saat yang lain, muncul keluhan dari para guru mengenai sulitnya menikmati janji kesejahteraan, meskipun telah menunggu sekian lama dan baru beberapa tahun ini diberi peluang melalui sertifikasi profesi. Guru yang sudah lulus sertifikasi kemudian harus menunggu lama untuk bisa mendapatkan hak yang menjadi implikasi dari uji sertifikasi tersebut. Sudah harus menunggu bertahun-tahun dan ketika kesempatan terbuka, masih saja diperlambat. Masalah birokratisasi yang tidak efisien dan berlarut-larut dalam program kesejahteraan guru tersebut tidak serta merta sampai pada para pembuat keputusan, tidak dianggap sebagai masalah urgen apalagi menjadi agenda pembahasan yang diharapkan akan menghasilkan keputusan bersama yang dapat menjadi solusi berjangka panjang bagi persoalan tersebut.

Apa yang bisa kita identifikasi dari fakta proses penyelenggaraan negara dalam kedua kasus tersebut?. Ada beberapa hal yang bisa muncul menjadi ulasan menarik, namun penulis hendak melihatnya sebagai sebuah permasalahan proses kebijakan. Dikatakan demikian karena ada persoalan yang timpang di dalam kedua kasus tersebut. Jika kita cermati, kasus pertama merupakan sebuah persoalan bersifat elitis, karena menyangkut kepentingan terhadap posisi jabatan tertentu. Persoalan power sharing dan akomodasi kepentingan ternyata menjadi dasar penguat dari urgensitas isu tersebut untuk berubah menjadi masalah dan ditindaklanjuti sebagai sebuah agenda kebijakan. Sementara itu, kasus kedua merupakan sebuah persoalan yang sangat mendasar. Siapa pun tahu jika pendidikan yang berkualitas membutuhkan daya dukung kapasitas yang memadai, termasuk adalah kesejahteraan pendidik secara nyata. Lalu mengapa kasus pertama lebih cepat menjadi agenda pembahasan dari pengambil keputusan dan menghasilkan sebuah keputusan bersama, ketimbang kasus kedua yang tetap berlarut larut tanpa ada suatu solusi efektif yang berjangka panjang. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kuatnya pengaruh konteks politik terhadap sebuah isu kebijakan akan menentukan berlanjutnya isu tersebut menjadi masalah kebijakan yang kemudian masuk ke dalam ruang formatif proses kebijakan.

Kedua kasus tersebut hanya contoh dari beberapa persoalan kebijakan pada Pemerintahan di Indonesia. Dikatakan sebagai persoalan kebijakan karena persoalan tersebut merupakan bagian dari dinamika formatif proses kebijakan dalam penyelenggaran pemerintahan. Kebijakan sebagai instrumen pengelolaan pemerintahan merupakan mata rantai utama dalam operasionalisasi fungsi kepemerintahan (governance). Sebagai mata rantai utama, maka jika kebijakan itu keliru atau tidak tepat dalam menangani persoalan di dalam negara, konsekuensinya adalah kegagalan pemerintah dalam fungsi implementatifnya. Permasalahan kebijakan yang terjadi umumnya baru dirasakan saat sebuah kebijakan tersebut dilaksanakan, para pembuat kebijakan (policy maker) atau pelaksana (implementor) baru menjerit dan sadar akan kesalahannya ketika terjadi kondisi implementasi yang buruk (bad implementation). Dalam kondisi yang teramat sulit, kebijakan tersebut justru akan menghasilkan penolakan atau pengabaian oleh elemen-elemen yang secara legal terlibat di dalamnya. Dalam konteks ini, pemerintah telah bertindak sangat tidak efektif karena telah mengeluarkan demikian banyak energi untuk suatu kebijakan yang tidak mampu diimplementasikan, apalagi mampu mengatasi masalah kebijakan secara tuntas.

Ada persoalan proses kebijakan yang paling pokok terjadi, yaitu sesuatu yang disebut sebagai kesalahan tipe ketiga; memecahkan masalah yang salah. Kesalahan ini apabila diibaratkan maka akan sama seperti seorang dokter yang salah melakukan diagnosa dari keluhan seorang pasien. Seorang dokter yang terlalu cepat menyimpulkan penyakit pasien, kemudian memberikan obat yang tidak tepat, karena pasien tersebut ternyata menderita penyakit lain, maka akibatnya fatal bagi si pasien. Kesalahan ini terjadi karena penyederhanaan yang berlebihan terhadap proses yang kompleks. Rasionalitas yang dikembangkan terhadap sebuah isu kebijakan dilakukan dengan pilihan yang tidak disadari, tidak kritis serta justru sering mengacaukan secara serius konseptualisasi masalah substantif dan solusinya yang potensial (Hoss, Tribe: 1972). Hadirnya isu kebijakan dari opini dalam masyarakat bersifat kompleks karena menyangkut berbagai faktor yang menjadi latar belakang. Kemampuan untuk mengidentifikasi dan melihat gambaran besar dari faktor tersebut menjadi awal yang menentukan proses selanjutnya.

Seperti dalam kedua kasus yang menjadi contoh. Dalam kasus tersebut dapat muncul banyak pertanyaan, diantaranya; seberapa luas lingkup dan cakupan yang menjadi latar dari munculnya isu tersebut?, Apakah penting meningkatkan isu tersebut menjadi sebuah masalah yang mendesak untuk diselesaikan?, Apakah isu tersebut adalah memiliki implikasi yang sangat kuat dalam mengatasi persoalan yang melatarbelakanginya secara siginifikan?. Melalui pertanyaan itu dapat ditentukan pentingnya isu menjadi masalah dan menjalani proses kebijakan selanjutnya.

Dengan demikian kemampuan analisis kebijakan publik memiliki peran yang sangat menentukan. Kemampuan rasionalitas erotetik dalam mengelola issu, meta masalah dan masalah formal dalam proses kebijakan merupakan penentu utama dalam efektifnya desain sebuah rumusan masalah yang menjadi input dalam proses kebijakan. Melihat banyaknya kebijakan yang bermasalah, maka sudah sepantasnya jika sebagai pelaku kebijakan, pemerintah pusat, daerah dan stakeholder yang lainnya memiliki perhatian yang lebih baik dalam konteks ini. Kemampuan untuk memahami masalah sebagai bagian besar dari mengatasi keseluruhan persoalan merupakan modal untuk menciptakan kebijakan publik yang lebih baik.

Tidak perlu berhenti untuk belajar tentang hal ini, karena negara sehebat Amerika Serikat pun bisa mengalami kegagalan menganalisis isu dan masalah, sehingga pengabaian terhadap identifikasi terjadinya subprime mortgage yang beberapa tahun lalu dilakukan akhirnya mengakibatkan krisis finansial yang mengguncang. Saya rasa kita bisa memahami tentang pentingnya studi kebijakan publik, khususnya dalam kemampuan untuk memahami masalah kebijakan, sebelum semakin banyak kebijakan yang bermasalah.

14 June 2008

Sertifikasi Tak Selamatkan Guru

Artikelku dimuat di SKH Lampung Post tgl 19/06/2008


Saya tersenyum saat membaca salah satu berita Lampung Post tanggal 4/6/2008 yang bertajuk “Sertifikasi Guru Dijadikan Proyek”. Senyum ini bukan tanda kegembiraan, hanya ekspresi ironis dari sesama pendidik. Keheranan itu sama seperti keheranan ketika melihat banyaknya program-program pemerintah dengan tujuan yang baik namun gagal atau kurang berhasil saat implementasinya dilapangan. Program-program dalam berbagai sektor tidak hanya menghasilkan efek-efek yang diharapkan sebelumnya, namun juga menghasilkan efek-efek yang tidak pernah diduga. Misalnya penyimpangan dalam proses penyaluran (missdelivery), ketidaksigapan instrumen pelaksana (uncapable), dan munculnya celah-celah kecurangan yang berusaha untuk memotong rantai proses dengan tidak fair.

Meskipun demikian, masih harus dibuktikan kebenaran pernyataan mengenai kolusi antara peserta sertifikasi 2007 dalam penilaian portofolio oleh assessor (penilai) yang bertujuan memberikan kelulusan murni dengan angka maksimal 850 sehingga tidak harus mengikuti diklat selama satu pekan di Bandar Lampung tersebut. Dalam beberapa kasus sosial saat ini, kecurigaan seperti itu bisa saja didorong oleh tingkat stress sosial yang tinggi akibat desakan kebutuhan hidup yang meningkat lalu memberikan stimulasi negatif kepada kelompok masyarakat untuk memiliki tingkat individualisme yang juga meningkat dan turunnya toleransi serta kompromi dalam interaksi sosial sehingga kemudian memunculkan prasangka-prasangka negatif yang membiaskan persoalan dari fakta sebenarnya.

Hal ini juga yang menjadi salah satu celah dalam implementasi kebijakan sertifikasi yang memiliki dua bentuk tujuan yang implikatif, yaitu: meningkatkan kesejahteraan guru dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Secara logis kedua tujuan tersebut membentuk siklus yang tersambung, sehingga titik awal bisa dimulai dari salah satunya lalu kemudian berimplikasi pada tujuan yang lain. Tidak ada yang keliru dalam format logika tersebut, hanya saja kebijakan sertifikasi tersebut terjebak pada paradigma administratif yang berlapis-lapis. Paradigma administratif tersebut menjadikan guru sebagai sebuah objek prosedural yang harus memenuhi banyak rincian syarat administratif untuk mencapai klasifikasi yang harus dicapai guna pencapaian tujuan yang lainnya.

Dalam kebijakan sertifikasi di Indonesia, siklus yang dimulai dari adanya inventarisasi atas kualitas penyelenggaraan pendidikan (ditunjukkan dengan skor) merupakan prasyarat untuk peningkatan kesejahteraan (tunjangan profesi). Muncul juga beberapa bentuk rincian syarat invensi yang selama ini langka bagi kalangan guru, misalnya seminar dan karya tulis. Guru yang selama ini memiliki paradigma sederhana tentang pembelajaran mengalami jarak kapasitas yang jauh untuk mengejar kesenjangan tersebut. Sehingga akibatnya kemudian, guru harus membagi waktunya untuk mencari syarat-syarat administratif tersebut melalui cara-cara tertentu. Pada beberapa kasus, muncul oknum yang kemudian memanfaatkan kondisi tersebut dan menghasilkan data yang tidak valid untuk menunjukkan kapasitas dari guru tadi. Muncul tindakan-tindakan negatif seperti pemalsuan berkas, jual beli komponen berkas, bahkan tindakan kolutif di dalam proses administratif tersebut.

Saya setuju dengan konsep bahwa pendidikan yang bermutu memiliki kaitan kedepan (Forward linkage) dan kaitan kebelakang (Backward linkage). Forward linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera (Fasli Djalal: 2007). Backward linkage yang salah satunya ditentukan oleh keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat merupakan elemen utama yang memang harus menjadi perhatian utama dalam kebijakan pendidikan. Fakta di negara maju lain yang menempatkan issue sumber daya pendidik sebagai bagian terbesar dalam kebijakan pendidikan mereka merupakan salah satu resep utama dalam meningkatkan kemampuan kompetitif sumber daya bangsanya. Dari alokasi dan distribusi anggaran negara, manajemen karir pendidik, dan regenerasi kapasitas pendidik merupakan dimensi pokok yang menjadi point utama.

Namun yang justru berkembang kini adalah kuatnya paradigma administratif dalam kebijakan pendidikan kita. Paradigma administratif yang sangat kental di dalam pengelolaan tenaga pendidik di Indonesia yang dimaksud, salah satunya merujuk kepada kuatnya instrumen dan tolok ukur birokratis dalam menilai proses pendidikan. Pendidikan yang dinilai berdasarkan kelengkapan berkas dan skor evaluatif sebagai tolok ukur untuk menilai seorang guru tergolong berkualitas atau tidak, cenderung mengabaikan aspek yang sebenarnya dari pendidikan itu sendiri. Kalau paradigma pendidikan behavioristik selama ini dianggap kurang baik dan muncul perubahan pandangan menuju paradigma konstruktivis maka pendekatan yang kemudian digunakan untuk mengevaluasi proses pendidikan tadi justru tidak menghasilkan kemajuan filosofis. Guru justru terjebak untuk mengejar berkas-berkas administratif guna menunjukkan kualitas dirinya, ketimbang tindakan-tindakan konstruktivis yang benar-benar mendorong pemberdayaan kapasitas guru dalam proses pendidikan.

Paradigma administratif dalam ruang pendidikan ini kemudian berubah menjadi bentuk birokratisasi pendidikan. Sebagai salah satu prospek negatif dari hal tersebut adalah terkontaminasinya dunia pendidikan oleh patologi birokrasi yang secara erat menempel dalam birokrasi yang belum sehat. Dalam satu rangkaian yang sama, patologi tersebut justru merusak proses pendidikan yang diselenggarakan. Jika pendidikan merupakan sebuah ruang yang kontemporer maka pada sisi yang lain birokrasi merupakan ruang yang memang disusun secara rigid, tidak membuka peluang yang besar terhadap semangat konstruktivisme yang justru hendak dibangun oleh wacana pendidikan saat ini.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa evaluasi terhadap kapasitas guru yang memang merupakan sebuah keniscayaan untuk menghasilkan backward linkage yang bermutu. Namun, pengelolaan yang terlalu kental dengan suasana yang salah justru akan menjadikan pengelolaan pendidikan tersebut tidak mampu mengembangkan diri secara positif. Infeksi yang perlahan muncul dari patologi birokrasi justru akan membiaskan nilai yang hendak dicapai dari kebijakan pendidikan itu sendiri.

Karenanya, kebijakan ini juga sebaiknya memperhatikan secara cermat persoalan administratif itu di dalam pengelolaannya. Guru harus dilihat sebagai entitas sosial yang memiliki kepentingan untuk diakomodasi namun bukan berarti memberi ruang adanya interaksi negatif. Kontrol yang ketat dan jelas di dalam proses tersebut diselenggarakan sebagai sebuah upaya untuk menjaga integritas pendidikan. Jika memang sertifikasi tersebut hendak menyelamatkan guru agar lebih memiliki kapasitas nyata maka proses di dalamnya tersebut juga harus dijaga dari gejala-gejala infeksi patologis yang berdampak buruk. Jika gejala-gejala patologis tersebut tidak dijaga maka kebijakan sertifikasi tersebut sama sekali tidak menyelamatkan guru. (artikel ini ditulis oleh: Simon S. Hutagalung- Dosen FISIP Universitas Lampung: 2008).