Artikel ini dimuat di SKH Radar Lampung, 29 Agustus 2007
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah di Gedung DPR tanggal 23 Agustus 2007 membacakan keterangan pemerintah mengenai kebijakan pembangunan daerah. Dia juga menyinggung pemekaran daerah yang hingga tahun 2007 telah menghasilkan 173 daerah otonom, terdiri dari tujuh provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota.
Disebutkan juga, berdasar evaluasi, 148 daerah otonom baru itu banyak menghadapi permasalahan. Antara lain penyerahan pembiayaan personel, peralatan dan dokumen (P3D), batas wilayah, dukungan dana kepada daerah otonom baru, mutasi PNS ke daerah otonom baru, serta pengisian jabatan dan tata ruang.
Evaluasi yang dilakukan Departemen Dalam Negeri dan dikutip Presiden SBY tersebut mencerminkan kekhawatiran atas pemekaran daerah yang ternyata tidak hanya menghasilkan implikasi yang baik. Namun, juga implikasi yang tidak diinginkan sebelumnya (unintended impact).
Latar belakang pembentukan daerah otonom baru yang disinyalisasi lebih mengedepankan motif politis tersembunyi justru merugikan masyarakat yang tercakup dalam daerah baru tersebut. Tujuan positif dari pembentukan daerah otonom baru malah menjadi sebuah hipotesis yang tidak terbukti atau bahkan gagal.
Ada beberapa data lagi yang dapat menggambarkan kondisi pembentukan daerah otonom baru tidak serta merta memberi perubahan baik kepada masyarakat daerahnya. Pertama, pembentukan daerah otonom baru memberikan implikasi terhadap pengelolaan kelembagaan nasional. Bahwa daerah otonom di Indonesia menjadi bertambah jumlahnya sehingga menghasilkan struktur yang lebih banyak adalah suatu hal yang jelas. Namun bertambahnya struktur tersebut juga membawa konsekuensi besar terhadap pengelolaan sumber daya kelembagaan. (lengkapnya klik judul diatas)
Dalam hal sumber daya keuangan misalnya. Pembentukan daerah baru ternyata memberikan implikasi bagi kebijakan fiskal nasional. Wujud dari implikasi ini dikemukakan Dirjen Perimbangan Keuangan Depkeu Mardiasmo yang melihat keberadaan daerah otonom baru akan mengurangi alokasi dana perimbangan yang diterima daerah yang telah ada.
Dengan alokasi anggaran kepada daerah yang harus memperhatikan kemampuan anggaran negara dan dengan bertambahnya daerah-daerah otonom baru, yang juga harus memperoleh anggaran perimbangan, mengakibatkan pemerintah pusat memilih merasionalisasi alokasi anggaran. Sehingga, penyesuaian yang dilakukan dalam pengalokasian anggaran perimbangan memberikan dampak kepada daerah-daerah yang sudah ada sebelumnya.
Kedua, dalam pembangunan kelembagaan daerah. Beberapa daerah otonom baru mengalami masalah dalam aspek pembangunan kelembagaannya. Hal ini berkaitan dengan sumber daya (SDM, finansial, dan administratif) yang diperlukan untuk membangun infrastruktur dan fasilitas pada daerah baru tersebut.
Dalam unsur sumber daya finansial (anggaran) misalnya, anggota BPK Baharuddin Aritonang menyebutkan, merujuk temuan BPK terhadap daerah otonom baru, kinerja keuangan daerah pemekaran baru memprihatinkan. Selain mengandalkan dana dari pusat, daerah baru hasil pemekaran juga kekurangan SDM yang mau menjadi aparatur pemerintahan.
Sebanyak 83 persen dari 148 daerah hasil pemekaran, kondisi keuangan daerahnya tidak memenuhi syarat pengelolaan anggaran yang berlaku. Sehingga akhirnya pemekaran daerah bukannya meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah, tetapi justru menggerogoti keuangan negara. Walaupun teorinya untuk memudahkan pelayanan rakyat, tapi praktiknya dana publik malah habis terserap untuk dana politik (Tempo Interaktif, 26/4/2007).
Bisa dipahami bahwa membangun kapasitas sumber daya yang mampu mewujudkan tujuan dari pembentukan daerah otonom baru itu memang tidak mudah. Perlu rangkaian proses yang direncanakan secara matang dan terarah. Hanya, terkadang kesiapan sumber daya dalam pengelolaan otoritas daerah baru tersebut tidak dilakukan demikian. Cara pandang yang lebih mendasarkan kepada strategi politik okupasi, yaitu kuasai dulu baru kemudian diatur, adalah paradigma yang bisa menyulitkan daerah baru untuk mulai berkembang.
Ketiga, dalam penggerakkan kapasitas daerah. Beberapa daerah otonom baru hasil pemekaran justru mengalami masalah dalam menggerakkan kapasitas daerahnya. Penyebabnya, setelah pemekaran dilakukan kerja sama ekonomi masyarakat justru melemah, skala produksi mengecil, dan persaingan antardaerah menguat. Akibatnya, biaya ekonomi membesar dan lokasi geografis kurang mendukung kegiatan ekonomi. Kesejahteraan masyarakat juga menurun akibat perlambatan kegiatan ekonomi masyarakat.
Kondisi ketenagakerjaan setelah pemekaran provinsi justru lebih buruk dibanding sebelum pemekaran. Pemekaran daerah seharusnya meningkatkan kesejahteraan daerah lama dan baru. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kegiatan ekonomi menurun dan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi (Tempo, 20/9/2006).
Ketiga kondisi tersebut merupakan fakta yang menunjukkan pemekaran daerah belum tentu secara langsung mencapai tujuan seperti diargumentasikan dalam proposal pembentukan daerah otonom baru. Pemekaran daerah yang bisa menghasilkan dampak tidak diinginkan, merupakan prakondisi yang sebaiknya menjadi pertimbangan sebelum proposal pemekaran diajukan.
Karenanya pembentukan daerah otonom baru sebaiknya tidak dilakukan pada daerah yang masih mengalami masalah dalam pengelolaan pemerintahan daerahnya. Juga tidak dilakukan pada daerah yang masih memerlukan dukungan pengembangan dari daerah induk untuk lebih memiliki kesiapan kapasitas.
Pembentukan daerah otonom baru sebaiknya dilakukan sebagai jalan terakhir bagi daerah-daerah yang sudah memiliki tingkat kapasitas sumber daya yang baik secara kuantitas dan kualitas. Sehingga nantinya, daerah otonom baru tersebut mampu berkompetisi dengan daerah lainnya di dalam pengelolaan potensi dalam wilayahnya.
Yang lebih penting lagi adalah dengan adanya ketegasan dalam pembentukan daerah otonom baru ini, maka tidak akan lagi dimaknai sebagai sebuah okupasi yang berlandas primordial tertentu. Karenanya, selain diperlukan kearifan dari komponen lokal, juga diperlukan ketegasan dari pemerintah pusat dalam bentuk kebijakan yang lebih baik.
Untuk itu, revisi terhadap PP 129 Tahun 2000 yang memang lebih berdimensi kuantitas dan menafikan aspek kualitas masih kita nantikan untuk lebih mampu memberikan jaminan atas masa depan daerah otonom baru yang akan diusulkan oleh beberapa daerah. Yang juga kita tunggu implementasinya adalah penerapan dari pasal 6 UU No. 32 Tahun 2004 yang memberi peluang bagi daerah otonom untuk dihapuskan atau digabungkan kembali dengan daerah induknya jika tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah setelah melalui proses evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Akhirnya, kita sebagai sebuah warga masyarakat pasti selalu berharap kalau segala tindakan akan menghasilkan sesuatu yang positif pada masa datang. Tindakan yang diputuskan secara tergesa dan buta tentunya justru akan membawa kita sebagai warga masyarakat kepada keadaan yang tidak lebih baik. Karenanya, setiap peluang yang sudah diberikan dalam negara demokrasi ini sebaiknya diambil secara berhati-hati. Agar tidak ada sesal di depan nanti, mari kita lihat semua ini secara jernih
No comments:
Post a Comment