Pada tanggal 26 Januari 2008 ribuan pelamar berkompetisi dalam seleksi rekrutmen CPNSD di Propinsi Lampung. Meskipun pada periode ini juga dilakukannya rekrutmen langsung terhadap tenaga honorer yang memenuhi persyaratan namun tetap saja nampak minat masyarakat masih besar. Sebenarnya tidak hanya dalam konteks CPNSD saja, juga rekrutmen oleh Departemen dan Lembaga Vertikal lainnya yang menunjukkan gejala sama tiap rekrutmen terbuka. Apakah salah?, Tidak. Lalu apa masalahnya?. Inilah yang hendak dijawab dalam tulisan ini.
Dalam sebuah kajian yang penulis lakukan setidaknya ada beberapa alasan kenapa masyarakat meminati sektor ini. Pertama, image yang masih kuat terhadap PNS yang merupakan bagian dari pemerintah. PNS lebih tinggi nilainya dalam kehidupan sosial masyarakat. Bekerja sebagai aparatur pemerintah dianggap lebih memiliki nilai prestise yang tinggi ketimbang pada sektor swasta, posisi tawar seorang PNS akan lebih meningkat nilai sosialnya di dalam struktur masyarakat. Hal ini sebenarnya dapat menjadi motivasi yang bisa menunjang produktivitas kinerja PNS apabila di tunjang dengan distribusi tugas yang tepat dan terarah, sehingga setiap aparatur mampu memaksimalkan perannya di dalam struktur sosial masyarakat. Sebaliknya image tersebut akan berubah negatif jika aparatur tersebut tidak mampu memberikan kontribusi yang baik dalam pelaksanaan peran pemerintah kepada masyarakat. Hal tersebut justru akan menguatkan gambaran yang tidak baik tentang PNS. Sehingga akhirnya hanya diminati oleh sumber daya manusia yang kurang berkualitas atau yang memiliki semangat kerja rendah.
Kedua, janji akan masa depan yang terjamin karena sulitnya dilakukan PHK terhadap PNS dan adanya pensiun yang dapat dirasakan ketika tidak lagi berstatus PNS. Menjadi PNS dianggap memiliki tingkat stabilitas yang lebih jelas ketimbang pada sektor swasta misalnya, meskipun tidak berlebihan, namun jaminan akan stabilitas ini tetap menjadi daya pikat utama. Hal ini merupakan bentuk motivasi yang dapat memberikan jaminan hadirnya dan terselenggaranya peran pemerintah di dalam masyarakat. Namun juga dapat menghasilkan stagnansi kinerja jika aparatur tersebut juga bersikap stagnan dalam kinerjanya. Sistem insentif yang belum sepenuhnya berorietasi kepada produktivitas kinerja yang adil dianggap menjadi faktor dominan yang mempengaruhi aparatur untuk memiliki tingkat income yang lebih baik apabila mereka memiliki derajat kinerja yang dinamis.
Ketiga, terbukanya kesempatan untuk menikmati fasilitas-fasilitas negara, seperti rumah dinas, mobil dan motor dinas atau beasiswa dan sebagainya. Negara memang memfasilitasi aparaturnya untuk dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas dinas yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja aparatur tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugasnya, meskipun seringkali distribusi fasilitas ini tidak terkelola secara baik namun adanya janji akan fasilitas ini juga menjadi daya tarik. Hal ini juga merupakan bentuk motivasi positif namun juga mampu menjadi potensi konflik bila tidak terkelola dengan baik. Menjadi motivasi internal apabila seorang aparatur berusaha untuk menikmati fasilitas tersebut dengan cara menghasilkan kontribusi kinerja yang lebih besar terhadap instansinya. Namun juga dapat menjadi potensi konflik apabila tidak adanya kejelasan dan konsistensi aturan dalam pemanfaatan fasilitas-fasilitas tersebut. Seringkali yang lebih menjadi dasar adalah pertimbangan senioritas struktural sehingga akhirnya justru dapat melemahkan motivasi aparatur yang tadinya berkeinginan untuk berkinerja secara lebih baik.
Dalam sebuah kajian yang penulis lakukan setidaknya ada beberapa alasan kenapa masyarakat meminati sektor ini. Pertama, image yang masih kuat terhadap PNS yang merupakan bagian dari pemerintah. PNS lebih tinggi nilainya dalam kehidupan sosial masyarakat. Bekerja sebagai aparatur pemerintah dianggap lebih memiliki nilai prestise yang tinggi ketimbang pada sektor swasta, posisi tawar seorang PNS akan lebih meningkat nilai sosialnya di dalam struktur masyarakat. Hal ini sebenarnya dapat menjadi motivasi yang bisa menunjang produktivitas kinerja PNS apabila di tunjang dengan distribusi tugas yang tepat dan terarah, sehingga setiap aparatur mampu memaksimalkan perannya di dalam struktur sosial masyarakat. Sebaliknya image tersebut akan berubah negatif jika aparatur tersebut tidak mampu memberikan kontribusi yang baik dalam pelaksanaan peran pemerintah kepada masyarakat. Hal tersebut justru akan menguatkan gambaran yang tidak baik tentang PNS. Sehingga akhirnya hanya diminati oleh sumber daya manusia yang kurang berkualitas atau yang memiliki semangat kerja rendah.
Kedua, janji akan masa depan yang terjamin karena sulitnya dilakukan PHK terhadap PNS dan adanya pensiun yang dapat dirasakan ketika tidak lagi berstatus PNS. Menjadi PNS dianggap memiliki tingkat stabilitas yang lebih jelas ketimbang pada sektor swasta misalnya, meskipun tidak berlebihan, namun jaminan akan stabilitas ini tetap menjadi daya pikat utama. Hal ini merupakan bentuk motivasi yang dapat memberikan jaminan hadirnya dan terselenggaranya peran pemerintah di dalam masyarakat. Namun juga dapat menghasilkan stagnansi kinerja jika aparatur tersebut juga bersikap stagnan dalam kinerjanya. Sistem insentif yang belum sepenuhnya berorietasi kepada produktivitas kinerja yang adil dianggap menjadi faktor dominan yang mempengaruhi aparatur untuk memiliki tingkat income yang lebih baik apabila mereka memiliki derajat kinerja yang dinamis.
Ketiga, terbukanya kesempatan untuk menikmati fasilitas-fasilitas negara, seperti rumah dinas, mobil dan motor dinas atau beasiswa dan sebagainya. Negara memang memfasilitasi aparaturnya untuk dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas dinas yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja aparatur tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugasnya, meskipun seringkali distribusi fasilitas ini tidak terkelola secara baik namun adanya janji akan fasilitas ini juga menjadi daya tarik. Hal ini juga merupakan bentuk motivasi positif namun juga mampu menjadi potensi konflik bila tidak terkelola dengan baik. Menjadi motivasi internal apabila seorang aparatur berusaha untuk menikmati fasilitas tersebut dengan cara menghasilkan kontribusi kinerja yang lebih besar terhadap instansinya. Namun juga dapat menjadi potensi konflik apabila tidak adanya kejelasan dan konsistensi aturan dalam pemanfaatan fasilitas-fasilitas tersebut. Seringkali yang lebih menjadi dasar adalah pertimbangan senioritas struktural sehingga akhirnya justru dapat melemahkan motivasi aparatur yang tadinya berkeinginan untuk berkinerja secara lebih baik.
Keempat, adanya pandangan yang melihat posisi sebagai PNS bisa menjadi batu loncatan pada aktivitas yang lain. Menjadi seorang aparatur negara sudah pasti akan bersinggungan dengan banyak pihak dengan beragam kepentingan, interaksi tersebut kemudian berkembang menjadi bentuk-bentuk hubungan simbiosis yang menghasilkan banyak pertukaran manfaat. Jika dianalisis secara jangka panjang maka hal ini memberi motivasi yang baik namun jika melihatnya secara pragmatis justru akan memberikan implikasi yang tidak baik bagi birokrasi karena yang bersangkutan akan bersikap simplistik dan oportunis. Aparatur dengan motivasi yang demikian umumnya akan selalu berusaha untuk menggunakan statusnya guna menghasilkan manfaat pribadi yang lebih besar ketimbang manfaat bagi kinerja instansinya. Sehingga akhirnya orientasi kinerjanya lebih dominan pada pemenuhan kepentingan pribadi ketimbang instansinya.
Kelima, adanya pandangan yang melihat bahwa meskipun pendapatannya variatif namun posisi sebagai PNS menjanjikan adanya pendapatan ekstra yang terkadang lebih besar dari gaji pokok. Pandangan ini cukup mengherankan karena apabila dianalisis lebih lanjut maka pendapatan ekstra yang dimaksud sebenarnya bisa terbagi menjadi dua; yang legal dan yang ilegal. Pada saat ini memang dimungkinkan bagi Instansi Pemerintah untuk mengalokasi bentuk-bentuk pendapatan ekstra kepada aparatur pemerintah dalam bentuk reward yang berdasarkan kepada kinerja. Namun jika yang dimaksudkan adalah pendapatan yang ilegal semacam uang kutipan, pelicin, pungli, suap dan lainnya yang sejenis maka hal tersebut menjadi sebuah pertanda yang tidak baik terhadap masa depan birokrasi. Jika kategori pendapatan ekstra yang pertama maka hal tersebut akan memberikan motivasi yang baik bagi kinerja aparatur dengan catatan mekanisme reward tersebut telah memiliki desain yang baik. Untuk Pemerintah Daerah misalnya bisa menggunakan Permendagri No 59 Tahun 2007 sebagai dasar pemberian reward bagi aparatur dengan klasisfikasi tertentu. Namun jika kategori pendapatan ekstra yang kedua, maka hal tersebut justru akan merusak birokrasi tersebut. Birokrasi akan menjadi sistem yang tidak fair, korup dan tidak akan pernah berorientasi kepada khitahnya yaitu kerja pelayanan publik.
Keenam, adanya pandangan yang melihat dengan menjadi PNS merupakan jalan untuk secara cepat meningkatkan derajat kesejahteraan, caranya dengan menggadaikan SK ke bank dan menghutang sejumlah rupiah untuk membangun rumah atau membeli mobil. Meskipun dalam faktanya banyak sekali aparatur pemerintah yang menempuh jalan ini, namun sikap ini sekaligus mencerminkan cara pandang yang simplistik, mengambil suatu manfaat secara cepat tanpa mempertimbangkan implikasi jangka panjangnya. Persoalan ini sebenarnya didorong oleh kondisi sistem birokrasi kita yang memang belum mampu memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan dasar aparatur pemerintahnya padahal jika kita berpikir secara mendasar dengan menggunakan konsep motivasi, untuk mencapai tingkat motivasi kinerja yang tertinggi, yaitu kepuasan sosial maka akan terlebih dahulu berawal dari pertimbangan terpenuhinya kebutuhan dasar. Jika seorang aparatur belum merasa terpenuhi maka jalan yang lebih dahulu diprioritaskan adalah memilih jalan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Jika motivasi ini tidak terkelola secara baik maka akan berpengaruh terhadap kinerja birokrasi karena seorang aparatur akan mempersepsikan kerja-kerja birokrasi sebagai pilihan bukan sebagai tugas pokoknya.
Dari uraian tersebut dapat dianalisis bahwa motivasi yang dimiliki oleh masing-masing aparatur yang berawal semenjak rekrutmen, turut memberikan dampak terhadap masalah-masalah birokrasi yang selama ini diidentifikasi secara negatif. Motivasi-motivasi ini sebenarnya dikembangkan oleh interaksi dalam masyarakat dan dilatarbelakangi oleh masih lemahnya sistem birokrasi, termasuk adalah sistem sumber daya manusia aparatur pemerintah di negeri ini. Seperti di dalam uraian sebelumnya, konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari motivasi yang beragam tersebut dapat terjadi secara nyata karena didorong oleh implementasi dari peraturan Manajemen SDM yang kurang baik.
Sistem pengelolaan SDM Pemerintah kita memang belum terlalu mengakomodasi adanya pertimbangan yang proporsional berdasarkan kinerja yang mampu dan telah dihasilkan oleh seorang aparatur melalui suatu mekanisme yang terukur yang di kendalikan secara konsisten. Kenaikan gaji dan tunjangan-tunjangan yang dilakukan secara periodik dan minimal oleh pemerintah pusat, menunjukkan bahwa perbaikan dalam Manajemen PNS ini lebih di dorong oleh kepentingan politis ketimbang latar belakang keinginan yang sungguh-sungguh untuk mereformasi sistem ini secara tuntas. Dalam otonomi daerah sebenarnya hal ini dapat dilakukan dalam beberapa aspek pada level pemerintah daerah, namun permasalahannya dalam peluang tersebut adanya kemungkinan penolakan dari beberapa aparatur yang terganggu kepentingannya. Meskipun sebenarnya kuncinya adalah political will pemimpin daerah untuk mewujudkan tingkat kompetisi kerja yang lebih baik dan adil bagi aparatur birokrasinya.
Masalah dalam motivasi terhadap kerja PNS yang terbentuk sebagai cara pandang dan bersikap seorang aparatur ini sepertinya merupakan permasalahan budaya yang terbentuk sebagai akibat dari benturan kebutuhan pribadi dan fakta yang dihadapinya di dalam interaksi masyarakat. Masyarakat sebagai tempat lahirnya birokrasi yang didukung oleh permasalahan dalam fungsi norma legal formal yang dihasilkan oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan, juga turut memberikan pengaruh terhadap kondisi birokrasi. Masalah-masalah dalam komponen-komponen itulah yang mengakibatkan masih berputarnya lingkaran setan sehingga akhirnya tetap menjebak birokrasi pada persoalan yang sama. Lalu, kapan reformasi birokrasi akan tuntas?. Kuncinya ada pada pembuat kebijakan, birokrasi dan juga masyarakat.
Oleh; Simon S. Hutagalung (Staf Pengajar FISIP Universitas Lampung)
Artikelku dimuat di SKH Lampung Post tanggal 28 Januari 2008.
No comments:
Post a Comment