08 February 2008

Banjir dan Tragedy of The Common

Terinspirasi sama banjir, nguprekin notebook buat tulisan, terus dikirim ke media lokal (saingannya media langganan tulisanku: bagian dari *****group) kok belum dimuat ya... malah yg gak jelas dimuat, ah... dasar ****post network, seleranya jadul.., ya sudah di sini duluan deh..

Banjir datang lagi ditengah hiruk pikuk peristiwa sejarah Indonesia. Sebagai tamu yang selalu datang di negeri ini semestinya banjir tidak lagi menjadi berita besar. Semestinya kita sudah akrab menangani masalah alam yang satu ini, kehadirannya pun hampir pasti setiap tahunnya. Dalam konteks banjir yang terjadi pada awal Februari ini, penyebabnya memang dikarenakan faktor curah hujan yang tinggi. BMG sebelumnya telah memperkirakan bahwa curah hujan akan tinggi dan Bulan desember hingga Februari. Disebutkan bahwa penyebab utama cuaca ekstrem ini adalah akibat adanya fenomena yang disebut Osilasi Madden-Julian yang terjadi bersamaan dengan banyaknya awan sehingga kombinasinya menghasilkan curah hujan yang tinggi (Kompas: 18/01/08).

Kondisi tersebut memang tidak dapat dihentikan atau dicegah. Namun jika melihat fenomena banjir ini sebenarnya bukan merupakan sekedar kejadian yang kebetulan.
Fenomena negatif yang terjadi pada masa modern ini terjadi dalam bingkai hukum sebab akibat yang membentuk hubungan implikatif. Banjir yang terjadi ini didorong oleh banyak sebab yang terjadi sebelumnya. Dengan demikian banjir bukan sekedar persoalan fenomena alam. Banjir juga merupakan bagian dari rangkaian fenomena sosial, politik dan ekonomi. Banjir dalam konteks tersebut merupakan salah satu efek dari over-eksploitasi manusia terhadap sumber daya bersama pendukung kehidupan (common life resources). Konfrensi PBB Untuk Perubahan Iklim (UNCCC) yang baru beberapa bulan lalu selesai dilaksanakan di Bali sudah menghasilkan paparan-paparan yang dapat menjadi petunjuk untuk menjelaskan terjadinya fenomena cuaca ekstrem yang juga diakibatkan oleh ulah manusia yang keliru dalam memperlakukan alam. Sikap over-ekspolitasi terhadap sumber daya pendukung kehidupan dapat dilihat dalam wujud deforestasi yang tinggi, konsumsi bahan bakar fosil yang tinggi dan penggunaan bahan kimia tidak ramah sebagai fasilitas masyarakat modern. Masyarakat sebagai sebuah himpunan individu sosial ekonomi nampak hendak memaksimalkan manfaat dari sumber daya bersama pendukung hidup tersebut namun enggan atau tidak memberikan kompensasi balik atas semangat eksploitasi yang tinggi tersebut. Sebagai akibat dari perilaku berlebihan tersebut, masyarakat tersebut kemudian menanggung suatu kejadian yang disebut oleh Garret Hardin (1968) sebagai Tragedy of The Common.

Kondisi tersebut merupakan sebuah perangkap sosial yang terjadi sebagai akibat dari semangat individu untuk memaksimalkan keuntungan dari pemanfaatan suatu sumber daya yang dinikmati secara bersama. Tragedi of the common terjadi ketika masing-masing individu di dalam masyarakat berusaha secara over-aktif untuk memanfaatkan sumber daya bersama (common) tersebut, sehingga kemudian dalam rentang waktu tertentu justru mengakibatkan semakin minimalnya kapasitas sumber daya bersama yang dapat dimanfaatkan tersebut. Akibat dari tindakan masing-masing pihak yang tidak memberikan toleransi dengan landasan maksimasi keuntungan ekonomis tersebut adalah menurunnya kemampuan sumber daya itu untuk memberikan manfaat yang berkelanjutan. Jika melihat lebih jauh implikasi lanjutan dari akibat tersebut, fenomena alam dan sosial yang tidak biasa dan terjadi di tengah masyarakat dapat memberikan gambaran betapa luasnya akibat dari perilaku sosial, ekonomi dan politik dari komunitas manusia ini terhadap tatanan kehidupan yang sudah ada.

Jika merujuk kepada maksud dari sumber daya bersama tersebut, maka yang tercakup tidak hanya hutan dan udara seperti yang dimaksud sebelumnya. Dalam kasus banjir ini, over-eksploitasi pihak yang memaksimalkan kepentingan dan kegagalan pemerintah untuk menjadi pengatur interaksi pihak-pihak tersebut juga terjadi dalam pemanfaatan ruang. Perilaku manusia kota yang membuang sampah sembarangan di sungai, pemukiman yang tidak menyediakan daerah resapan dan drainase yang seimbang ditambah dengan tidak sebandingnya pemanfaatan lahan dalam wujud alih fungsi dengan kapasitas natural dari kota tersebut, mengakibatkan efek tidak mampunya sumber-sumber daya tersebut mengatasi fenomena alam yang juga secara paralel diakibatkan perilaku manusia yang tidak terkendali. Pada kasus di Jakarta misalnya, ketidakmampuan lahan untuk menyerap air hujan yang datang secara melimpah atau juga seperti yang pernah terjadi dikarenakan banjir kiriman dari daerah hulu yang berada di kota-kota sekitar Jakarta dan tidak mampu mengalir secara lancar melalui irigasi di Jakarta merupakan gambaran terjadinya kombinasi akibat dari perilaku tersebut.

Solusi yang paling utama dalam mengatasi atau mencegah terjadinya kejadian tersebut adalah dengan menegaskan kembali peran pemerintah melalui fungsi regulasinya. Sebagai pemegang otorisasi dari interaksi ekonomi-sosial-politik masyarakat, pemerintah memiliki fungsi untuk membatasi tingkat pemanfaatan sumber daya bersama yang dapat digunakan oleh masing-masing pihak. Wujud dari ini sudah dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk perijinan, pembatasan dan pelarangan pemanfaatan terhadap sumber-sumber daya bersama. Dalam konteks ini pemerintah adalah aktor yang secara langsung ditaati oleh masyarakat. Hanya saja permasalahan yang kemudian muncul dan mengakibatkan tidak efektifnya intervensi tersebut adalah inkonsistensi pemerintah itu sendiri dalam menciptakan, mengimplementasi dan melengkapi sistem regulasi pada masing-masing sektor dan lingkup spesifik dari sumber-sumber daya bersama tersebut.

Tingkat pembalakan liar yang tinggi meski sudah ada perangkat hukumnya, Tingginya tingkat polusi akibat bahan bakar fosil dan bahan kimia yang dominan, perilaku membuang sampah di sungai yang sebenarnya sudah di atur dalam regulasi hingga tingkat daerah (perda) namun tidak pernah tereksekusi, atau penyalahgunaan fungsi lahan di kota ataupun daerah yang sebenarnya struktural sudah di atur dalam kebijakan nasional dan daerah namun akibat dominannya kepentingan ekonomis yang ditawarkan kemudian, menjadikan perangkat regulasi tersebut unimplemented. Kasus-kasus tersebut merupakan gambaran tentang tidak efektifnya intervensi yang dilakukan kepada interaksi pemerintah dan masyarakat di dalam negara. Memang dalam konteks politik ekonomi, latar belakang tidak efektifnya fungsi tersebut juga di dorong oleh faktor eksternal dari lingkup yang lebih luas. Kepentingan negara lain atau swasta asing terhadap suatu sumber daya tertentu dapat memancing pemerintah untuk sengaja tidak konsisten demi pencapaian tujuan kepentingan yang ditawarkan sebagai kompensasi atas ekspolitasi sumber daya tersebut.

Banjir yang terjadi ini juga demikian. Perilaku manusia yang demikian ekspansif secara perlahan telah memberikan kontribusi terhadap kondisi cuaca ekstrim dan juga sekaligus mengakibatkan minimalnya kapasitas sumber daya yang lainnya untuk mengatasi terjadinya gejala alam tersebut. Nampaknya benar bahwa, alam tidak pernah memberikan bencana tanpa sebab dan terkadang penyebab terjadinya bencana tersbeut adalah akibat dari ulah manusia yang sudah diberi mandat untuk mengelola alam dan seisinya ini secara adil. Sudah saatnya kita sebagai komponen masyarakat memiliki komitmen dan konsistensi dalam memanfaatkan sumber daya pendukung hidup yang ada secara adil. Pada sisi lain yang lebih kuat, pemerintah juga perlu memiliki paradigma yang lebih kuat terhadap pengelolaan masyarakat, kepentingan dan kondisi sumber-sumber daya yang dimiliki. Sebagai aktor kebijakan, sikap konsisten dan tegas dalam melaksanakan regulasi tersebut perlu dijadikan nilai utama dalam pemerintahan dan seperti biasa hal ini dapat dimotori dari pucuk pimpinan.


oleh: Simon S. Hutagalung (Pengajar FISIP Universitas Lampung)

No comments: