28 March 2008

Birokrasi Yang Cantik

Artikelku dimuat di SKH Radar Lampung Tanggal 17 Maret 2008
................................
Pada tanggal 12 Maret 2008, saudara Arizka Warganegara menulis pada SKH Radar Lampung ini mengenai penataan kembali organisasi Pemerintah Daerah dengan acuan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007. Tulisan tersebut cukup unik karena dipaparkan secara indah dengan menggunakan tema dari film Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang fenomenal itu sebagai insiprasi nilai normatifnya. Substansi yang ingin dipaparkan sebenarnya adalah berkaitan dengan kontekstual politik birokrasi yang terjadi dalam kebijakan penataan organisasi tersebut. Bahwa selalu akan terjadi keguncangan institusional yang dialami oleh beberapa pejabat akibat pergeseran posisi dan hilangnya posisi jabatan yang dimiliki sebelumnya. Sehingga dengan semangat nilai normatif, yaitu sabar dan iklas sebagaimana yang disiratkan dari film AAC tersebut birokrat semestinya dapat melihat kondisi tersebut secara lebih realistis.

Penulis melihat persoalan dilema sebenarnya tidak hanya terjadi di dalam kontekstual politik birokrasi sebagaimana yang dipaparkan oleh saudara Arizka tersebut. Namun juga terjadi dalam konteks yang lebih substantif, yaitu isi (content) dari kebijakan tersebut yang secara logis juga memengaruhi orientasi kerja birokrasi tersebut. Jika dilihat secara cermat maka dapat diidentifikasi bahwa Peraturan Pemerintah tersebut mengatur hal-hal yang berkaitan dengan organisasi yang dapat dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Cakupannya adalah tipologi, nomenklatur, besaran organisasi, serta variabel, indikator dan mekanisme untuk mendesain kuantitas instansi di dalam sturktur organisasi tadi.

Melihat dari adanya metode dan mekanisme untuk menghasilkan sejumlah instansi pada level pemerintah daerah tersebut maka dapat dikatakan bahwa birokrasi yang sebenarnya dikehendaki dari kebijakan itu menganut pola birokrasi yang terkendali (controlized bureauchracy) dalam aspek struktural. Dalam pola ini, birokrasi dibentuk berdasar pertimbangan yang terukur dan mengikuti desain normatif yang direncanakan sebelumnya secara rigid. Apa yang sebenarnya menjadi tujuannnya?. Sangat jelas dikatakan dalam bagian penjelasan dari PP tersebut bahwa dengan mekanisme seperti itu yang hendak diwujudkan adalah birokrasi yang efisien, efektif dan rasional. Namun benarkah demikian?. Perlu digaris bawahi bahwa minimnya struktur tidak selalu sama dengan birokrasi yang efisien. Persoalan efisiensi, efektifitas dan rasionalitas sebenarnya bukan pada tataran struktur semata, namun pada konteks penggunaan sumber-sumber daya operasional. Kesimpulannya, meski struktur kecil namun jika boros dalam menggunakan anggaran maka tetap saja tidak akan efisien, efektif dan rasional. Hal ini yang sebenarnya belum diakomodasi sebagai sebuah paket restrukturisasi birokrasi. Jika menghendaki efisiensi dalam aspek penggunaan sumber daya tersebut, ternyata PP itu tidak disertai dengan kebijakan penurunan kuantitas staf (PNS) pada birokrasi pemerintah daerah yang memang secara radikal akan memberikan tingkat efisiensi lebih nyata. Artinya, peraturan pemerintah ini memang hanya sebatas mengatur kuantitas instansi dalam organisasi pemerintah daerah namun tidak akan sangat efektif untuk mewujudkan nilai normatif yang menjadi tujuannya.

Urgensi terhadap reformasi birokrasi semestinya tidak lagi berkutat pada persoalan struktur yang sudah 3 kali berganti secara formal (PP 84/2000, PP 8/2003 dan PP 41/2007) semenjak otonomi daerah diimplementasikan. Mestinya dalam perjalanan otonomi yang sudah berjalan ini, lebih diarahkan kepada aspek pembenahan aspek administrasi dan manajemen pada struktur pemerintahan tersebut. Karena justru dalam aspek inilah letak inefisiensi, efektivitas dan irasionalitas tersebut terjadi.

Dilema sebenarnya terjadi bukan hanya pada tataran politik birokrasi sebagaimana yang dikemukakan oleh saudara Arizka, namun juga pada persoalan meletakkan sudut pandang tentang organisasi yang efisien, efektif dan rasional tersebut. Persoalan struktur sebenarnya bukan merupakan satu-satunya komponen yang memiliki tingkat relevansi utama dalam mewujudkan organisasi normatif tersebut, karena ketiga prinsip tersebut sebenarnya berhubungan dengan bagaimana sumber daya yang dimiliki tersebut diolah sehingga memiliki tingkat hasil yang lebih tinggi/ baik. Sehingga titik tekan sebenarnya ada pada; Pertama, pada bagaimana agar sumber daya organisasi itu digunakan secara tepat. Ketidakakuratan proses perencanaan dapat mengakibatkan tidak tepatnya pencapaian sasaran dan tujuan dari kegiatan yang dilaksanakan dan secara logis sumber daya yang habis digunakan dalam kegiatan tersebut juga menjadi mubazir. Karenanya proses perencanaan dalam manajemen pemerintahan merupakan prasyarat yang justru akan banyak memberikan implikasi di dalam proses-proses yg efisien, efektif dan rasional tersebut.

Kedua, pada bagaimana agar sumber daya itu dikelola untuk memberikan hasil yang memang berkualitas. Hal ini juga berkaitan dengan kapasitas manajemen pemerintahan yang menjadi implementor langsung ataupun tidak langsung dalam kinerja. Kapasitas manajemen dalam hal ini berkaitan dengan menghasilkan output dan outcome secara tepat, berkualitas dan bisa dipertanggungjawabkan. Dalam konteks ini jugalah yang sebenarnya menjadi penyumbang besar masalah inefisiensi dalam birokrasi. Kinerja dalam manajemen yang belum kuat kapasitasnya menjadikan pengendalian terhadap proses kerja dan keluaran dari kinerja tersebut menjadi tidak tepat, tidak berkualitas dan kurang bisa dipertanggungjawabkan. Ambil saja contoh aktivitas pembangunan jalan yang sering kali berumur rendah sehingga dalam waktu yang singkat harus diperbaiki kembali dengan dana APBD yang sebenarnya bisa dihemat jika saja pengerjaan awalnya memang berkapasitas baik.

Ketiga, pada bagaimana agar sumber daya tersebut diarahkan pada sesuatu yang memiliki manfaat lebih banyak dan baik. Dalam banyak kasus selama ini penggunaan sumber daya organisasi digunakan secara konsumtif dengan pertimbangan yang terkadang tidak logis jika melihat nilai kemanfaatannya. Kasus-kasus pengadaan peralatan dan kelangkapan pemerintahan yang tidak seimbang dengan kapasitas penggunaan dan hasil yang dapat dimaksimalkan melalui peralatan dan kelangkapan tersebut justru sering terjadi. Sebut saja, pembelian mobil sedan dinas mewah pada sebuah kabupaten terkategori miskin dengan infrastruktur jalan yang buruk atau pengadaan laptop mewah bagi staf pemda yang digunakan untuk kebutuhan perkantoran dasar. Kunci pada aspek ini sebenarnya berkaitan dengan kepemimpinan birokrasi yang mengendalikan secara normatif pandangan-pandangan prioritatif dan realistis dalam mengarahkan posisi relasi sosial birokrasi dengan lingkungan administratifnya.

Jika memandang bahwa reformasi birokrasi bisa dicapai dengan melakukan perubahan struktur, maka sampai ratusan kali pun struktur organisasi pemerintah daerah itu dirubah, namun jika tidak meletakkan persoalan efisiensi, efektifitas dan rasionalitas tersebut pada sudut pandang pengelolaan dan penggunaan sumber daya organisasi (organizational resources) maka tidak akan pernah terwujud prinsip normatif tadi. Yang jelas ini bukan mimpi, contohnya Kabupaten Jembrana yang terbukti sukses dengan strategi efisiensi penggunaan anggaran tersebut sehingga melalui langkah kecil yang inspiratif seperti menjadikan rumah dinas bupati menjadi guest house yang disewakan atau tetap menggunakan kendaraan hardtop sederhana sebagai mobil dinas bupati, akhirnya berimplikasi pada birokrat-birokrat dan aspek lainnya, sebagai hasilnya anggaran dari efisiensi tersebut mampu mensubsidi kebutuhan dasar warganya yang menikmati pendidikan dan kesehatan gratis bahkan sebelum kedua isu tersebut marak saat musim pilkada ini.

Saya teringat sebuah jargon dari Shumpeter yang mengatakan bahwa “small is beautiful” jika saja bertemu beliau maka akan saya katakan “its not about big or small, but beautiful”. Ya, semestinya kita tidak lagi berkutat dengan debat mengenai besar atau kecil, tapi adalah kualitas yang selalu diarahkan agar menjadi “lebih cantik”. Ya, birokrasi yang seharusnya dibentuk adalah “birokrasi yang cantik” (beautiful bureauchracy). Ini juga yang sebenarnya disiratkan dalam Novel dan Film Ayat-Ayat Cinta yang digunakan sebagai gagasan moral oleh saudara Arizka, prinsip yang diajarkan dari tokoh Fahri dan Aisha, bahwa bukan kuantitas atau bentuk rupa yang utama namun menempatkan kualitas “kecantikan” internal sebagai keutamaan dalam pandangan dan berinteraksi, sehingga niscaya selalu akan membawa kebaikan bagi semua pihak.

No comments: