26 July 2008

PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI ARUS POLITIK

Dua buah pesta demokrasi berlangsung sekaligus, tahapan pemilihan gubernur dan kampanye pemilu 2009 sedang berjalan. Tebaran pesona dan gagasan bertebaran dalam pesta yang terlaksana di tengah fakta bahwa provinsi ini adalah termiskin kedua. Lampung memang unik, provinsi termiskin kedua namun pesta demokrasinya demikian megah dan nampak kontras dengan latar belakang yang ada. Kemiskinan dalam pesta tersebut memang akan menjadi jualan yang banyak dipakai oleh kontestan. Pandangan tentang kemiskinan dan ide untuk mengatasi kemiskinan adalah pertanyaan yang bisa saja memunculkan jawaban baru nan cerdas namun bisa juga hanya mengulang gagasan yang sudah terbukti tidak berhasil. Meski muncul keraguan, nampaknya ada satu ide yang prospek untuk dihembuskan dalam berdebat tentang masalah tersebut, yaitu dalam wujud nyatanya berupa program pengembangan masyarakat (community development) yang mengintegrasikan pendekatan humanis, sosial dan kultural untuk mengatasi masalah masyarakat dalam satuan komunitas.

Salah satu solusi kebijakan yang berkembang dalam mengatasi kemiskinan adalah pengembangan program-program yang dirumuskan oleh pemerintah dan stakeholder yang mengadopsi dan mengadaptasi prinsip pengembangan masyarakat (community development) untuk menciptakan kondisi keberdayaan di dalam komunitas masyarakat itu sendiri. Dalam prinsip tersebut masyarakat dipandang sebagai himpunan individu yang memiliki standar norma berbeda sebagai hasil dari kearifan lokal yang hidup lewat pengalaman bersama dalam sebuah komunitas. Kearifan lokal dalam hal ini merupakan bentuk interpretasi atas masalah sosial ekonomi yang kemudian menciptakan berbagai bentuk solusi unik untuk mengatasi masalah tersebut.

Dalam prinsip ini, individu dalam masyarakat adalah entitas yang secara de facto memiliki potensi untuk menjadi katalis peubah bagi komunitasnya sendiri. Aset dalam bentuk sumber daya manusia, finansial, ekonomi, politik dan kultur merupakan segala sesuatu yang existing dan berkembang dalam kehidupan kesatuan kolektif. Sebagai sebuah aset, sumber daya tersebut tumbuh dalam derajat optimalisasi yang berbeda, aset finansial bisa saja tinggi dalam sebuah komunitas namun akibat dari rendahya derajat aset sumber daya manusia yang ada mengakibatkan kondisi aset yang tidak mampu meningkat bahkan kemudian menurun. Dalam contoh itu, aset sumber daya manusia dalam bentuk wawasan, ilmu dan keahlian perlu untuk di tingkatkan kapasitasnya sehingga kemudian akan berimplikasi pada proses kerja dan berlanjut kepada keluaran yang dihasilkan dari proses kerja optimum itu, yaitu kapasitas finansial yang lebih meningkat. Demikian selanjutnya pada jenis aset lainnya. Perspektif ini sebenarnya sudah diadaptasi ke dalam program-program pengembangan masyarakat dalam sektor yang umum maupun spesifik. Bahkan kemudian pemerintah daerah pun mengadaptasi program dengan pendekatan sejenis ke dalam program dan proyek pembangunan yang ditetapkan dalam APBD pemerintah daerah tersebut.

Lalu bagaimana dengan hasil dari program tersebut?. Kalau output dimaksud itu dalam bentuk fisik maka bisa dikatakan hampir semua program itu mencapai target. Namun, bagaimana dengan keluaran (outcome) pendekatan pengembangan masyarakat yang berdaya dan melekat di dalam program tersebut?. Masyarakat yang terhimpun dalam program tersebut memang ikut serta pada aktivitas program. Tapi setelah program tersebut selesai, masyarakat kembali pada kondisi semula. Kalaupun terjadi perubahan maka perubahan itu tidak simultan, jika yang menjadi tolok ukur perubahan adalah kondisi fisik maka jelas terjadi perubahan. Tapi, jika melihat kepada makna dari pengembangan masyarakat, maka program sejenis ini tidak sepenuhnya berhasil melaksanakan prinsip pengembangan masyarakat tersebut. Program seperti itu, khususnya yang dikembangkan oleh pemerintah daerah adalah sekedar program yang memanfaatkan masyarakat untuk ikut aktif dalam aktivitas, bukan memberdayakan dalam arti yang bermuatan motivasi dan inisiatif. Inilah point-nya, kegagalan program pengembangan masyarakat ini karena tidak penuh memperhatikan perubahan cara pandang dan pikir komunitas secara konsisten. Pendekatan temporer dan cenderung materialistik menjadikan perubahan yang tidak menyeluruh.

Problem dalam pendekatan tersebut menghasilkan reaksi yang tidak baik di dalam tatanan norma komunitas masyarakat itu sendiri. Masyarakat sebagai target sasaran dalam program yang tidak konsisten dengan prinsipnya tersebut kemudian terfragmentasi secara pragmatis. Contohnya, dalam program berbentuk insentif produksi, ternyata dalam beberapa kasus terkendala persoalan mindset keliru yang terlanjur berkembang. Program sejenis yang terlanjur diboncengi oleh muatan politik materialis menjadikan masyarakat memiliki pemahaman yang simplistik dan instan dalam menghadapi persoalannya. Masyarakat yang terlibat dalam program itu cenderung tidak ingin repot dengan hal-hal selain aspek finansial yang menjadi target dalam program tersebut. Bahkan kemudian, terjadi pula politisasi di lapangan antara pelaksana dengan kelompok masyarakat yang berlangsung secara tidak sehat.

Selain salah kaprah dalam implementasi prinsip tersebut, program pengembangan masyarakat, khususnya yang dirumuskan oleh pemerintah daerah dengan tema yang mencerminkan identitas lokal spesifik juga tidak mencerminkan kekhususan tertentu. Program yang dirumuskan oleh pemerintah daerah itu semestinya mencerminkan nilai-nilai lokal yang terwujud dalam terakomodasinya kearifan lokal ke dalam pengembangan aktivitas program. Program pengembangan masyarakat dengan identitas lokal perlu direorientasikan dari penerapan instrumen dan metode yang baru atau asing menuju kepada penerapan instrumen dan metode yang sudah ada dan mampu dikuasai oleh masyarakat lokal berlandaskan kearifan lokal. Karena itu, bentuk program yang diwujudkan kepada komunitas masyarakat dapat mengakomodasi kultur yang hidup dalam cara pikir dan pandang masyarakat dalam komunitasnya itu sendiri.

Munculnya permasalahan dalam implementasi program pengembangan masyarakat selama ini pula yang ikut berkontribusi terhadap tingkat kemiskinan yang terjadi. Masyarakat tidak pernah diarahkan untuk benar-benar keluar dari kemiskinan. Secara logis, apabila masyarakat itu merasa nyaman untuk mengoptimalkan aset yang sudah mereka miliki dengan cara yang sudah mereka kuasai maka mereka juga akan merasa nyaman untuk mengoptimalkan kapasitas diri. Dalam tahap selanjutnya ketika mereka sudah memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan kapasitasnya maka pemecahan terhadap problem kemiskinan dapat diatasi oleh mereka sendiri, tanpa perlu adanya repitisi program yang akhirnya tidak berdampak baik dalam masyarakat. Inilah yang sekaligus menjadi tantangan pemikiran bagi calon pengambil kebijakan pada tingkat provinsi Lampung nantinya. Artikel ini ditulis oleh: Simon S. Hutagalung: Alumni Community Development Course, University of Kentucky USA.

2 comments:

infogue said...

artikel anda :

http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/pengembangan_masyarakat_di_arus_politik

promosikan artikel anda di www.infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler menurut pembaca.salam blogger!!!

Kang Boim said...

waduh udah kagak kuat ni baca tulisan yang berat2 ...he...hee