23 August 2008

Golput dan Trust Building

Ada kekhawatiran yang muncul diantara pengamat dan praktisi politik di Lampung menjelang pemilihan gubernur yang sebulan lagi dilaksanakan. Perdebatan tentang golput, penyebab dan akibatnya kemudian muncul di media. Wajar saja jika kemudian kekhawatiran itu terjadi, jika mengingat partisipasi politik juga berpengaruh terhadap kuantitas suara yang akan diperebutkan oleh Kandidat Gubernur Lampung. Terlebih lagi jika melihat ada tujuh pasang yang secara bersama bersaing menarik minat masyarakat pemilih untuk memilih mereka. Dengan jumlah kandidat yang banyak tersebut tingkat kompetisi untuk mencapai suara dominan seperti yang diatur dalam peraturan pilkada akan sangat ketat, bahkan banyak yang memprediksi akan terjadi putaran kedua dalam pilgub Lampung.

Jika kita melihat kepada fakta tentang golput itu, maka dapat disimpulkan bahwa tren suara golput saat ini justru sangat besar. Mari kita melihat beberapa data tentang golput ini pada beberapa pilkada tingkat provinsi yang terlaksana di beberapa daerah yang telah lalu. Pada pilkada Jawa Barat yang memberikan kejutan dengan kalahnya calon incumbent ternyata menghasilkan angka golput sebesar 32,6 %. Sementara itu pada pilkada Sumatera Utara yang juga mengejutkan ternyata angka golput dalam pilkada itu mencapai 41 %.Pilkada Jateng yang menghasilkan angka golput sebesar 45.25 %. Demikian juga dengan pilkada Jawa Timur putaran pertama yang menunjukkan fenomena tumbangnya partai dominan di Jatim, ternyata angka golput mencapai 40%. Sungguh mencengangkan jika dibandingkan dengan standar minimal suara untuk dinyatakan unggul dalam pilkada, yaitu 30% suara.

Maka sangat wajar jika kemudian banyak prediksi terhadap daerah Lampung tentang partisipasi politik dan jumlah suara golput yang mungkin dapat muncul dalam pilgub di awal Ramadhan nanti. Sebenarnya, golput bukanlah sebuah permasalahan sosial atau dalam kata lain sebagai sebuah pembangkangan sosial terhadap hak sebagai warganegara. Golput adalah sebuah fakta demokrasi yang muncul sebagai pilihan rasional dalam masyarakat modern. Kalau rasionalitas dianggap sebagai pilihan dengan kualitas manfaat yang diharapkan (expected benefit) maka golput bermakna sebagai pilihan yang dianggap lebih memberikan manfaat. Maksudnya, golput dalam himpunan individu merupakan sebuah kutub yang berhadapan dengan pilihan untuk memilih. Ketika pilihan untuk memilih dipandang dan dirasa memberikan manfaat yang menarik maka himpunan individu tersebut akan bergerak untuk mengambil manfaat tadi. Sebaliknya, jika himpunan individu tadi melihat pilihan untuk memilih itu tidak akan memberi manfaat, maka sangat rasional jika golput kemudian terjadi.

Golput sebagaimana yang muncul semakin membesar dalam pesta demokrasi pasca reformasi memang mengerucut kepada alasan antipati dan ketidakpercayaan (distrust) terhadap mekanisme kontestasi politik sebagai agenda perubahan yang berujung kepada nyatanya manfaat yang diharapkan (expected benefit) oleh masyarakat pemilih itu. Mekanisme kontestasi politik sebenarnya merupakan media interaksi pendidikan politik dalam kehidupan bernegara. Sebagai sebuah media interaksi, posisi horizontal seharusnya lebih berkembang. Artinya, muncul kesetaraan harapan antara kontestan politik dengan audiensnya. Proses interaksi dalam media tersebut kemudian memunculkan adanya transaksi horizontal yang mengikat secara politis. Namun, fakta yang kemudian terjadi adalah terjadinya pola yang tidak sehat dalam kontestasi politik tersebut. Saluran politik yang menjadi kendaraan bagi kontestan untuk berkompetisi ternyata tidak menjadi katalisator yang baik. Ditambah lagi, media interaksi yang ternyata diciptakan secara ilusif dengan menafikan posisi setara yang mestinya terjadi diantara kedua posisi politis itu. Kontestan justru cenderung untuk menghipnosis masyarakat pemilih dengan transaksi yang abstrak dan “seolah-olah”. Sementara pada sisi yang lain, masyarakat pemilih ditarik ke dalam fragmentasi jangka pendek yang menjadi tangan gurita bagi kontestan tadi.

Tidak hanya itu, antipati dan ketidakpercayaan terhadap politik juga terjadi akibat perputaran rejim pasca reformasi yang sibuk berkutat dengan kepentingan yang tidak jelas. Besarnya harapan yang muncul di awal reformasi juga menandakan besarnya beban perubahan yang mestinya diwujudkan oleh rejim berkuasa. Harapan berganti seiring dengan rejim yang juga berganti. Ketika rejim sebagai sebuah produk politik itu dianggap tidak mencapai manfaat yang diharapkan (expected benefit) maka minat masyarakat pemilih terhadap proses dan mekanisme politik yang menghasilkan rejim tersebut menjadi terdegradasi secara reduktif. Perlahan tapi pasti, kampanye bawah tanah terhadap rasionalitas golput menjadi salah satu pandangan yang berkembang dalam masyarakat saat ini. Jika demikian, apakah golput berarti sebuah patologi dalam politik?. Ya, golput adalah sebuah patologi dalam politik yang tidak bisa dibantah. Masyarakat pemilih tidak bisa disalahkan atas terjadinya patologis tersebut, karena masyarakat bertindak reaktif atas gejala abnormal yang memang muncul dan dirasakan terhadap saluran, proses dan mekanisme politik yang secara aktif terjadi dikehidupan mereka.

Lalu, apa obat untuk patologi tersebut?. Siapa saja yang bisa mengatasi patologi itu?. Jika kita melihat pangkal dari golput adalah reaksi atas tidak tercapainya manfaat yang diharapkan dari proses politik yang diikuti oleh mereka, atau sebagai akibat dari tidak dipercayanya transaksi dan produk yang dihasilkan dari transaksi tersebut, maka perlu adanya pembangunan kepercayaan (trust building) di dalam institusi dan mekanisme politik. Institusi politik sebaiknya kembali pada salah satu khitah dasar yang akhir ini semakin tidak nyata, yaitu sebagai lembaga pendidikan politik yang memberikan contoh pembelajaran dalam tindakan yang memang mewakili kebutuhan masyarakat pemilih. Sangat mungkin jika lembaga politik sebagai sebuah saluran karir politik memberikan keterbukaan ruang bagi transaksi yang tumbuh secara horizontal dari masyarakat pemilih. Kekeliruan terbesar dari mekanisme politik saat ini adalah melihat pencapaian tujuan politik sebagai sebuah investasi materi sehingga kemudian memunculkan usaha-usaha oligarkis yang secara faktual justru sangat berjarak dengan keinginan horizontal dari himpunan masyarakat.

Pembangunan kepercayaan (trust building) dalam hal ini wujudnya adalah, jangan hasilkan saluran, mekanisme dan produk politik yang tidak berasal dari kebutuhan masyarakat. Membangun kepercayaan memang bukan hal yang mudah, toh lebih mudah untuk membentuk fragmentasi elit baru di tengah masyarakat pemilih ketimbang membangun kepercayaan horizontal di dalam himpunan masyarakat luas. Tapi saya percaya, sekali kita memiliki kepercayaan masyarakat maka untuk seterusnya kepercayaan itu akan menjadi modal yang kuat dalam kepemimpinan. Pertanyaannya sekarang, adakah yang mau memulai proses ini?. Semoga ada. ( Penulis: Simon s. Hutagalung: Dosen FISIP Universitas Lampung).

4 comments:

Anonymous said...

bagaimana pun juga ya tetep aja GOLPUT...

hidup golput

Sianturi said...

golput memang meningkat, karena rakya t sangat kecewa dengan pemerintahan saat ini yang tidak becus mngelola ekonomi. Namun KPU juga ikut membuat banyak pemilih jadi golput karena pendataan pemilih yang kacau balau

Anonymous said...

Budaya yang tidak baik kali
Golput

Anonymous said...

Golput buaday yang tidak baik