Artikelku ini dimuat di SKH Radar Lampung, Senin 26 Mei 2008.
Sebagai paket kebijakan, pemerintah menggelontorkan BLT kepada kelompok masyarakat miskin yang diidentifikasi akan menderita akibat kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebenarnya dua kebijakan tersebut, yaitu menaikan harga BBM dan kompensasi terhadap kelompok masyarakat miskin merupakan dua kebijakan yang tidak terintegasi secara langsung. Kenaikan BBM dan program kompensasi atas kenaikan harga BBM tidak membentuk hubungan yang solutif. Dalam kata lain kebijakan kompensasi atas kenaikan harga BBM tersebut tidak lebih sebagai tindakan impulsif dari pemerintah untuk meredam efek politis yang timbul akibat pilihan tidak populer. Setidaknya terdapat beberapa logika yang mengarahkan simpulan kepada hal tersebut.
Pertama, program kompensasi dengan bentuk dan model yang sudah ada, terbukti memiliki ketidakefektivan. Sering diketemukan terjadinya ketidaktepatan sasaran (misstargeting), tidak tepat jumlah (missquantity) dan tidak tepat waktu penyaluran (missdelivery) serta beberapa persoalan penyaluran yang lainnya. Bentuk-bentuk penyaluran yang seperti ini memiliki kerentanan tidak hanya kepada diterimanya subsidi tersebut kepada kelompok sasaran sehingga mereka bisa mengatasi secara efektif tingginya kebutuhan hidup akibat kenaikan BBM. Namun juga, bentuk program yang demikian memiliki kerentanan untuk menghasilkan konflik horizontal pada tingkat masyarakat. Adanya kesenjangan kapasitas antara birokrasi penyaluran pada tingkat atas dan pada tingkat terendah menjadikan pengelolaan subsidi ini rentan untuk mengalami distrorsi. Bukan hanya kerentanan akan adanya penyelewengan yang nyata, namun ekspektasi yang tinggi dari masyarakat terhadap penyaluran program itu yang tidak sebanding dengan kapasitas penyaluran tersebut menimbulkan tuntutan yang tidak terimplementasi secara baik oleh implementor, sehingga akhirnya menimbulkan konflik horizontal yang menghasilkan kerugian sosial ekonomi.
Kedua, bentuk program cash transfer dalam model tersebut (membagikan secara langsung) terbukti tidak berkorelasi langsung dengan pemanfaatan konsumsi yang efektif bagi kelompok sasaran yang dimaksud. Fakta yang sering dijumpai adalah dana yang diperoleh oleh masyarakat tersebut digunakan secara bervariasi sesuai dengan keinginan penerimanya. Padahal maksud dari rumusan program ini agar dana tersbeut digunakan secara efektif untuk menutupi selisih biaya hidup yang semakin berjarak dengan kenaikan BBM. Artinya, program dalam format ini justru tidak mampu memberikan solusi jangka panjang yang dapat menggerakkkan kelompok masyarakat miskin agar mampu bergerak dari garis kemiskinan yang semakin menurun akibat implikasi dari kenaikan komoditas konsumsi sebagai bagian dari efek domino kenaikan BBM. Dengan demikian, program-program dalam bentuk seperti ini sebenarnya tidak berkorelasi langsung sebagai bentuk tindakan untuk menangani kemiskinan akibat kenaikan BBM sebagaimana yang dimaksud oleh pemerintah.
Ketiga, format subsidi yang diperuntukkan bagi kelompok terkategori masyarakat miskin yang teridentifikasi sebagai kelompok penderita kenaikan BBM justru akan menciptakan pergeseran kelas yang semakin melebar pada kategori masyarakat miskin tersebut. Dalam kata lain, masyarakat miskin justru akan semakin meningkat. Kenapa?. Jika dilihat secara terkelompok, klasifikasi kategori masyarakat miskin sebagai penerima kompensasi tersebut akan memberikan peluang untuk menambah insentif bagi selisih biaya hidup yang harus ditanggung oleh masing-masing rumah tangga. Sementara itu, terdapat kelompok masyarakat yang berada di luar dari kategori masyarakat miskin tersebut namun tidak tercover oleh subsidi kompensasi ini justru memiliki kerentanan yang juga meningkat. Desakan untuk mengatasi selisih biaya hidup tersebut yang menjadikan kelompok masyarakat menengah ini untuk bergerak masuk ke dalam kategori masyarakat miskin yang nantinya akan menerima kompensasi. Jadi, kebijakan menaikkan BBM dan memberikan kompensasi kepada satu kelompok terendah justru akan menimbulkan efek meningkatknya kuantitas masyarakat miskin dan kemudian berimplikasi terhadap meningkatnya nilai kompensasi yang harus diberikan kepada kelompok tersebut.
Ketiga alur pikir tersebut menunjukkan bahwa kebijakan untuk menyalurkan program-program kompensasi kepada kelompok masyarakat miskin sebagai paket dari kebijakan menaikkan harga BBM bukan merupakan kebijakan yang secara strategis akan mampu mengatasi masalah sosial ekonomi yang timbul akibat tingginya biaya hidup karena meningkatknya harga BBM. Jika menafsirkan bantuan yang diberikan dari program dalam model seperti itu akan meningkatkan akumulasi dana bagi masing-masing kepala keluarga maka bisa dikatakan benar, namun jika mengartikan program-program tadi kemudian akan mampu mengakomodasi kebutuhan hidup keluarga miskin yang jugaakan meningkat secara jangka panjang maka jawabannya adalah tidak tepat.
Jika yang diinginkan adalah menggerakkan masyarakat miskin agar mampu mengatasi masalah ekonomi sebagai akibat dari kenaikan BBM maka dimensi produktivitas kelompok merupakan langkah yang lebih solutif. Menjadikan kelompok masyarakat miskin agar lebih produktif sehingga mereka memiliki kemampuan yang lebih baik untuk meningkatkan daya dukung atas biaya hidup mereka merupakan langkah yang lebih tepat. Memfasilitasi akan lapangan kerja baru dan mengakomodasi kelompok-kelompok dengan keahlian yang minimal dalam kompetisi kerja merupakan langkah stimulasi makro yang dapat lebih menjawab permasalahan akibat masalah kenaikan BBM tersebut. Program-program dalam bentuk ini tidak saja akan mengatasi masalah kesejahteraan ekonomi bagi kelompok masyarakat miskin, namun juga lebih memiliki resiko sosial dalam bentuk konflik horizontal dan vertikal yang minimal. Sehingga implikasi yang dapat dimunculkan kemudian adalah terciptakan pergerakan kelompok sosial yang lebih dinamis dan produktif. Hanya saja, program dalam wujud seperti ini memang tidak akan nampak perubahannya dalam jangka pendek, hal inilah yang menjadikannya berbeda dengan program-program cash transfer yang lebih nampak wujud implementasi dan perubahannya.
Akhirnya, kebijakan adalah persoalan pilihan, dan pilihan dalam aktivitas pemerintahan adalah keputusan politik. Dengan demikian pilihan pemerintah atas dua jenis keputusan ini, menaikkan harga BBM dan program kompensasi bagi kelompok masyarakat miskin merupakan dua pilihan politis yang mencerminkan resiko dan potensi pada masa datang. (ditulis oleh: Simon S. Hutagalung- Dosen FISIP Universitas Lampung).
Sebagai paket kebijakan, pemerintah menggelontorkan BLT kepada kelompok masyarakat miskin yang diidentifikasi akan menderita akibat kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebenarnya dua kebijakan tersebut, yaitu menaikan harga BBM dan kompensasi terhadap kelompok masyarakat miskin merupakan dua kebijakan yang tidak terintegasi secara langsung. Kenaikan BBM dan program kompensasi atas kenaikan harga BBM tidak membentuk hubungan yang solutif. Dalam kata lain kebijakan kompensasi atas kenaikan harga BBM tersebut tidak lebih sebagai tindakan impulsif dari pemerintah untuk meredam efek politis yang timbul akibat pilihan tidak populer. Setidaknya terdapat beberapa logika yang mengarahkan simpulan kepada hal tersebut.
Pertama, program kompensasi dengan bentuk dan model yang sudah ada, terbukti memiliki ketidakefektivan. Sering diketemukan terjadinya ketidaktepatan sasaran (misstargeting), tidak tepat jumlah (missquantity) dan tidak tepat waktu penyaluran (missdelivery) serta beberapa persoalan penyaluran yang lainnya. Bentuk-bentuk penyaluran yang seperti ini memiliki kerentanan tidak hanya kepada diterimanya subsidi tersebut kepada kelompok sasaran sehingga mereka bisa mengatasi secara efektif tingginya kebutuhan hidup akibat kenaikan BBM. Namun juga, bentuk program yang demikian memiliki kerentanan untuk menghasilkan konflik horizontal pada tingkat masyarakat. Adanya kesenjangan kapasitas antara birokrasi penyaluran pada tingkat atas dan pada tingkat terendah menjadikan pengelolaan subsidi ini rentan untuk mengalami distrorsi. Bukan hanya kerentanan akan adanya penyelewengan yang nyata, namun ekspektasi yang tinggi dari masyarakat terhadap penyaluran program itu yang tidak sebanding dengan kapasitas penyaluran tersebut menimbulkan tuntutan yang tidak terimplementasi secara baik oleh implementor, sehingga akhirnya menimbulkan konflik horizontal yang menghasilkan kerugian sosial ekonomi.
Kedua, bentuk program cash transfer dalam model tersebut (membagikan secara langsung) terbukti tidak berkorelasi langsung dengan pemanfaatan konsumsi yang efektif bagi kelompok sasaran yang dimaksud. Fakta yang sering dijumpai adalah dana yang diperoleh oleh masyarakat tersebut digunakan secara bervariasi sesuai dengan keinginan penerimanya. Padahal maksud dari rumusan program ini agar dana tersbeut digunakan secara efektif untuk menutupi selisih biaya hidup yang semakin berjarak dengan kenaikan BBM. Artinya, program dalam format ini justru tidak mampu memberikan solusi jangka panjang yang dapat menggerakkkan kelompok masyarakat miskin agar mampu bergerak dari garis kemiskinan yang semakin menurun akibat implikasi dari kenaikan komoditas konsumsi sebagai bagian dari efek domino kenaikan BBM. Dengan demikian, program-program dalam bentuk seperti ini sebenarnya tidak berkorelasi langsung sebagai bentuk tindakan untuk menangani kemiskinan akibat kenaikan BBM sebagaimana yang dimaksud oleh pemerintah.
Ketiga, format subsidi yang diperuntukkan bagi kelompok terkategori masyarakat miskin yang teridentifikasi sebagai kelompok penderita kenaikan BBM justru akan menciptakan pergeseran kelas yang semakin melebar pada kategori masyarakat miskin tersebut. Dalam kata lain, masyarakat miskin justru akan semakin meningkat. Kenapa?. Jika dilihat secara terkelompok, klasifikasi kategori masyarakat miskin sebagai penerima kompensasi tersebut akan memberikan peluang untuk menambah insentif bagi selisih biaya hidup yang harus ditanggung oleh masing-masing rumah tangga. Sementara itu, terdapat kelompok masyarakat yang berada di luar dari kategori masyarakat miskin tersebut namun tidak tercover oleh subsidi kompensasi ini justru memiliki kerentanan yang juga meningkat. Desakan untuk mengatasi selisih biaya hidup tersebut yang menjadikan kelompok masyarakat menengah ini untuk bergerak masuk ke dalam kategori masyarakat miskin yang nantinya akan menerima kompensasi. Jadi, kebijakan menaikkan BBM dan memberikan kompensasi kepada satu kelompok terendah justru akan menimbulkan efek meningkatknya kuantitas masyarakat miskin dan kemudian berimplikasi terhadap meningkatnya nilai kompensasi yang harus diberikan kepada kelompok tersebut.
Ketiga alur pikir tersebut menunjukkan bahwa kebijakan untuk menyalurkan program-program kompensasi kepada kelompok masyarakat miskin sebagai paket dari kebijakan menaikkan harga BBM bukan merupakan kebijakan yang secara strategis akan mampu mengatasi masalah sosial ekonomi yang timbul akibat tingginya biaya hidup karena meningkatknya harga BBM. Jika menafsirkan bantuan yang diberikan dari program dalam model seperti itu akan meningkatkan akumulasi dana bagi masing-masing kepala keluarga maka bisa dikatakan benar, namun jika mengartikan program-program tadi kemudian akan mampu mengakomodasi kebutuhan hidup keluarga miskin yang jugaakan meningkat secara jangka panjang maka jawabannya adalah tidak tepat.
Jika yang diinginkan adalah menggerakkan masyarakat miskin agar mampu mengatasi masalah ekonomi sebagai akibat dari kenaikan BBM maka dimensi produktivitas kelompok merupakan langkah yang lebih solutif. Menjadikan kelompok masyarakat miskin agar lebih produktif sehingga mereka memiliki kemampuan yang lebih baik untuk meningkatkan daya dukung atas biaya hidup mereka merupakan langkah yang lebih tepat. Memfasilitasi akan lapangan kerja baru dan mengakomodasi kelompok-kelompok dengan keahlian yang minimal dalam kompetisi kerja merupakan langkah stimulasi makro yang dapat lebih menjawab permasalahan akibat masalah kenaikan BBM tersebut. Program-program dalam bentuk ini tidak saja akan mengatasi masalah kesejahteraan ekonomi bagi kelompok masyarakat miskin, namun juga lebih memiliki resiko sosial dalam bentuk konflik horizontal dan vertikal yang minimal. Sehingga implikasi yang dapat dimunculkan kemudian adalah terciptakan pergerakan kelompok sosial yang lebih dinamis dan produktif. Hanya saja, program dalam wujud seperti ini memang tidak akan nampak perubahannya dalam jangka pendek, hal inilah yang menjadikannya berbeda dengan program-program cash transfer yang lebih nampak wujud implementasi dan perubahannya.
Akhirnya, kebijakan adalah persoalan pilihan, dan pilihan dalam aktivitas pemerintahan adalah keputusan politik. Dengan demikian pilihan pemerintah atas dua jenis keputusan ini, menaikkan harga BBM dan program kompensasi bagi kelompok masyarakat miskin merupakan dua pilihan politis yang mencerminkan resiko dan potensi pada masa datang. (ditulis oleh: Simon S. Hutagalung- Dosen FISIP Universitas Lampung).
No comments:
Post a Comment