Rabu kemarin (18/06/2008) saya ke Kota****, sebuah ibukota dari salah satu Kabupaten di Lampung.Di sana saya bermaksud presentasi sebuah kajian yang melibatkan kabupaten tersebut. Bersamaan dengan saya ikut juga tim lain yang bermaksud sama. Kalau saya sekedar presentasi laporan pendahuluan maka tim itu hendak presentasi laporan akhir/ hasil kajian. Seingat saya topik mereka tentang " Audit kapasitas Instansi", bentuk haslnya berupa nilai terhadap tiap-tiap unit kerja (dinas, badan, UPT dan lainnya) di Kabupaten itu. Setelah presentasi usai, pertanyaan ke mereka juga bertaburan. Beberapa kepala instansi ternyata tidak terima karena nilai mereka yang buruk. Pemateri ti itu pun mencoba menjelaskan kalau nilai itu dari kuisoner yang diisi oleh pegawai mereka sendiri. " lah, kan yang ngisi bapak dan staf bapak sendiri", saya berkata dalam hati. Debat pun berlanjut, bahkan ada yang meminta nilai mereka di upgrade supaya lebih tinggi, ada juga yang meminta agar nilai instansi mereka tidak ditampilkan. Ah, saya kok jadi senyum-senyum ironis. Kenapa wajah sendiri yang buruk kok harus menyalahkan hal-hal lain. Apakah salah kalau ditampilkan apa yang memang nyata ada di sana. Ada satu kalimat dari pemateri tim itu yang nyantol di kepala saya; " kalau ada jalan yang berlubang, bukankah lebih baik kalau di beritahukan, bukan justru disembunyikan, karena dengan begitu jalan yang buruk dan membahayakan itu bisa diperbaiki, bukankah jalan yang mulus dan rapi bisa membuat semuanya jadi lebih lancar".
Apa yang terjadi seperti itu sudah kesekian kali saya hadapi, dahulu juga pernah terjadi pada tim saya saat presentasi di Pemprov. Saat itu kami dihujani banyak pertanyaan yang mencoba membantah temuan kami tentang Kinerja Aparatur. Hanya saja saat itu kami terbantu oleh sikap salah satu kepala instansi yang disegani di sana. Beliau dengan sikap bijaknya justru membela kami dan menegur staf lain yang tidak bisa bersikap bijak. Mengalami pengalaman-pengalaman itu kok akhirnya membuat saya bertanya-tanya tentang perlunya mereka meminta kami melakukan kajian seperti itu tapi kemudian mereka tidak bisa terima hasil apa adanya. Saya kok akhirnya punya kesimpulan kalau birokrasi mau lebih baik maka hal pertama yang harus mereka lakukan adalah cukup 2 hal, yaitu: pertama; Mau gak mereka berubah, kedua: mau gak mereka bersikap bijak.
Apa yang terjadi seperti itu sudah kesekian kali saya hadapi, dahulu juga pernah terjadi pada tim saya saat presentasi di Pemprov. Saat itu kami dihujani banyak pertanyaan yang mencoba membantah temuan kami tentang Kinerja Aparatur. Hanya saja saat itu kami terbantu oleh sikap salah satu kepala instansi yang disegani di sana. Beliau dengan sikap bijaknya justru membela kami dan menegur staf lain yang tidak bisa bersikap bijak. Mengalami pengalaman-pengalaman itu kok akhirnya membuat saya bertanya-tanya tentang perlunya mereka meminta kami melakukan kajian seperti itu tapi kemudian mereka tidak bisa terima hasil apa adanya. Saya kok akhirnya punya kesimpulan kalau birokrasi mau lebih baik maka hal pertama yang harus mereka lakukan adalah cukup 2 hal, yaitu: pertama; Mau gak mereka berubah, kedua: mau gak mereka bersikap bijak.
2 comments:
nah ini dia bobroknya birokrasi di negeri ini, tidak pernah mau menyadari kekurangannya...semua pengen tampak bagus semua, padahal dalemnya udh ga karuan isinya....mending kl yg protes bisa buat sendiri, udh dibuatin malah protes....nasib2 kok bisa punya pemimpin kyk gini....tp yang paling aneh kok bisa ni orang jd pemimpin????
hidup birokrasi.....
Post a Comment