Dimuat di SKH Lampung Post, 6 Oktober 2008
Dalam upaya penanggulangan trafficking Pemerintah Republik Indonesia sebenarnya telah konsekuen atas upaya penanggulangan masalah tersebut dengan menindaklanjuti ratifikasi atas Konvensi PBB melawan kejahatan transnasional dan Protokol Palermo, hingga terbitnya UU RI Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Keseriusan itu diikuti pada tingkat daerah, terdapat tiga Propinsi yang telah mengeluarkan Perda khusus tentang trafficking, yaitu; Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Lampung. Pemerintah Propinsi Lampung sendiri sangat serius dalam issu trafficking ini, ditandai dengan keluarnya Peraturan Daerah Propinsi Lampung Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Pencegahan Trafficking dan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Rencana Aksi Daerah Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak Tahun 2005-2009.
Perda Nomor 4 tahun 2006 menjabarkan perangkat daerah yang berperan langsung dalam implementasi kebijakan pencegahan trafficking ini. Perangkat daerah tersebut terdiri atas bidang pemberdayaan perempuan, ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial dan kepariwisataan. Selanjutnya pada Peraturan Gubernur Lampung No. 13 tahun 2005 tentang Rencana Aksi Daerah P3A Tahun 2005-2009 dijelaskan bahwa untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan Gugus Tugas RAD-P3A, dibentuk sebuah sekretariat yang berkedudukan di Biro Bina Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Propinsi Lampung. Karenanya, leading actor dalam pencegahan trafficking di Propinsi Lampung adalah Biro Bina Pemberdayaan Perempuan. Hal ini juga didukung melalui jabaran tugas dan fungsi Biro Bina Pemberdayaan Perempuan, tercantum dalam Keputusan Gubernur Propinsi Lampung No. 2 tahun 2000, yaitu sebagai pelaksana kebijakan Pemerintah Daerah Propinsi Lampung di bidang pemberdayaan perempuan dalam rangka perlindungan dan penghormatan terhadap HAM perempuan.
Berdasarkan kajian yang penulis lakukan, dapat diidentifikasi bahwa secara formal implementasi Perda No. 4 tahun 2006 tentang Pencegahan trafficking telah diimplementasikan dengan cukup baik. Hal itu terlihat dalam beberapa hal, yaitu: pertama, terbentuknya jaringan kerja antara Biro BPP dengan mitra kerjanya (stakeholder) dalam upaya pencegahan trafficking yaitu; Dinas Tenaga Kerja dalam pengaturan PJTKI, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, LSM dalam upaya pendampingan korban, serta Kepolisian dan Rumah Sakit yang lebih berperan dalam penanganan kasus trafficking. Kedua, adanya koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi dalam jaringan kerja yang telah dibentuk melalui pertemuan Gugus Tugas secara berkala minimal 3 bulan dalam 1 tahun periode kerja untuk melakukan pembagian tugas antara satuan kerja terkait dari Gugus Tugas tersebut. Ketiga, sistem informasi yang dibuat juga telah mampu memberikan jumlah data terjadinya kasus trafficking di Propinsi Lampung beserta daerah penyebaran kasus trafficking di Propinsi Lampung sebagai pemetaan daerah rawan trafficking.
Perlu dikemukakan bahwa dalam implementasi sebuah kebijakan, selalu terdapat faktor yang menjadi pendukung (supplementary factors) dan faktor yang menjadi penghambat (resistor factors). Konstelasi dan derajat dari kedua faktor tersebut terhadap implementasi sebuah kebijakan akan menentukan derajat dan rentang efektivitas sebuah kebijakan. Semakin dominan faktor pendukung mempengaruhi pelaksanaan maka semakin tinggi kecenderungan efektifnya implementasi sebuah kebijakan. Jika yang dominan adalah sebaliknya maka akan semakin rendah juga efektivitas sebuah kebijakan.
Dalam kebijakan ini, penulis mengidentifikasi ada beberapa faktor pendukung dan faktor penghambat dalam implementasi Perda tersebut, antara lain : faktor pendukung yang pertama yaitu telah tersedianya sumber-sumber daya yang memadai berupa personil, fasilitas, dana, dan tenggat waktu yang cukup untuk pelaksanaan implementasi Perda No. 4 tahun 2006. Kedua, adanya hubungan kausalitas yang langsung antara upaya-upaya pencegahan dengan penyebab trafficking di Propinsi Lampung. Ketiga, telah diperincinya tugas pokok dan fungsi dari Biro BPP dan mitra kerjanya dengan hubungan ketergantungan yang hanya berupa koordinasi saja dalam membentuk sistem informasi antara Biro BPP sebagai implementor utama dan mitra kerjanya. Keempat, pelaksanaan wewenang Biro BPP dalam menjalankan program-program atas implementasi pencegahan trafficking diakhiri dengan pengawasan baik itu dari DPRD dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan.
Sementara itu, faktor penghambat dalam implementasi Perda No. 4 tahun 2006 ini adalah kurang tepatnya sasaran sosialisasi Perda, dimana sosialisasi Perda hanya diberikan kepada aparatur pemerintahan dari Propinsi ke daerah Kabupaten atau Kota saja, sehingga kesadaran masyarakat sebagai objek dari kebijakan pencegahan trafficking ini masih dirasa kurang. Walaupun pemerintah melalui Biro BPP sebagai implementor utama dan instansi terkait sebagai mitra kerjanya telah melakukan tugas dengan baik dalam implementasi Perda No. 4 tahun 2006 ini, akan tetapi masyarakat kurang memahami pengertian atas bentuk-bentuk kejahatan trafficking ini. Hal tersebut menjadi salah satu faktor utama masih rentannya perkembangan kejahatan trafficking di Propinsi Lampung.
Dengan melihat konstelasi dari kedua faktor tersebut maka dapat tergambarkan bahwa kebijakan trafficking itu memang lebih memperkuat aspek kelembagaan dalam penanganan trafficking di Provinsi Lampung, namun belum mampu menjadi sebuah kebijakan yang terserap kedalam jejaring riil target sasaran dalam implementasi kebijakan dengan tipe yang seperti ini. Dengan demikian, bisa dipahami jika kebijakan yang masih bersifat koordinatif organisasional ini memang belum mampu memberi efek yang besar terhadap pencegahan trafficking di dalam masyarakat Lampung. Bisa dimengerti pula bahwa yang kemudian diperlukan sebenarnya adalah adanya sebuah substansi yang secara langsung mempertegas wilayah grassroot dari kebijakan trafficking itu sendiri. Bukan sekedar kebijakan formatif organisasional saja.
Sementara itu, terhadap implementasi kebijakan tentang Pencegahan trafficking tersebut, ada beberapa rekomendasi yaitu: pertama, gugus Tugas RAD P3A 2005 - 2009 yang tercantum dalam Pergub No.13 tahun 2005 perlu segera diperbarui menjadi Gugus Tugas 2009 - 2013 sebagai turunan petunjuk pelaksanaan dari Perda No. 4 tahun 2006 tentang Pencegahan trafficking khususnya di Propinsi Lampung. Kedua, adanya penyuluhan tentang trafficking tidak hanya kepada aparatur pemerintahan saja, tetapi juga kepada masyarakat, diantaranya melalui komunikasi dan pendidikan nonformal terutama di pedesaaan. Ketiga, dimungkinkan adanya pembentukkan UPT dari Pemerintah Propinsi Lampung yang dibina oleh Biro BPP terutama di daerah kabupaten dan desa untuk mempermudah pelaporan masyarakat yang terkena kejahatan trafficking dan sebagai sistem informasi untuk daerah rawan trafficking.
* ditulis oleh: Intan Fitri Meutia dan Simon S. Hutagalung (Public Policy Analist, Mengajar di FISIP Unila)
Dalam upaya penanggulangan trafficking Pemerintah Republik Indonesia sebenarnya telah konsekuen atas upaya penanggulangan masalah tersebut dengan menindaklanjuti ratifikasi atas Konvensi PBB melawan kejahatan transnasional dan Protokol Palermo, hingga terbitnya UU RI Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Keseriusan itu diikuti pada tingkat daerah, terdapat tiga Propinsi yang telah mengeluarkan Perda khusus tentang trafficking, yaitu; Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Lampung. Pemerintah Propinsi Lampung sendiri sangat serius dalam issu trafficking ini, ditandai dengan keluarnya Peraturan Daerah Propinsi Lampung Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Pencegahan Trafficking dan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Rencana Aksi Daerah Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak Tahun 2005-2009.
Perda Nomor 4 tahun 2006 menjabarkan perangkat daerah yang berperan langsung dalam implementasi kebijakan pencegahan trafficking ini. Perangkat daerah tersebut terdiri atas bidang pemberdayaan perempuan, ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial dan kepariwisataan. Selanjutnya pada Peraturan Gubernur Lampung No. 13 tahun 2005 tentang Rencana Aksi Daerah P3A Tahun 2005-2009 dijelaskan bahwa untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan Gugus Tugas RAD-P3A, dibentuk sebuah sekretariat yang berkedudukan di Biro Bina Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Propinsi Lampung. Karenanya, leading actor dalam pencegahan trafficking di Propinsi Lampung adalah Biro Bina Pemberdayaan Perempuan. Hal ini juga didukung melalui jabaran tugas dan fungsi Biro Bina Pemberdayaan Perempuan, tercantum dalam Keputusan Gubernur Propinsi Lampung No. 2 tahun 2000, yaitu sebagai pelaksana kebijakan Pemerintah Daerah Propinsi Lampung di bidang pemberdayaan perempuan dalam rangka perlindungan dan penghormatan terhadap HAM perempuan.
Berdasarkan kajian yang penulis lakukan, dapat diidentifikasi bahwa secara formal implementasi Perda No. 4 tahun 2006 tentang Pencegahan trafficking telah diimplementasikan dengan cukup baik. Hal itu terlihat dalam beberapa hal, yaitu: pertama, terbentuknya jaringan kerja antara Biro BPP dengan mitra kerjanya (stakeholder) dalam upaya pencegahan trafficking yaitu; Dinas Tenaga Kerja dalam pengaturan PJTKI, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, LSM dalam upaya pendampingan korban, serta Kepolisian dan Rumah Sakit yang lebih berperan dalam penanganan kasus trafficking. Kedua, adanya koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi dalam jaringan kerja yang telah dibentuk melalui pertemuan Gugus Tugas secara berkala minimal 3 bulan dalam 1 tahun periode kerja untuk melakukan pembagian tugas antara satuan kerja terkait dari Gugus Tugas tersebut. Ketiga, sistem informasi yang dibuat juga telah mampu memberikan jumlah data terjadinya kasus trafficking di Propinsi Lampung beserta daerah penyebaran kasus trafficking di Propinsi Lampung sebagai pemetaan daerah rawan trafficking.
Perlu dikemukakan bahwa dalam implementasi sebuah kebijakan, selalu terdapat faktor yang menjadi pendukung (supplementary factors) dan faktor yang menjadi penghambat (resistor factors). Konstelasi dan derajat dari kedua faktor tersebut terhadap implementasi sebuah kebijakan akan menentukan derajat dan rentang efektivitas sebuah kebijakan. Semakin dominan faktor pendukung mempengaruhi pelaksanaan maka semakin tinggi kecenderungan efektifnya implementasi sebuah kebijakan. Jika yang dominan adalah sebaliknya maka akan semakin rendah juga efektivitas sebuah kebijakan.
Dalam kebijakan ini, penulis mengidentifikasi ada beberapa faktor pendukung dan faktor penghambat dalam implementasi Perda tersebut, antara lain : faktor pendukung yang pertama yaitu telah tersedianya sumber-sumber daya yang memadai berupa personil, fasilitas, dana, dan tenggat waktu yang cukup untuk pelaksanaan implementasi Perda No. 4 tahun 2006. Kedua, adanya hubungan kausalitas yang langsung antara upaya-upaya pencegahan dengan penyebab trafficking di Propinsi Lampung. Ketiga, telah diperincinya tugas pokok dan fungsi dari Biro BPP dan mitra kerjanya dengan hubungan ketergantungan yang hanya berupa koordinasi saja dalam membentuk sistem informasi antara Biro BPP sebagai implementor utama dan mitra kerjanya. Keempat, pelaksanaan wewenang Biro BPP dalam menjalankan program-program atas implementasi pencegahan trafficking diakhiri dengan pengawasan baik itu dari DPRD dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan.
Sementara itu, faktor penghambat dalam implementasi Perda No. 4 tahun 2006 ini adalah kurang tepatnya sasaran sosialisasi Perda, dimana sosialisasi Perda hanya diberikan kepada aparatur pemerintahan dari Propinsi ke daerah Kabupaten atau Kota saja, sehingga kesadaran masyarakat sebagai objek dari kebijakan pencegahan trafficking ini masih dirasa kurang. Walaupun pemerintah melalui Biro BPP sebagai implementor utama dan instansi terkait sebagai mitra kerjanya telah melakukan tugas dengan baik dalam implementasi Perda No. 4 tahun 2006 ini, akan tetapi masyarakat kurang memahami pengertian atas bentuk-bentuk kejahatan trafficking ini. Hal tersebut menjadi salah satu faktor utama masih rentannya perkembangan kejahatan trafficking di Propinsi Lampung.
Dengan melihat konstelasi dari kedua faktor tersebut maka dapat tergambarkan bahwa kebijakan trafficking itu memang lebih memperkuat aspek kelembagaan dalam penanganan trafficking di Provinsi Lampung, namun belum mampu menjadi sebuah kebijakan yang terserap kedalam jejaring riil target sasaran dalam implementasi kebijakan dengan tipe yang seperti ini. Dengan demikian, bisa dipahami jika kebijakan yang masih bersifat koordinatif organisasional ini memang belum mampu memberi efek yang besar terhadap pencegahan trafficking di dalam masyarakat Lampung. Bisa dimengerti pula bahwa yang kemudian diperlukan sebenarnya adalah adanya sebuah substansi yang secara langsung mempertegas wilayah grassroot dari kebijakan trafficking itu sendiri. Bukan sekedar kebijakan formatif organisasional saja.
Sementara itu, terhadap implementasi kebijakan tentang Pencegahan trafficking tersebut, ada beberapa rekomendasi yaitu: pertama, gugus Tugas RAD P3A 2005 - 2009 yang tercantum dalam Pergub No.13 tahun 2005 perlu segera diperbarui menjadi Gugus Tugas 2009 - 2013 sebagai turunan petunjuk pelaksanaan dari Perda No. 4 tahun 2006 tentang Pencegahan trafficking khususnya di Propinsi Lampung. Kedua, adanya penyuluhan tentang trafficking tidak hanya kepada aparatur pemerintahan saja, tetapi juga kepada masyarakat, diantaranya melalui komunikasi dan pendidikan nonformal terutama di pedesaaan. Ketiga, dimungkinkan adanya pembentukkan UPT dari Pemerintah Propinsi Lampung yang dibina oleh Biro BPP terutama di daerah kabupaten dan desa untuk mempermudah pelaporan masyarakat yang terkena kejahatan trafficking dan sebagai sistem informasi untuk daerah rawan trafficking.
* ditulis oleh: Intan Fitri Meutia dan Simon S. Hutagalung (Public Policy Analist, Mengajar di FISIP Unila)
No comments:
Post a Comment