Menara Gading Yang Retak

Penulis teringat dengan pepatah legendaris yang berujar bahwa tidak ada gading yang tak retak, kurang lebih maknanya adalah tidak ada yang sempurna dalam realita kehidupan ini. Seorang teman kemudian mempelesetkan pepatah itu dengan berujar bahwa tidak ada menara gading yang tak retak. Tanggapan di antara teman-teman pendidik muda saat itu hanya tawa dan gurauan yang muncul sebagai reaksi spontan terhadap kondisi pendidikan saat ini. Namun setelah direnungi kembali gurauan itu memiliki muatan yang dalam.

Institusi pendidikan memang bukan nirwana yang segala sesuatunya serba sempurna. Institusi pendidikan meski memiliki obsesi untuk menjadi lebih baik (to be a better) atau sempurna (perfect) namun tetap memiliki ketidak sempurnaan atau bahkan cacat yang disebabkan kondisi di dalam institusi dan lingkungannya. Ketidaksempurnaan atau cacat itu mungkin saja dapat diperbaiki dengan cara yang bijak begitu juga sebaliknya akan menambah ketidaksempurnaan atau cacat apabila disikapi secara impulsif dan tidak bijak.

Menara gading yang ada di Indonesia saat ini, termasuk di Lampung, baik negeri maupun swasta sedang mengalami demam perubahan status. Arus liberalisme menjadi latar belakang tergumpalnya wacana ke arah yang seolah lebih banyak memberikan keuntungan secara sistemik. Padahal amatlah tidak cerdas ketika kita 100% percaya dan menyerahkan seluruh masa depan kepada sesuatu hal dengan sisi lain yang belum terpaparkan. Dalam konteks perubahan status menara gading ini semestinya kita memetik pelajaran dari implementasi kebijakan BHMN yang lebih dulu dilaksanakan sejak tahun 2000 pada beberapa perguruan tinggi seperti ITB, IPB, UI, dan UGM.

Substansi kemandirian yang terkandung pada kebijakan itu semula dianggap akan memberikan keleluasaan pada institusi kampus dalam keseluruhan administrasi kelembagaannya ternyata tidak seluruhnya lepas dari intervensi pemerintah melalui regulasi-regulasi yang masih melekat pada beberapa aspeknya. Pada instansi yang telah lebih dahulu menjadi BHMN, seperti UI, ternyata masih mengalami kesulitan pada beberapa aspek manajemennya. Dalam keuangan mereka masih harus berurusan dengan Kantor Kas Negara. Dalam manajemen SDM, mereka tidak bisa memperpanjang masa kerja guru besar karena tetap harus mengikuti pengaturan pemerintah. Belum lagi beberapa pola manajemen yang memang masih mengikuti prinsip-prinsip pra BHMN. Hal ini menunjukkan belum terintegrasinya sistem kebijakan BHMN yang terdiri dari rangkaian pedoman dan pengaturan kepada satu kebijakan makro sehingga mampu menjamin sinergi implementasi dan tidak mengalami dualisme atau ambivalensi dalam aktivitas pengelolaan institusi.

Selain itu masalah yang juga muncul adalah belum jelasnya skim pencapaian visi dari kebijakan tersebut. Dalam suatu kesempatan berbincang dengan seorang guru besar dari Universitas Indonesia, penulis mendapatkan pengakuan yang mengejutkan dalam hal ini. Dikatakan oleh Profesor tersebut bahwa pelaksanaan BHMN tidak secara reaktif mampu merubah tingkat kesejahteraan dosen & pegawai. Visi peningkatan kualitas pendidikan dengan salah satu misi untuk meningkatkan kesejahteraan dosen ternyata hanya dinikmati oleh segelintir elit menara gading yang penghasilannya naik secara drastis. Bahkan akibat dari terciptanya kondisi itu, muncul semangat pembentukan unit-unit kerja baru yang bertujuan untuk mengakomodasi politik ekonomi elit kampus. Beberapa unit kerja yang biasanya diisi oleh pegawai struktural bahkan kemudian diisi oleh dosen yang notabene adalah pegawai fungsional.

Fakta lain yang patut dievaluasi adalah munculnya kecenderungan solusi jangka pendek yang paling dipilih oleh PT BHMN dengan menaikkan tarif pendidikan melalui berbagai alternatif metode. Idealnya kampus yang masih berplat merah akan memilih jalan yang lebih mengusahakan pendapatan diluar tarif pendidikan. Namun kondisi belum kuatnya sistem kampus untuk berbisnis dalam lingkup non edukatif adalah kenyataan yang kemudian direspon secara impulsif dengan menaikkan tarif dalam rangka meningkatkan kecukupan modal. Logika yang pada akhirnya berujung kepada komersialisasi ini tidak bisa ditampik karena fakta yang terjadi di PT BHMN sedang berjalan pada landasan logika ini. Wajar bila pada point ini ketakutan atau kekhawatiran terjadi pada kalangan mahasiswa dan orang tuanya. Kekhawatiran yang lebih bisa dimengerti lagi jika melihat pada konteks ekologis universitas tersebut berada. Di Propinsi Lampung misalnya dengan jumlah angka kemiskinan yang tinggi, layak diantisipasi kemampuan kampus untuk melakukan transformasi sosial ekonomi masyarakat lokal jika tidak ada lagi ruang bagi kelompok masyarakat marginal untuk berjuang merubah statusnya melalui pendidikan.

Satu hal lagi yang perlu menjadi catatan adalah anggapan yang melihat bahwa perubahan status akan mengurangi tingkat birokratisasi kampus adalah cara pandang yang tidak holistik. Birokratisasi bukan hanya persoalan sistem dan struktural namun juga persoalan perilaku dan spirit. Pendidikan saat ini memang telah berusaha merubah semangat birokratis dalam interaksi pendidikan dengan pola pembelajaran pedagogis. Namun pendidikan bukan hanya melibatkan hubungan antar pendidik dengan pihak yang dididik namun juga antara sesama pihak yang dididik dan antara sesama pendidik itu sendiri. Dalam interaksi horizontal ini semangat transformasi tersebut belum terserap. Pendidik masih dikungkungi oleh semangat birokratis yang memang secara sistemik diparalelkan dalam bentuk jenjang karir dan pola senioritas yang buta. Dalam interaksi antar pendidik ini semangat birokratis terkadang menghambat peluang perkembangan institusi pendidikan yang bersangkutan. Seringkali ditemui institusi pendidikan yang tidak berkembang karena diatur dengan gaya birokratis yang terlalu kental sehingga menjadi kaku, tidak antisipatif, pongah dan tidak visioner karena lebih mengedepankan penyelamatan kekuasaan (power surviving) ketimbang mengembangkan kultur yang egaliter dan terbuka.

Akhirnya, opini ini dapat dikatakan sebagai sumbang saran terhadap kemajuan kampus yang sedang dihadapkan kepada pilihan perubahan. Sangatlah bijak apabila untuk mencapai perubahan tersebut tidak banyak mengorbankan apapun dan siapapun. Tantangan perubahan harus dilihat dalam dua sisi yang masing-masing harus diantisipasi, karena perubahan yang semestinya itu bukan justru menghasilkan masalah-masalah baru yang dihiraukan sebelumnya. Perubahan juga bukan hanya persoalan kesiapan sistem dan struktur namun juga sikap dan spirit yang diharapkan dapat menjadi lebih bijak. Seorang pendidik sejati akan memandang bahwa perubahan sikap dalam interaksi pendidikan tersebut sesungguhnya menunjang kualitas spirit penyelenggaraan pendidikan. Kalau dalam hal ini saja kita masih bobrok buat apa bercita-cita menjadi sistem yang lebih mapan. Saya hanya ingin menggariskan bahwa merubah bangunan tapi mengabaikan ruhnya sama saja menciptakan menara gading yang semakin menjulang hingga tak lagi ada yang mampu menatapnya. Menara gading yang retak karena bebannya sendiri.