09 February 2007

Banjir dan Tragedy of The Common

Jakarta 2 Februari 2007 dilaporkan terendam oleh banjir, tidak hanya daerah-daerah yang menjadi langganan banjir namun juga daerah yang pada tahun sebelumnya tidak dilanda banjir, saat itu juga dilanda oleh banjir. Jakarta sebagai Ibukota dari negara ini terjadi setelah hujan mengguyur dari tengah malam hingga siang hari. Banjir yang terjadi tingginya mencapai hingga rata-rata 2 meter bahkan pada beberapa tempat tingginya hingga 3 sampai 4 meter. Dilihat dari sebaran banjir yang mencakup 70% tersebut dikatakan bahwa banjir tahun ini lebih parah dari banjir pada tahun 1996 dan 2002 yang juga menggenangi hampir seluruh Jakarta.

Dalam waktu yang sama, banjir juga menggenangi daerah-daerah lain selain ibu kota. Dilaporkan bahwa banjir juga menggenangi Tangerang, Depok, Bogor, Jambi, Pekanbaru, Pekalongan dan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Tentu saja akan bermunculan berbagai dampak yang ditimbulkan dari bencana alam tersebut. Tidak hanya dampak material namun juga dampak-dampak yang kontekstual sifatnya.

Dalam konteks banjir di Jakarta, penyebabnya dikarenakan faktor curah hujan yang tinggi dan adanya ketidakmampuan lahan di Ibukota untuk menyerap air yang datang secara melimpah. Selain itu juga karena adanya banjir kiriman dari daerah hulu yang berada di kota-kota sekitar Jakarta dan tidak mampu mengalir secara lancar melalui sungai-sungai di Jakarta. Ada apologi dan kepasrahan yang bisa diberikan jika bencana ini memang tidak bisa diantisipasi. Namun jika bencana ini justru dikarenakan oleh ulah kita sendiri maka layak jika kita berkata betapa bodohnya kita ini.

Ada yang menjadi latar belakang penyebab terjadinya ketidakmampuan lahan untuk menyerap air dan ketidakmampuan drainase untuk mengalirkan kapasitas air yang maksimal. Eksplorasi dan eksploitasi terhadap lahan perkotaan yang dilakukan oleh elemen swasta secara masif menghasilkan terjadinya tragedy of the common. Tragedi kebersamaan (tragedy of the common) dalam literarur ekonomi publik, seperti dikemukakan oleh beberapa tokoh semisal David Hume, dapat timbul karena kelompok pemilik tidak mau bekerjasama (cooperative) dan hanya mengejar kepentingan pribadi.

Tragedi of the common terjadi ketika masing-masing pihak berusaha secara over aktif untuk memanfaatkan ruang yang ada dan ketika ruang menjadi semakin minimal maka eksplorasi terhadap ruang-ruang lain yang tidak semestinya di manfaatkan dilakukan oleh pihak-pihak tersebut. Yang terjadi dari tindakan masing-masing pihak yang tidak memberikan toleransi karena landasan maksimasi keuntungan ekonomis adalah menurunnya kemampuan ruang untuk memberikan manfaat yang berkelanjutan.

Banjir yang terjdi di ibukota pada tahun ini dapat menjadi pelajaran bagi kota-kota lain di Indonesia termasuk di Lampung dengan kota-kota yang sedang mendesain dan melakukan redesain masa depan pembangunannya. Setidaknya menjadi pelajaran bagi Bandar Lampung, Metro, Kotabumi, Kalianda, dan beberapa daerah yang juga sedang berkembang untuk menjaga keteraturan penggunaan ruang di wilayahnya.

Pelajaran itu antara lain; (1).Lingkungan adalah faktor force majeur yang tidak bisa di duga namun dapat diantisipasi. Faktor lingkungan tidak hanya dapat menjadi modal ekonomi yang diekspolitasi untuk memaksimasi keuntungan privat namun dapat juga menjadi faktor resiko yang mempengaruhi proses ekonomi secara jangka panjang. (2). Pembangunan kota dilakukan dengan menempatkan lingkungan sebagai faktor tidak terduga yang menjadi landasan utama dalam visi pembangunan kota. Pembangunan kota dapat diartikan sebagai proses ekonomi yang dilakukan oleh pihak swasta dan publik untuk menghasilkan perubahan tingkat kemampuan sosial ekonomi keseluruhan pihak. Dalam proses tersebut harus diprioritaskan untuk menempatkan faktor lingkungan sebagai resiko yang tidak terduga ketimbang sebagai faktor modal ekonomis. Dengan menempatkan lingkungan sebagai resiko ekonomis artinya melakukan invesatsi terhadap keberlanjutan hasil pembangunan yang telah dilakukan. (3) Kebijakan pembangunan kota tidak bisa dilakukan secara reaktif namun bergerak ke arah yang antisipatif. Pembangunan kota yang reaktif telah menghasilkan banyaknya permasalahan yang muncul dan akhirnya sulit untuk dikendalikan bahkan diarahkan kembali. Kota yang telah dibangun dengan tidak terkendali menghasilkan ekspolitasi dan ekspolrasi yang dapat menghasilkan dampak tidak terduga. Karenanya pembangunan kota harus diarahkan, pemerintah yang memiliki fungsi stabilisasi mempunyai peran untuk menjaga dan mengarahkan agar tidak terjadi tragedy of the common yang justru menghasilkan destruktifikasi bagi semuanya.

Toleransi atau sikap kooperatif dalam pembangunan kota bisa dilaksanakan oleh semua pihak dengan cara yang sangat sederhana namun mensyaratkan komitmen yang kuat. Contohnya adalah komitmen Kota Curitiba di Brasil yang dilakukan dengan melipatgandakan jumlah ruang terbuka hijau (RTH) dari satu meter persegi per kapita RTH pada 1970 menjadi 55 meter persegi per kapita pada 2002. Jumlah ini melebihi 30 persen dari luas kota. Bandingkan dengan Jakarta yang areal RTH-nya hanya 13 persen. Padahal, agar terhindar dari banjir, minimal RTH adalah 30 persen luas kota. Tidak hanya itu, Curitiba juga menempuh cara lain untuk memperbanyak RTH. Bekas tempat pembuangan akhir (TPA) disulap menjadi taman-taman yang lebat dan asri. Danau-danau artifisial dibangun di tengah kota. Sementara RTH dilipatgandakan, bangunan komersial terus dibangun. Keduanya tidak saling mengganggu. Banyak kota di Indonesia, seiring pembangunan gedung komersial, areal RTH-nya menurun secara drastis dan tak lagi proporsional. Yang dilakukan justru dengan betonisasi atau tindakan lain yang menutup akses air untuk terserap oleh tanah.

Bisa disimpulkan bahwa pembangunan kota itu seperti pisau bermata dua, sehingga proses pembangunan harus memperhatikan kedua sisinya secara sekaligus. Keterlenaan terhadap satu sisi dapat mengakibatkan tragedi yang nantinya kita sesali. Ambillah hikmah dari bencana ini.

No comments: