10 February 2007

Love Suicide

Saya sempat membaca dua berita seperti ini:

"Diketemukan seorang pemuda gantung diri di langit-langit rumahnya, di duga pemuda itu kecewa karena diputuskan cintanya oleh sang kekasih".

"Seorang perwira polisi menembak kepalanya dengan pistolnya sendiri di hadapan pasangan pengantin baru, diduga sang perwira sakit hati karena sang wanita yang menjadi pasangannya menikah dengan laki-laki lain".


Heran ya, kenapa bisa orang bunuh diri karena cinta. Kalau kita runut, tindakan yang dibilang sebagai ekspresi putus asa itu sudah jadi legenda atau mitos yang menyesatkan. Dalam epik romeo dan juliet misalnya, ending cerita yang tragis (bunuh diri) justru jadi semacam rujukan bagi cerita-cerita dengan tema sejenis hingga ke penjuru dunia. Kisah cinta yang harus berakhir tragis itu muncul dalam berbagai skenario cerita dalam film dan sinetron. Yang tambah menyedihkan adalah stigma yang dimunculkan bahwa bunuh diri karena cinta itu adalah tindakan yang romantic, yang mengaharukan. Inilah letak bahayanya. Stigma ini seolah menjadikan bunuh diri karena cinta dapat menjadi inspirasi dalam kehidupan nyata.

Ada seorang psikolog yang mengemukakan bahwa bunuh diri dilatar belakangi beberapa faktor. 1). Bunuh diri karena ideologi, misalnya adalah pelaku bom bunuh diri yang rela menghancurkan tubuhnya karena keyakinan yang dia anggap benar. 2). Bunuh diri karena kehormatan kultural, bunuh diri ini tumbuh sebagai anggapan rasa tanggung jawab terhadap apa yang dilakukan sesorang dalam perjalanan hidupnya, misalnya orang Jepang yang terkenal dengan harakiri bahkan kamikaze-nya. 3). Bunuh diri karena depresi dan frustasi. Bunuh diri ini paling banyak terjadi, tekanan ekonomi, sosial, psikologis menjadikan seseorang memilih bunuh diri sebagai pelepasan beban yang mengepung dirinya. Bunuh diri dianggap sebagai pelarian yang terbaik. Masya Allah !!.

Ada orang yang bunuh diri karena perusahaannya bangkrut, ada yang karena penyakit akut menahun yang membuat dirinya dikucilkan, ada juga yang karena hal-hal sepele seperti kasus bunuh diri anak sekolah yang dikarenakan belum membayar SPP atau hanya karena dimarahi orang tuanya. Ngeri ya... Saya terkadang berpikir kalau yang sebenarnya depresi atau frustasi itu bukan para pelaku bunuh diri, tapi masyarakatnya. Ya, masyarakat kita sepertinya tumbuh menjadi masyarakat yang keras, egois, oportunis dan terkadang tidak toleran serta manipulistik dalam persaingan hidup menjadikan sangat rentan bagi mereka yang belum memiliki fondasi mental yang kuat. Dalam kondisi ini pelaku bunuh diri sebenarnya adalah korban dari masyarakat yang depresi/ frustasi itu.

Oke, Kembali ke laptop ( i like tukul show, hehe..), lalu sebenarnya apa yang melatar belakangi terjadinya bunuh diri karena cinta?. Karena ideologi, jelas bukan. Karena tanggung jawab kultural, juga bukan. Ya, bunuh diri karena cinta umumnya dikarenakan depresi atau frustasi yang tidak terkendali terhadap suatu hubungan yang sangat ia hormati. Ekspektasi yang mendalam terhadap suatu hubungan berubah menjadi frustasi yang mendalam ketika terjadi suatu keadaan yang tidak bisa diterima secara psikologis oleh seseorang. Karena yang dipengaruhi adalah aspek psikologisnya maka tak jarang kita temui dalam beberapa kasus korbannya adalah mereka yang justru punya kualitas intelektual dan rasionalitas yang dianggap baik.

Nah, pertanyaannya sekarang adalah. Apakah rasional tindakan bunuh diri karena cinta itu?. Bukan bermaksud untuk menjustifikasi tindakan para korban tapi sebagai refleksi bagi kita yang seumur hidup pasti akan selalu bersinggungan dengan cinta. Ya, hal itu tergantung kepada wawasan kita terhadap cinta itu sendiri. Wawasan dalam melihat bentuk cinta dan wawasan dalam melihat sang target cinta. Dalam seluruh ajaran agama di dunia selalu menegaskan bahwa Cinta yang sejati itu adalah bagi Sang Pemilik Hidup. Mahluk bumi, termasuk manusia di ciptakan sebagai bentuk cinta-Nya kepada Dunia, dan sebagai upaya untuk menjaga cinta-Nya itu maka ditiupkan juga cinta kepada dirinya sendiri dan kepada kaum sesama manusia, lalu sebagai instrumen proses hidup digoreskan juga rasa cinta terhadap sesuatu yang kita miliki. Nah, ini sekaligus menstratifikasi/ jenjang cinta tersebut. Cinta yang ultimate adalah kepada Sang-Penguasa karena dengan restu-Nya kita dalam menikmati seluruh stratifikasi cinta itu. Sementara cinta yang lainnya, karena mereka diberikan sebagai "tiupan" dan "goresan" maka suatu saat pasti akan hilang. Mungkin juga akan berganti dengan "tiupan" dan "goresan" yang berbeda.

Dalam dimensi sufistik, cinta itu bukan hanya suatu berkah namun juga bisa menjadi ujian. Terkadang sesuatu yang diberikan kepada kita bertujuan untuk mendidik kita agar lebih mampu menghadapi perjalanan hidup ke depan (haha.. bijak banget sih...). Cinta yang sebenarnya itu tidak ada. Yang ada hanya perjalanan untuk mencintai dan dicintai. Karena sebagai episode perjalanan maka tumbuhkan mental bahwa ada waktunya kita berhenti sebentar di perhentian untuk mencintai dan dicintai manusia lain serta ada waktunya juga kita berhenti lagi di perhentian yang lain untuk berhenti mencintai dan dicintai (ini maksudnya bisa karena kematian atau tindakan manusia..). Tumbuhkan kematapan di dalam diri bahwa perjalanan itu hanya sementara, kita harus terbiasa untuk menemukan dan kehilangan. Yakinkan bahwa cinta yang sejati hanya kepada Sang Pemberi Cinta itu sendiri.

BDL, 10/02/2007

No comments: