Kalau di ingat-ingat, ada perkembangan yang lucu di lampung ini. Baru tahun ini tertangkap oleh radar pikirku. Apa itu?. Orang-orang sepertinya sudah mulai kreatif. Memang agak sedikit lucu kalau saya bilang begitu. Toh, gak bisa disamakan perkembangan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Saya bilang begitu karena ada suatu kebiasaan yang lama kelamaan akhirnya menghasilkan anggapan itu. Biasanya kalau ada waktu yang lapang, gak dikejar-kejar oleh deadline maka saya naik bus yang melewati jalan belakang kampus. Kalau dulu memang bus jurusan panjang-rajabasa itu agak membuat kita malas untuk memanfaatkannya. Tapi sekarang sudah agak lumayan, ada beberapa armada bus yang baru sehingga kita tak perlu kuatir ada kepinding di jok kursi penumpang lagi. Hehe...
Bukan itu yang sebenarnya ingin saya utarakan. Bukan itu perubahan yang saya maksud, meski sebenarnya perubahan itu masih berhubungan dengan bus yang dimaksud. Perubahan yang saya maksud terjadi saat seorang pengamen yang sudah tua naik ke bus dan dengan gitar lusuhnya mencoba menyanyikan lagu-lagu nostalgia yang cukup enak di telinga. Wah, kalau sudah ikut menikmati begitu saya merasa berdosa kalau tidak memberikan kompensasi atas kenikmatan yang saya rasakan. Saya gak mau jadi free rider yang pura-pura gak menikmati kerja pengamen tua itu. Kalau kita menutup telinga saat mereka bernyanyi mungkin saja kita tidak perlu malu untuk tidak memberikan sedikit nilai atas proses ekonomi yang sudah mereka lakukan.
Di hari yang laen ada pengamen bus kota yang menyanyikan lagu dengan lirik yang bagus menurut saya. Dua orang pemuda yang menyanyikannya seolah lirik itu tercipta dari refleksi kehidupan mereka sendiri. Liriknya seperti ini:
Kami bukan pemuda malas bekerja, jangan anda salah sangka,
pikirkan yang bukan-bukan.
Cari kerja sekarang susah, cari kerja sekarang payah, apalagi gak sekolah
Daripada jadi bandar narkoba, lebih baik kami jual suara
Daripada rampok mobil bus kota, lebih baik kami jual suara
Pemerintah menganjurkan, agama menyarankan, carilah uang halal
Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa
Diberi akal dan pikiran tuk bedakan baik buruk perbuatan
Kadang kala manusia lebih kejam dari seekor binatang
Yang liar maen rogoh dompet orang, maen sikat barang orang
Dasar maling biar di dor ya tetep maling
Aku ingin seperti kamu, yang belajar kuliah di Unila
Aku ingin seperti kamu, yang belajar kuliah di UBL
Zarimah wajahmu cantik tapi sayang kau ratu diskotek
Zarimah wajahmu cantik tapi sayang kau ratu ekstasi
Gara-gara korupsi suharto undur diri
Gara-gara ekstasi mas doyok masuk bui
Gara-gara korupsi mas tomy undur diri
Gara-gara ekstasi mas doyok masuk bui
Penggalan lirik yang cukup menyengat saya, ternyata syair yang dijual mereka tidak melulu tentang cinta yang meraung-raung. Lirik yang mereka nyanyikan harus diakui merupakan refleksikan dari kehidupan mereka yang keras. Meski keras mereka juga masih memiliki kontrol terhadap kemungkinan-kemungkinan negatif yang tidak sesuai dengan norma sosial dan agama yang masih mereka hargai. Ada ekspektasi yang tersirat dari lagu mereka, ekspektasi tentang masa depan yang baik meski mereka sadari harus dijalani dengan kerja keras. Ada juga petuah normatif yang mereka sadari tentang korupsi dan ekstasi yang tidak akan memberikan kebaikan meski terkadang keduanya terkemas sebagai godaan yang cantik.
Terkadang kesulitan hidup itu bisa membuat manusia jadi lebih kreatif mengatasinya. Kreatifitas juga bukan melulu miliki kaum intelektual formal yang dibesarkan melalui sekolah-sekolah formal. Kreatifitas bisa tumbuh dari kehidupan yang spontan. Bahkan spontanitas tersebut lebih tulus mengungkapkan latar belakang sosial budaya yang terjadi di balik proses kreatif tersebut. Saya jadi ingat waktu berkunjung ke Bandung, beberapa pengamen bus kota disana justru bangga menggunakan alat musik tradisional semacam angklung dan suling sebagai instrumen utama untuk menyanyi. Ternyata pengamen bus kota adalah seniman yang paling apa adanya.
Bukan itu yang sebenarnya ingin saya utarakan. Bukan itu perubahan yang saya maksud, meski sebenarnya perubahan itu masih berhubungan dengan bus yang dimaksud. Perubahan yang saya maksud terjadi saat seorang pengamen yang sudah tua naik ke bus dan dengan gitar lusuhnya mencoba menyanyikan lagu-lagu nostalgia yang cukup enak di telinga. Wah, kalau sudah ikut menikmati begitu saya merasa berdosa kalau tidak memberikan kompensasi atas kenikmatan yang saya rasakan. Saya gak mau jadi free rider yang pura-pura gak menikmati kerja pengamen tua itu. Kalau kita menutup telinga saat mereka bernyanyi mungkin saja kita tidak perlu malu untuk tidak memberikan sedikit nilai atas proses ekonomi yang sudah mereka lakukan.
Di hari yang laen ada pengamen bus kota yang menyanyikan lagu dengan lirik yang bagus menurut saya. Dua orang pemuda yang menyanyikannya seolah lirik itu tercipta dari refleksi kehidupan mereka sendiri. Liriknya seperti ini:
Kami bukan pemuda malas bekerja, jangan anda salah sangka,
pikirkan yang bukan-bukan.
Cari kerja sekarang susah, cari kerja sekarang payah, apalagi gak sekolah
Daripada jadi bandar narkoba, lebih baik kami jual suara
Daripada rampok mobil bus kota, lebih baik kami jual suara
Pemerintah menganjurkan, agama menyarankan, carilah uang halal
Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa
Diberi akal dan pikiran tuk bedakan baik buruk perbuatan
Kadang kala manusia lebih kejam dari seekor binatang
Yang liar maen rogoh dompet orang, maen sikat barang orang
Dasar maling biar di dor ya tetep maling
Aku ingin seperti kamu, yang belajar kuliah di Unila
Aku ingin seperti kamu, yang belajar kuliah di UBL
Zarimah wajahmu cantik tapi sayang kau ratu diskotek
Zarimah wajahmu cantik tapi sayang kau ratu ekstasi
Gara-gara korupsi suharto undur diri
Gara-gara ekstasi mas doyok masuk bui
Gara-gara korupsi mas tomy undur diri
Gara-gara ekstasi mas doyok masuk bui
Penggalan lirik yang cukup menyengat saya, ternyata syair yang dijual mereka tidak melulu tentang cinta yang meraung-raung. Lirik yang mereka nyanyikan harus diakui merupakan refleksikan dari kehidupan mereka yang keras. Meski keras mereka juga masih memiliki kontrol terhadap kemungkinan-kemungkinan negatif yang tidak sesuai dengan norma sosial dan agama yang masih mereka hargai. Ada ekspektasi yang tersirat dari lagu mereka, ekspektasi tentang masa depan yang baik meski mereka sadari harus dijalani dengan kerja keras. Ada juga petuah normatif yang mereka sadari tentang korupsi dan ekstasi yang tidak akan memberikan kebaikan meski terkadang keduanya terkemas sebagai godaan yang cantik.
Terkadang kesulitan hidup itu bisa membuat manusia jadi lebih kreatif mengatasinya. Kreatifitas juga bukan melulu miliki kaum intelektual formal yang dibesarkan melalui sekolah-sekolah formal. Kreatifitas bisa tumbuh dari kehidupan yang spontan. Bahkan spontanitas tersebut lebih tulus mengungkapkan latar belakang sosial budaya yang terjadi di balik proses kreatif tersebut. Saya jadi ingat waktu berkunjung ke Bandung, beberapa pengamen bus kota disana justru bangga menggunakan alat musik tradisional semacam angklung dan suling sebagai instrumen utama untuk menyanyi. Ternyata pengamen bus kota adalah seniman yang paling apa adanya.
1 comment:
emang mereka kreatif banget loh, tapi waktu gw berkunjung ke beberapa kota, mereka punya lirik lagu yang sama tapi disesuaikan, misal UBl diganti Univ lokal apa gitu, jadi menurut gw mereka punya jaringan. btw kemaren gw kedapetan pengamen pake biola, wuih keren banget loh...two thumbs up deh
Post a Comment