Artikelku ini dimuat di SKH Radar Lampung tanggal 1 Januari 2008.
Pada tanggal 14 Desember 2007, Departemen Dalam Negeri RI menetapkan tiga dari 408 pemerintah Daerah di Indonesia sebagai peraih penghargaan Innovative Government Award, yaitu Kabupaten Sragen, Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Kutai Timur. Ketiga Kabupaten itu dinilai oleh Depdagri memiliki pengelolaan pemerintah daerah, pelayanan publik, pemasaran dan promosi investasi daerah yang baik. Inovasi-inovasi yang diterapkan oleh daerah tersebut telah menghasilkan perubahan positif bagi daerahnya masing-masing dan menjadikan mereka sebagai daerah yang paling berkembang atau mengalami kemajuan pada saat ini.
Kemajuan yang dihasilkan sebagai implikasi dari inovasi-inovasi tersebut pada Kabupaten Sragen ditandai dengan meningkatnya nilai investasi dari 62 juta dollar di tahun 2002 menjadi 126 juta dollar di tahun 2006. Kenaikan juga terjadi pada sektor tenaga kerja di bidang industri yang naik dari 785 orang di tahun 2002 menjadi 68.188 di tahun 2006. Dampak positif juga terjadi di pendapatan daerah yang naik dari 768.000 dollar menjadi 9.2 juta dollar selama 5 tahun. Kabupaten Sragen juga dikenal sebagai pemerintah daerah yang terdepan dalam penerapan e-government juga ikut mewarnai reformasi penyelenggaraan pemerintahan yang dicanangkan Pemerintah pusat. Melalui egovernment tersebut penyelenggaraan pemerintahan menjadi makin efisien, cepat dan transparan. Bahkan kesuksesan Kabupaten Sragen tersebut telah membawa Pemerintah Kabupaten Sragen sebagai konsultan pembangunan jaringan IT di berbagai Daerah di Indonesia.
Sementara itu kesuksesan inovasi pada Kabupaten Jembrana yang merupakan salah satu Kabupaten dengan kemampuan keuangan (PAD) yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten lainnya di Propinsi Bali dengan sumber penghasilan utama berasal dari pajak, karena dengan strategi efisiensi penggunaan anggaran yang dilakukannya ternyata mampu melaksanakan berbagai program seperti pembebasan biaya pendidikan tingkat SD sampai SMU Negeri serta beasiswa untuk siswa SD sampai SMU Swasta, Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) yang memberikan kebebasan akses masyarakat untuk berobat secara gratis pada pusat pelayanan kesehatan (PPK) negeri maupun swasta yang memiliki kerja sama dengan Badan Pelaksana JKJ, serta Program Dana Bergulir dan sejumlah program lain yang digulirkan dalam upaya meningkatkan daya beli masyarakat Jembrana. Dalam administrasi pelayanan perizinan juga diterapkan efisiensi prosedur terhadap 50 jenis pelayanan yang dikelola secara terintegrasi melalui Dinas Inkom dan Perhubungan setempat.
Demikian juga pada Kabupaten Kutai Timur yang merupakan salah satu hasil wilayah pemekaran dari Kabupaten Kutai yang dibentuk berdasar UU No. 47 Tahun 1999 dan diresmikan oleh Mendagri pada 28 Oktober 1999, juga memiliki Sistem layanan perijinan terintegrasi yang disebut SIMPEKAB/SIMTAP dan terus memfasilitasi investasi di daerah dan melakukan rekruitmen lokal terhadap sumber daya profesional berkualifikasi tinggi untuk mengelola potensi Sumber Daya Alamnya. Selain itu Kabupaten ini juga melalui Program Cemerlangnya (Cerdas Merata Berprestasi Gemilang) menyelenggarakan pembebasan biaya pendidikan dari Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Atas.
Bila dilhat secara cermat dari ketiga daerah tersebut maka didapatkan kesimpulan bahwa strategi inovasi yang terarah dan simultan dalam sektor-sektor pelayanan dasar bila dilakukan secara fokus, konsisten dan efisien dapat menstimulasi peningkatan kualitas pembangunan suatu daerah. Titik awal dari gagasan-gagasan itu sebenarnya adalah merubah cara pandang stakeholder terhadap hubungan antara pemerintah, swasta dan masyarakat untuk kemudian menghasilkan bentuk interaksi yang lebih aktif dan efisien. Prinsip efisiensi dan kesetaraan yang di adaptasi ke dalam berbagai jenis pelayanan publik ternyata menghasilkan umpan balik yang positif dari swasta dan masyarakat kepada pemerintah daerah. Bentuk-bentuk inovatif peran fasilitasi pemerintah tersebut mampu memotivasi dan menstimulasi elemen lokal untuk tumbuh dan membangun daerah secara bersama-sama dan lebih produktif.
Tentu saja tidak dengan mudah strategi itu terlaksana. Ada dua hal yang menjadi faktor pendukung implementasi strategi tersebut. Pertama, komitmen kepemimpinan, faktor ini merupakan yang paling esensial bagi penerapan inovasi di dalam manajemen publik. Karena inovasi itu diawali dengan adanya perubahan gagasan yang terkadang cukup radikal dan bisa saja menghasilkan resistensi kuat dari komponen yang dikelolanya, terutama dari kalangan politisi lokal. Karenanya seorang pemimpin dalam melakukan inovasi ini juga perlu melakukan manajemen konflik dengan baik. Selain itu karena untuk mengimplementasikan perubahan secara baik itu perlu didasari suatu peta strategi inovasi dalam aspek konseptual, institusional, organisasional, dan proses manajemen publik yang baik maka seorang pemimpin dalam hal ini juga merupakan seorang yang selain juga mampu sebagai perencana yang baik juga merupakan sosok yang bisa menjaga konsistensi pelaksanaan strategis tersebut.
Kedua, inovasi yang didasari dengan ide-ide kreatif tidak hanya membutuhkan pemimpin kreatif tapi juga tim yang kreatif. Karena itu diperlukan organisasi birokrasi yang efisien, profesional dan responsif sebagai jaringan pelaksana (network implementor). Organisasi merupakan agen pelaksana dari kepemimpinan juga perlu diberikan ruang aktif untuk menghasilkan inisiatif-inisiatif implementatif sehingga dengan demikian mereka akan memiliki daya sensitivitas dan inisiatif yang tinggi dalam mengatasi berbagai keadaan yang muncul. Birokrasi dengan demikian mampu bekerja sebagai organisme yang menempatkan diri secara paralel dengan pola kebutuhan sosial masyarakat dan pembangunan daerah yang berkembang sebagai organisme dinamik juga. Yang perlu dilakukan adalah tidak merantai atau membatasi birokrasi terhadap langkah-langkah perubahan yang harus dilakukan. Birokrasi juga semestinya menjadi motivating actor dalam menemukan inovasi-inovasi baru untuk menata daerahnya. Pengembangan rantai inovasi dari, oleh dan untuk birokrasi dalam hal ini merupakan usaha untuk merevitalisasi kreativitas lokal yang lebih menjamin daya adaptabilitas dan akseptabilitas dalam perubahan sehingga inovasi-inovasi yang sudah dilakukan dapat bertahan dalam rentang waktu yang berjangka panjang. Karenanya memang diperlukan inovasi pula dalam manajemen aparatur dan sistem kerja yang terdapat pada birokrasi daerah sehingga mampu menunjang kerja-kerja inovasi yang dilakukan oleh mereka.
Dua aspek tersebut merupakan faktor kunci (key factor) yang merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan perubahan yang inovatif pada suatu daerah. Perubahan yang tidak hanya muncul pada tataran wacana atau gagasan pada saat kampanye pilkada saja namun juga menjadi gerakan kompetitif yang dilaksanakan sebagai wujud keberhasilan atas tafsir dan implementasi semangat otonomi daerah. Sebuah kesimpulan yang juga pantas untuk dipertanyakan kepada 405 pemerintah daerah lainnya di Indonesia, termasuk kepada 11 Pemerintah Kabupaten dan Kota di Propinsi Lampung saat ini.
*artikel ini ditulis oleh Simon S. Hutagalung (Staf Pengajar Jur. Administrasi Negara FISIP Universitas Lampung)
No comments:
Post a Comment