Demikian rindunya masyarakat akan harga BBM murah ditunjukkan melalui opini masyarakat yang muncul dalam keseharian. Kebutuhan hidup yang saat ini dirasakan semakin tidak terjangkau dan mempengaruhi dimensi kehidupan yang lain menjadi semakin sulit untuk dipenuhi. Fakta yang lain juga mengungkap tentang BBM sebagai sebuah bentuk monster yang dalam beberapa episode pemerintahan Indonesia menjadi variabel yang berkorelasi dengan kejatuhan rezim-rezim semenjak orde lama hingga rezim yang lalu. Bukan hendak menakuti, tapi monster yang diciptakan oleh pembuat kebijakan tersebut akhirnya memangsa penciptanya sendiri.
Kenapa BBM menjadi isu paling strategis yang memiliki kekuatan demikian besar dalam politik pemerintahan?. Karena komoditas tersebut adalah faktor produksi primer untuk melaksanakan aktvitas rutin. Sebagai faktor produksi, komoditas itu akan berkorelasi dengan efisiensi dan efektivitas hasil yang dapat diperoleh dari proses aktivitas individu ataupun institusi. Semakin tinggi nilai faktor produksi maka semakin minimal juga output yang dapat dihasilkan dari proses aktivitas. Sehingga setiap individu akan berharap pada kondisi optimum dimana nilai komoditas tersebut berada pada titik efisien sehingga hasil yang diperoleh dari proses aktivitas pun menjadi maksimal. Logika sosial ekonomi ini juga menjadi input model yang mempengaruhi logika sosial politik dalam negara, dimana komoditas inti tersebut berhubungan dengan kebutuhan alamiah setiap individu dan organisasi. Karenanya konsumsi atas BBM tersebut menjadi satu hal yang tidak dapat tergantikan, sekalipun harganya meningkat.
Kapasitas konsumsi BBM dalam negeri yang semakin meningkat tersebut pula yang menjadi latar kebijakan menaikan harga BBM, sementara itu dengan harga minyak dunia yang semakin meningkat maka biaya subsidi atas harga BBM untuk konsumsi dalam negeri juga semakin meningkat dan membebani APBN. Konsumsi atas BBM yang meningkat pada saat ini pula yang mendorong lahirnya program energi alternatif, meski kemudian belum nampak keberhasilan dalam skala besar atas program tersebut. Persoalan keputusan ekonomi berkaitan secara runtut dari dimensi produksi hingga dimensi konsumsi. Jika yang lebih menjadi argumennya adalah persoalan konsumsi maka apa yang sebenarnya terjadi dalam dimensi produksi migas Indonesia?.
Dalam dimensi produksi migas Indonesia terlihat adanya pengelolaan produksi migas yang kurang baik. Problem dalam pengelolaan ini terjadi dalam bentuk produksi migas dan kontrak produksi dengan perusahaan asing migas. Dalam hal produksi migas yang berpangkal dari menurunnya kuantitas produksi minyak mentah dari 1.600 juta barel hingga 900 juta barel per hari. Adapun penyebab dari turunnya cadangan minyak tersebut adalah, pertama kondisi ladang minyak Indonesia yang dikelola oleh Pertamina sudah sangat tua dan memiliki teknologi yang sudah ketinggalan zaman. Ditambah dengan persoalan politik dan struktural dalam perusahaan Migas juga mempengaruhi kemampuan untuk penerimaaan pemerintah yang mengecil. Laba bersih PT Pertamina (Persero) yang turun 27,3 % dengan nilai Rp. 17,8 Trilyun dibandingkan laba tahun 2007 sebesar 24,5 trilyun. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan perusahaan migas asing yang juga bereksplorasi di wilayah Indonesia. Penyebab kedua, berhubungan dengan peran perusahaan migas asing yang lebih dominan dalam eksplorasi dan produksi migas Indonesia. Kendali pemerintah Indonesia yang lemah atas perusahaan-perusahaan asing ini justru memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan tindakan sendiri dalam alokasi dan distribusi migas Indonesia. Misalnya dalam pembangunan jalur pipa yang mengalirkan hasil eksplorasi dari berbagai blok minyak di Indonesia ke Singapura, justru menyebabkan potensi hilangnya minyak kita semakin besar.
Sementara itu jika melihat tingkat konsumsi minyak dalam negeri sudah sangat tinggi yaitu 1.084.000 barrel per hari maka selisih kuantitas migas yang diekspor dan menjadi pendapatan bagi negara sangat minimal. Jika saja produksi migas tersebut bisa di maksimalkan menjadi 1,5 juta barel saja maka pendapatan ekspor migas yang ada tersebut bisa menutupi harga minyak dalam negeri. Memang hal tersebut mensyaratkan dilakukannya dengan eksplorasi atas potensi cadangan minyak baru di wilayah Indonesia. Jika melihat besaran cadangan minyak baru di wilayah Indonesia yang sudah terbukti sebesar 4.7 Milliar barrel dan cadangan yang potensial berkisar 5 milliar barel maka eksplorasi tersebut menjadi salah satu jalan yang dapat mengurangi beban biaya migas di masa depan.
Problem produksi migas tersebut diikuti oleh masalah kontrak produksi migas, jika merujuk kepada UU Migas Nomor 22/2001, pembagian keuntungan antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan asing dilakukan melalui skema Production Sharing Contract (PSC). Dalam skema PSC tersebut, Cost Recovery sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah Indonesia. Cost recovery tersebut mencapai US$9, 03 per barel, sedangkan rata-rata cost recovery minyak mentah dunia sekitar US$4-US$6 per barel. Jadi, cost recovery Indonesia lebih tinggi sekitar 75 persen -125 persen per barel, dibandingkan rata-rata negara produsen minyak mentah di dunia. Kondisi itu menunjukkan keuntungan atas produksi migas di Indonesia justru di nikmati oleh grup-grup korporasi dan Negara induknya. Hal ini bisa dibuktikan jika melihat data total produksi minyak Indonesia yang rata-rata 900 juta barel per-hari, dimana sekitar 81% (atau 894.000 barel) adalah minyak mentah. Namun dibalik besarnya kuantitas tersebut ternyata hampir 90% dari total produksi tersebut berasal dari 6 MNC, yakni; Total (30%), ExxonMobil (17%), Vico (BP-Eni joint venture, 11%), ConocoPhillips (11%), BP (6%), and Chevron (4%).
Fakta-fakta tersebut menyimpulkan agar pendekatan pemerintah dalam menangani krisis migas di Indonesia tidak hanya pada dimensi konsumsi namun juga mencakup pada dimensi produksi. Dengan masih luas dan besarnya potensi minyak bumi di wilayah Indonesia semestinya menjadi salah satu prioritas investasi pemerintah. Pada sisi yang lain pengelolaan migas yang dijalin dengan perusahaan migas asing di wilayah Indonesia juga dilakukan dengan skema yang juga menguntungkan pihak Indonesia secara langsung, toh pemilik syah dari kandungan migas itu adalah bangsa Indonesia sendiri.
Pemerintah Indonesia sebaiknya kemampuan negosiasi dan manajemen kebijakan migas yang kuat di mata perusahaan migas internasional tersebut. Kontrak ulang atau bahkan nasionalisasi atas beberapa kontrak yang ternyata merugikan pihak Indonesia dapat menjadi pilihan kebijakan yang realistis. Melalui peningkatan produksi migas di masa datang setidaknya setiap dibalik kenaikan harga minyak dunia ini, Indonesia justru dapat menjadi negara yang paling menikmati kenaikan harga tersebut, bukan yang paling menderita lagi. (Artikel ini ditulis oleh: Simon S. Hutagalung (Dosen dan Peneliti FISIP Universitas Lampung).
Kenapa BBM menjadi isu paling strategis yang memiliki kekuatan demikian besar dalam politik pemerintahan?. Karena komoditas tersebut adalah faktor produksi primer untuk melaksanakan aktvitas rutin. Sebagai faktor produksi, komoditas itu akan berkorelasi dengan efisiensi dan efektivitas hasil yang dapat diperoleh dari proses aktivitas individu ataupun institusi. Semakin tinggi nilai faktor produksi maka semakin minimal juga output yang dapat dihasilkan dari proses aktivitas. Sehingga setiap individu akan berharap pada kondisi optimum dimana nilai komoditas tersebut berada pada titik efisien sehingga hasil yang diperoleh dari proses aktivitas pun menjadi maksimal. Logika sosial ekonomi ini juga menjadi input model yang mempengaruhi logika sosial politik dalam negara, dimana komoditas inti tersebut berhubungan dengan kebutuhan alamiah setiap individu dan organisasi. Karenanya konsumsi atas BBM tersebut menjadi satu hal yang tidak dapat tergantikan, sekalipun harganya meningkat.
Kapasitas konsumsi BBM dalam negeri yang semakin meningkat tersebut pula yang menjadi latar kebijakan menaikan harga BBM, sementara itu dengan harga minyak dunia yang semakin meningkat maka biaya subsidi atas harga BBM untuk konsumsi dalam negeri juga semakin meningkat dan membebani APBN. Konsumsi atas BBM yang meningkat pada saat ini pula yang mendorong lahirnya program energi alternatif, meski kemudian belum nampak keberhasilan dalam skala besar atas program tersebut. Persoalan keputusan ekonomi berkaitan secara runtut dari dimensi produksi hingga dimensi konsumsi. Jika yang lebih menjadi argumennya adalah persoalan konsumsi maka apa yang sebenarnya terjadi dalam dimensi produksi migas Indonesia?.
Dalam dimensi produksi migas Indonesia terlihat adanya pengelolaan produksi migas yang kurang baik. Problem dalam pengelolaan ini terjadi dalam bentuk produksi migas dan kontrak produksi dengan perusahaan asing migas. Dalam hal produksi migas yang berpangkal dari menurunnya kuantitas produksi minyak mentah dari 1.600 juta barel hingga 900 juta barel per hari. Adapun penyebab dari turunnya cadangan minyak tersebut adalah, pertama kondisi ladang minyak Indonesia yang dikelola oleh Pertamina sudah sangat tua dan memiliki teknologi yang sudah ketinggalan zaman. Ditambah dengan persoalan politik dan struktural dalam perusahaan Migas juga mempengaruhi kemampuan untuk penerimaaan pemerintah yang mengecil. Laba bersih PT Pertamina (Persero) yang turun 27,3 % dengan nilai Rp. 17,8 Trilyun dibandingkan laba tahun 2007 sebesar 24,5 trilyun. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan perusahaan migas asing yang juga bereksplorasi di wilayah Indonesia. Penyebab kedua, berhubungan dengan peran perusahaan migas asing yang lebih dominan dalam eksplorasi dan produksi migas Indonesia. Kendali pemerintah Indonesia yang lemah atas perusahaan-perusahaan asing ini justru memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan tindakan sendiri dalam alokasi dan distribusi migas Indonesia. Misalnya dalam pembangunan jalur pipa yang mengalirkan hasil eksplorasi dari berbagai blok minyak di Indonesia ke Singapura, justru menyebabkan potensi hilangnya minyak kita semakin besar.
Sementara itu jika melihat tingkat konsumsi minyak dalam negeri sudah sangat tinggi yaitu 1.084.000 barrel per hari maka selisih kuantitas migas yang diekspor dan menjadi pendapatan bagi negara sangat minimal. Jika saja produksi migas tersebut bisa di maksimalkan menjadi 1,5 juta barel saja maka pendapatan ekspor migas yang ada tersebut bisa menutupi harga minyak dalam negeri. Memang hal tersebut mensyaratkan dilakukannya dengan eksplorasi atas potensi cadangan minyak baru di wilayah Indonesia. Jika melihat besaran cadangan minyak baru di wilayah Indonesia yang sudah terbukti sebesar 4.7 Milliar barrel dan cadangan yang potensial berkisar 5 milliar barel maka eksplorasi tersebut menjadi salah satu jalan yang dapat mengurangi beban biaya migas di masa depan.
Problem produksi migas tersebut diikuti oleh masalah kontrak produksi migas, jika merujuk kepada UU Migas Nomor 22/2001, pembagian keuntungan antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan asing dilakukan melalui skema Production Sharing Contract (PSC). Dalam skema PSC tersebut, Cost Recovery sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah Indonesia. Cost recovery tersebut mencapai US$9, 03 per barel, sedangkan rata-rata cost recovery minyak mentah dunia sekitar US$4-US$6 per barel. Jadi, cost recovery Indonesia lebih tinggi sekitar 75 persen -125 persen per barel, dibandingkan rata-rata negara produsen minyak mentah di dunia. Kondisi itu menunjukkan keuntungan atas produksi migas di Indonesia justru di nikmati oleh grup-grup korporasi dan Negara induknya. Hal ini bisa dibuktikan jika melihat data total produksi minyak Indonesia yang rata-rata 900 juta barel per-hari, dimana sekitar 81% (atau 894.000 barel) adalah minyak mentah. Namun dibalik besarnya kuantitas tersebut ternyata hampir 90% dari total produksi tersebut berasal dari 6 MNC, yakni; Total (30%), ExxonMobil (17%), Vico (BP-Eni joint venture, 11%), ConocoPhillips (11%), BP (6%), and Chevron (4%).
Fakta-fakta tersebut menyimpulkan agar pendekatan pemerintah dalam menangani krisis migas di Indonesia tidak hanya pada dimensi konsumsi namun juga mencakup pada dimensi produksi. Dengan masih luas dan besarnya potensi minyak bumi di wilayah Indonesia semestinya menjadi salah satu prioritas investasi pemerintah. Pada sisi yang lain pengelolaan migas yang dijalin dengan perusahaan migas asing di wilayah Indonesia juga dilakukan dengan skema yang juga menguntungkan pihak Indonesia secara langsung, toh pemilik syah dari kandungan migas itu adalah bangsa Indonesia sendiri.
Pemerintah Indonesia sebaiknya kemampuan negosiasi dan manajemen kebijakan migas yang kuat di mata perusahaan migas internasional tersebut. Kontrak ulang atau bahkan nasionalisasi atas beberapa kontrak yang ternyata merugikan pihak Indonesia dapat menjadi pilihan kebijakan yang realistis. Melalui peningkatan produksi migas di masa datang setidaknya setiap dibalik kenaikan harga minyak dunia ini, Indonesia justru dapat menjadi negara yang paling menikmati kenaikan harga tersebut, bukan yang paling menderita lagi. (Artikel ini ditulis oleh: Simon S. Hutagalung (Dosen dan Peneliti FISIP Universitas Lampung).
3 comments:
Artikel di Blog ini bagus dan berguna bagi para pembaca.Anda bisa lebih mempromosikan artikel anda di www.infogue.com dan jadikan artikel anda topik yang terbaik bagi para pembaca di seluruh Indonesia.Telah tersedia plugin/widget.Kirim artikel dan vote yang terintegrasi dengan instalasi mudah dan singkat.Salam Blogger!!!
http://nasional.infogue.com/
http://nasional.infogue.com/problem_produksi_bbm_indonesia
wahhh.... makasih ya.. trims berat, hehe..
ini produksinya 900juta barel perhari apa 900 ribu barel perhari ?
saya jadi bingung baca artikelnya....
Post a Comment