Artikelku dimuat di SKH Lampung Post, 3 November 2008
Pembentukan kabupaten Pringsewu akhirnya disetujui dalam rapat paripurna DPR pada 29 Oktober lalu. Selain Pringsewu disetujui juga pembentukan 12 daerah, dua di antaranya kabupaten Mesuji dan Tulangbawang Barat (Lampost, 30-10). Disetujuinya kabupaten tersebut sudah diperkirakan sebelumnya karena telah lolos tanpa catatan dalam proses penyeleksian, penelitian, dan pendalaman data layak dan tidaknya menjadi sebuah daerah otonom baru yang dilakukan Panitia Kerja (Panja) antara DPOD dan Komisi II DPR (Lampost, 25-10). Sebagai salah satu daerah baru, Pringsewu memiliki beberapa aspek yang menjadikannya mampu menunjang kehidupan masyarakat di wilayahnya. Di samping itu, kabupaten ini juga memiliki beberapa aspek yang mesti dicermati dan dikelola secara, jelas, dan terarah sehingga dapat benar-benar otonom dan berdaya.
Penulis sempat mengkaji hal tersebut. Berdasar pada kajian kondisi existing pada wilayah calon kabupaten, memang sudah terdapat latar belakang dukungan politis yang meluas pada tataran komunitas masyarakat terhadap pembentukan kabupaten Pringsewu. Dukungan tersebut berdasar pada pertimbangan terhadap kondisi potensi yang dimiliki wilayah Kabupaten ini. Meskipun masih terdapat kondisi yang juga harus diperhatikan dengan cermat.
Pertama, berkaitan dengan kondisi infrastruktur. Pada beberapa kecamatan di wilayah kabupaten itu, didapati jalan yang belum beraspal atau yang kondisinya rusak, jalan yang sudah baik umumnya jalan utama, sedangkan yang menjangkau ke desa belum maksimal kondisinya. Sementara untuk listrik di wilayah ini, hampir sebagian besar kecamatan terjangkau listrik. Untuk jaringan telepon di wilayah calon kabupaten Pringsewu hanya terdapat di wilayah yang terbatas (kecamatan yang maju).
Kedua, berkaitan dengan kondisi ketenagakerjaan. Sebagai sektor unggulan di wilayah calon kabupaten Pringsewu, pertanian menyerap tenaga kerja tertinggi. Namun, masalah ketenagakerjaan pada daerah ini dalam penyerapan tenaga kerja usia produktif, khususnya yang terdidik pada sektor pertanian, tenaga kerja yang ada lebih memilih bekerja di luar wilayah mereka sendiri atau memilih untuk bekerja pada sektor selain pertanian, antara lain pada sektor perdagangan dan jasa.
Latar belakang kondisi alam pendukung pertanian yang kini kurang baik serta image kerja pertanian yang kurang baik mengakibatkan tenaga kerja usia produktif awal, bekerja pada sektor lain. Sehingga yang tersisa dari yang tidak pergi itu menjadi pengangguran.
Ketiga, berkaitan dengan kondisi geografis. Kondisi geografis di wilayah calon kabupaten Pringsewu yang berbukit dan mayoritas terdiri dari tanah pertanian dan perkebunan pada beberapa kecamatan yang belum maju dapat menjadi tantangan bagi aktivitas masyarakat setempat. Kondisi infrastruktur jalan yang belum memadai pada daerah tersebut merupakan faktor penyebab masih adanya kendala geografis, pada daerah kecamatan lebih maju kondisi sebaliknya yang terjadi.
Keempat, berkaitan dengan kondisi objek wisata. Di wilayah calon kabupaten Pringsewu, umumnya kecamatan sudah memiliki potensi wisata tapi hampir keseluruhannya menyadari belum adanya pengelolaan potensi yang lebih baik sehingga dapat menjadi daya tarik produktif.
Sementara itu, untuk kondisi fasilitas pendukung wisata di wilayah calon kabupaten Pringsewu, seperti fasilitas hotel, motel, dan akomodasi sejenisnya sudah cukup banyak pada kecamatan yang lebih maju, pada kecamatan yang belum maju, fasilitas ini masih langka. Namun, fasilitas yang lebih bersifat spesifik penunjang wisata, hampir keseluruhan kecamatan belum memilikinya.
Kondisi geografis dan kondisi infrastruktur (jalan, listrik, dan telepon) merupakan faktor yang memiliki keterkaitan. Kondisi geografis yang unik apabila di fasilitasi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai, tidak akan menjadi masalah bagi masyarakat, demikian juga sebaliknya bila kondisi geografis tersebut kurang diatasi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai, akan memengaruhi dinamika masyarakat dalam sektor kehidupannya.
Demikian juga dengan kondisi ketenagakerjaan yang pada prinsipnya terbentuk oleh kondisi perekonomian pada suatu daerah. Meskipun kondisi perekonomian yang dimiliki calon daerah ini memiliki potensi unggulan, ternyata nampak belum cukup memadai untuk mewadahi potensi kuantitas dan kualitas tenaga kerja yang dimiliki masyarakat calon daerah tersebut.
Kurang bervariasinya sektor perekonomian menjadikan masyarakat yang memiliki minat dan kapasitas lebih baik memilih bekerja atau membuka usaha di luar daerahnya.
Pada kondisi objek wisata dan fasilitas pendukungnya belum mendapat penanganan yang baik, kondisi itu menunjukkan belum termanfaatkannya peluang ekonomi yang bisa menghasilkan implikasi positif bagi masyarakat. Jika ada pengelolaan yang lebih baik, potensi ini akan memberi pengaruh berupa sektor alternatif ketenagakerjaan dan menunjang kondisi perekonomian pada calon daerah tersebut.
Kondisi yang terjadi merupakan komponen sub indikator substantif yang menjadi prasyarat terbentuknya sebuah daerah otonom baru. Sebab itu, secara logis kondisi yang terjadi sebenarnya pada suatu calon daerah baru akan memengaruhi daya dukung untuk mengelola potensi dan memanfaatkan potensi yang dimilikinya secara mandiri guna kebutuhan pembangunan di daerah tersebut.
Keempat hal spesifik yang menjadi catatan bagi penulis merupakan kondisi yang memiliki hubungan elementer dengan dimensi-dimensi kepemerintahan (governance) dan masyarakat (society). Keempat kondisi tersebut nantinya dapat memengaruhi dinamika ekonomi, sosial dan politik yang terjadi pada wilayah calon kabupaten Pringsewu.
Jika kondisi tersebut dikelola secara tepat, kabupaten Pringsewu dapat menjadi sebuah daerah yang berkembang secara pesat, bahkan mungkin saja melebihi kabupaten induknya. Begitu juga sebaliknya.
Pemikiran dalam konteks terbentuknya daerah baru sebaiknya tidak diartikan sebagai kesuksesan akhir, terbentuknya daerah itu adalah awal dari proses manajemen potensi lokal yang berujung kepada nilai kompetitif dan komparatif daerah tersebut dengan daerah lain. Pekerjaan yang lebih sulit ketimbang pembentukan daerah itu sendiri. Apa yang kemudian harus digarisbawahi? Bahwa persoalan daerah baru bukan saja merupakan persoalan teritorial existing, bukan sekadar persoalan kondisi wilayah yang baik atau tidak baik, melainkan juga persoalan manajemen wilayah. Seperti apa interpretasi, sikap, dan tindakan yang dilakukan pelaku kebijakan terhadap kondisi wilayahnya, itulah yang nantinya menentukan tingkat perkembangan sebuah daerah.
Kemampuan kembangkan kerja sama dengan jejaring potensial yang concern terhadap daerah ini juga merupakan titik mula yang penting. Semua itu yang nantinya memberi jawaban besar dari urgensi terbentuknya daerah tersebut.
Penulis sempat mengkaji hal tersebut. Berdasar pada kajian kondisi existing pada wilayah calon kabupaten, memang sudah terdapat latar belakang dukungan politis yang meluas pada tataran komunitas masyarakat terhadap pembentukan kabupaten Pringsewu. Dukungan tersebut berdasar pada pertimbangan terhadap kondisi potensi yang dimiliki wilayah Kabupaten ini. Meskipun masih terdapat kondisi yang juga harus diperhatikan dengan cermat.
Pertama, berkaitan dengan kondisi infrastruktur. Pada beberapa kecamatan di wilayah kabupaten itu, didapati jalan yang belum beraspal atau yang kondisinya rusak, jalan yang sudah baik umumnya jalan utama, sedangkan yang menjangkau ke desa belum maksimal kondisinya. Sementara untuk listrik di wilayah ini, hampir sebagian besar kecamatan terjangkau listrik. Untuk jaringan telepon di wilayah calon kabupaten Pringsewu hanya terdapat di wilayah yang terbatas (kecamatan yang maju).
Kedua, berkaitan dengan kondisi ketenagakerjaan. Sebagai sektor unggulan di wilayah calon kabupaten Pringsewu, pertanian menyerap tenaga kerja tertinggi. Namun, masalah ketenagakerjaan pada daerah ini dalam penyerapan tenaga kerja usia produktif, khususnya yang terdidik pada sektor pertanian, tenaga kerja yang ada lebih memilih bekerja di luar wilayah mereka sendiri atau memilih untuk bekerja pada sektor selain pertanian, antara lain pada sektor perdagangan dan jasa.
Latar belakang kondisi alam pendukung pertanian yang kini kurang baik serta image kerja pertanian yang kurang baik mengakibatkan tenaga kerja usia produktif awal, bekerja pada sektor lain. Sehingga yang tersisa dari yang tidak pergi itu menjadi pengangguran.
Ketiga, berkaitan dengan kondisi geografis. Kondisi geografis di wilayah calon kabupaten Pringsewu yang berbukit dan mayoritas terdiri dari tanah pertanian dan perkebunan pada beberapa kecamatan yang belum maju dapat menjadi tantangan bagi aktivitas masyarakat setempat. Kondisi infrastruktur jalan yang belum memadai pada daerah tersebut merupakan faktor penyebab masih adanya kendala geografis, pada daerah kecamatan lebih maju kondisi sebaliknya yang terjadi.
Keempat, berkaitan dengan kondisi objek wisata. Di wilayah calon kabupaten Pringsewu, umumnya kecamatan sudah memiliki potensi wisata tapi hampir keseluruhannya menyadari belum adanya pengelolaan potensi yang lebih baik sehingga dapat menjadi daya tarik produktif.
Sementara itu, untuk kondisi fasilitas pendukung wisata di wilayah calon kabupaten Pringsewu, seperti fasilitas hotel, motel, dan akomodasi sejenisnya sudah cukup banyak pada kecamatan yang lebih maju, pada kecamatan yang belum maju, fasilitas ini masih langka. Namun, fasilitas yang lebih bersifat spesifik penunjang wisata, hampir keseluruhan kecamatan belum memilikinya.
Kondisi geografis dan kondisi infrastruktur (jalan, listrik, dan telepon) merupakan faktor yang memiliki keterkaitan. Kondisi geografis yang unik apabila di fasilitasi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai, tidak akan menjadi masalah bagi masyarakat, demikian juga sebaliknya bila kondisi geografis tersebut kurang diatasi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai, akan memengaruhi dinamika masyarakat dalam sektor kehidupannya.
Demikian juga dengan kondisi ketenagakerjaan yang pada prinsipnya terbentuk oleh kondisi perekonomian pada suatu daerah. Meskipun kondisi perekonomian yang dimiliki calon daerah ini memiliki potensi unggulan, ternyata nampak belum cukup memadai untuk mewadahi potensi kuantitas dan kualitas tenaga kerja yang dimiliki masyarakat calon daerah tersebut.
Kurang bervariasinya sektor perekonomian menjadikan masyarakat yang memiliki minat dan kapasitas lebih baik memilih bekerja atau membuka usaha di luar daerahnya.
Pada kondisi objek wisata dan fasilitas pendukungnya belum mendapat penanganan yang baik, kondisi itu menunjukkan belum termanfaatkannya peluang ekonomi yang bisa menghasilkan implikasi positif bagi masyarakat. Jika ada pengelolaan yang lebih baik, potensi ini akan memberi pengaruh berupa sektor alternatif ketenagakerjaan dan menunjang kondisi perekonomian pada calon daerah tersebut.
Kondisi yang terjadi merupakan komponen sub indikator substantif yang menjadi prasyarat terbentuknya sebuah daerah otonom baru. Sebab itu, secara logis kondisi yang terjadi sebenarnya pada suatu calon daerah baru akan memengaruhi daya dukung untuk mengelola potensi dan memanfaatkan potensi yang dimilikinya secara mandiri guna kebutuhan pembangunan di daerah tersebut.
Keempat hal spesifik yang menjadi catatan bagi penulis merupakan kondisi yang memiliki hubungan elementer dengan dimensi-dimensi kepemerintahan (governance) dan masyarakat (society). Keempat kondisi tersebut nantinya dapat memengaruhi dinamika ekonomi, sosial dan politik yang terjadi pada wilayah calon kabupaten Pringsewu.
Jika kondisi tersebut dikelola secara tepat, kabupaten Pringsewu dapat menjadi sebuah daerah yang berkembang secara pesat, bahkan mungkin saja melebihi kabupaten induknya. Begitu juga sebaliknya.
Pemikiran dalam konteks terbentuknya daerah baru sebaiknya tidak diartikan sebagai kesuksesan akhir, terbentuknya daerah itu adalah awal dari proses manajemen potensi lokal yang berujung kepada nilai kompetitif dan komparatif daerah tersebut dengan daerah lain. Pekerjaan yang lebih sulit ketimbang pembentukan daerah itu sendiri. Apa yang kemudian harus digarisbawahi? Bahwa persoalan daerah baru bukan saja merupakan persoalan teritorial existing, bukan sekadar persoalan kondisi wilayah yang baik atau tidak baik, melainkan juga persoalan manajemen wilayah. Seperti apa interpretasi, sikap, dan tindakan yang dilakukan pelaku kebijakan terhadap kondisi wilayahnya, itulah yang nantinya menentukan tingkat perkembangan sebuah daerah.
Kemampuan kembangkan kerja sama dengan jejaring potensial yang concern terhadap daerah ini juga merupakan titik mula yang penting. Semua itu yang nantinya memberi jawaban besar dari urgensi terbentuknya daerah tersebut.
No comments:
Post a Comment