Suatu sore setelah pulang kerja, saya sempatkan berjalan ke sebuah toko ****mart. Sekedar membeli minuman dan makanan kecil. Tiba-tiba di tengah perjalalan, seorang wanita tua yang berada di depan toko itu menegur dengan setengah mengkonfirmasi namaku. "Betul bu" aku menjawab dengan masih bertanya-tanya, siapa kira-kira ibu ini sampai mengenal namaku. "ini bu narti.." ujarnya. aku setengah berpikir sambil mencari-cari memori yang terpendam di kepala. Astagfirullah.. ujarku dalam hati, setengah tidak percaya. Sosok ibu paruh baya dengan rambut putih di antara rambut hitamnya itu adalah guruku diwaktu SD. Mungkin sudah hampir 20 tahun yang lalu dan masih ingat dengan diriku. Kenangan seolah flash back.
Ibu ini dahulu adalah seorang guru muda yang paling sabar. Diantara guru lainnya yang suka menghukum dengan mistar kayu di telapak tangan atau bahkan sabetan menyakitkan rotan bulu ayam pengapus debu di lengan, ibu guru kami yang ini menghukum dengan kalimat lembut dan sentuhan kecil di kepala sambil mengusap2 rambut muridnya. Sebelum kampus dan pakar pendidikan mengajarkan metode pendidikan menyenangkan dengan kasih sayang dan cinta, ibu ini sudah mempraktikannya hampir 20 tahun lalu. Ibu guru yang satu ini benar-benar menjadi ibu kami saat di sekolah.
Sejenak kami berbincang, sekarang ibu guru kami ini sudah pindah, beliau mengajar murid SMA. Disatu sisi aku bersyukur, karena mengajar murid SMA, apalagi sekolah swasta kemungkinan lebih besar penghasilan yang diterimanya. Beliau sudah punya dua anak (dulu masih single..hehe), yang satunya sedang kuliah pada Fakultas Keguruan di sebuah Universitas di jawa dan anak yang satunya masih SMA. Sempat terbersit, mungkin anaknya memilih Fakultas Keguruan karena terinspirasi oleh ibunya.Semoga saja sang anak menjadi guru terbaik seperti ibunya.
Sudah hampir dua puluh tahun yang lalu dan beliau masih ingat dengan diri ini. " Masih gemuk dan tampil sederhana ya kamu ini", dalam salah satu ujarnya. Kemudian beliau bertanya keadaan diriku saat ini dan aku bercerita . Terlihat bahagia di wajah tuanya. Saat beliau bercerita tentang kisah temanku yang lain, sejenak kami tertawa. Namun kemudian aku terharu sekaligus malu. Malu karena tidak menempelkan beliau di memori paling dalam, setidaknya sebagai penghargaan atas dirinya dahulu. Kini aku paham, betapa sulitnya menjadi seorang guru sebenarnya, betapa harus belajar terus menerus untuk sabar dan iklas dalam menghadapi berbagai karakter, kejadian dan keinginan. Mungkin karena inilah mereka disebut "Pahlawan". Pengorbanan dirinya untuk orang lain yang merupakan anak manusia lah yang menjadikan mereka pahlawan. Suatu perhargaan yang perlahan memudar saat ini ketika murid digambarkan mengerjai gurunya yang kikuk dan konyol di televisi, siswa yang membohongi gurunya di sekolah atau mahasiswa yang menghardik kasar gurunya di kampus.
Seperti ibu guru kami ini, beliau memberikan penghargaan kepada muridnya dengan menempelkan kami di memori terdalamnya. Mungkin juga ada doa diantara memorinya itu sehingga kami bertemu dengan jalan hidup masing-masing yang terbaik. Hanya sekitar 10 menit kami bercakap-cakap, namun serasa puluhan halaman sudah kami jelajahi kembali. Beliau pun pamit dan aku masih memandang dengan takjub dan terharu. Serasa masih ada tangan halusnya yang mengelus-elus kepala ini sambil berkata: ya sudah, gak apa-apa, baeknya jangan diulang lagi ya". Sejak saat itu aku ingin menempelkan beliau kembali di memori terdalam sebagai salah satu inspirasi. Seorang guru nan sederhana yang penuh dengan kehormatan. Semoga Allah SWT meninggikan derajat guru-guru kami. Amien.
Sejenak kami berbincang, sekarang ibu guru kami ini sudah pindah, beliau mengajar murid SMA. Disatu sisi aku bersyukur, karena mengajar murid SMA, apalagi sekolah swasta kemungkinan lebih besar penghasilan yang diterimanya. Beliau sudah punya dua anak (dulu masih single..hehe), yang satunya sedang kuliah pada Fakultas Keguruan di sebuah Universitas di jawa dan anak yang satunya masih SMA. Sempat terbersit, mungkin anaknya memilih Fakultas Keguruan karena terinspirasi oleh ibunya.Semoga saja sang anak menjadi guru terbaik seperti ibunya.
Sudah hampir dua puluh tahun yang lalu dan beliau masih ingat dengan diri ini. " Masih gemuk dan tampil sederhana ya kamu ini", dalam salah satu ujarnya. Kemudian beliau bertanya keadaan diriku saat ini dan aku bercerita . Terlihat bahagia di wajah tuanya. Saat beliau bercerita tentang kisah temanku yang lain, sejenak kami tertawa. Namun kemudian aku terharu sekaligus malu. Malu karena tidak menempelkan beliau di memori paling dalam, setidaknya sebagai penghargaan atas dirinya dahulu. Kini aku paham, betapa sulitnya menjadi seorang guru sebenarnya, betapa harus belajar terus menerus untuk sabar dan iklas dalam menghadapi berbagai karakter, kejadian dan keinginan. Mungkin karena inilah mereka disebut "Pahlawan". Pengorbanan dirinya untuk orang lain yang merupakan anak manusia lah yang menjadikan mereka pahlawan. Suatu perhargaan yang perlahan memudar saat ini ketika murid digambarkan mengerjai gurunya yang kikuk dan konyol di televisi, siswa yang membohongi gurunya di sekolah atau mahasiswa yang menghardik kasar gurunya di kampus.
Seperti ibu guru kami ini, beliau memberikan penghargaan kepada muridnya dengan menempelkan kami di memori terdalamnya. Mungkin juga ada doa diantara memorinya itu sehingga kami bertemu dengan jalan hidup masing-masing yang terbaik. Hanya sekitar 10 menit kami bercakap-cakap, namun serasa puluhan halaman sudah kami jelajahi kembali. Beliau pun pamit dan aku masih memandang dengan takjub dan terharu. Serasa masih ada tangan halusnya yang mengelus-elus kepala ini sambil berkata: ya sudah, gak apa-apa, baeknya jangan diulang lagi ya". Sejak saat itu aku ingin menempelkan beliau kembali di memori terdalam sebagai salah satu inspirasi. Seorang guru nan sederhana yang penuh dengan kehormatan. Semoga Allah SWT meninggikan derajat guru-guru kami. Amien.
BDL, 2/12/2010
Foto dari sini
NB. Tulisan ini dibuat dalam rangka peringatan hari guru, based on true story.